Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Selamat Datang Dua Satu!

Telepon dari lelakiku membawa ucapan manis selamat ulang tahun. Aku terdiam sejenak. Oh... Rupanya dua satu benar-benar menghampiriku. Tidak ada yang bisa menebak kapan seseorang menjadi dewasa. Aku tahu, aku belum sepenuhnya dewasa. Bahkan masih jauh dari kata itu. Karena apa? Karena aku masih sering menyangka diriku sudah dewasa. Justru di sisi lain aku belum siap dewasa. Aku belum siap bertanggung jawab pada diriku sendiri. Karena apa? Karena dalam dunia dewasa segalanya menjadi teramat serius. Aku masih ingin melakukan berbagai hal, bertindak semaunya, melakukan kesalahan-kesalahan yang wajar. Dalam benakku, dunia dewasa adalah dunia yang paling tidak punya toleransi. Kau salah, dibenci. Kau gagal, ditertawai. Duniaku saat ini? Aku salah, diperbaiki. Aku gagal, diajak mencoba kembali. Itulah mengapa aku enggan meninggalkan. Tapi yah, bagaimana lagi. Hidup harus berproses. Aku tahu aku harus menjadi dewasa. Tapi dalam kemengertianku ini aku menolak berpura-pura dewa

Sampai Mati

Ada hal-hal yang sampai kapan pun tidak dapat diterima oleh seorang manusia. Salah satunya mati. Entah apa yang membuatku ingin menulis ini. Mungkin karena sudah dekat momen bertambahnya usiaku. Mungkin juga karena hal lain yang aku tidak tahu. Mati. Satu kata yang mengakhiri semuanya. Bahkan sesuatu yang dianggap paling tak terkalahkan di dunia pun kalah oleh kematian. Sesuatu itu adalah waktu. Jika maut datang, habis sudah waktu. Makanya aku tidak memuja waktu. Aku tidak mau memikirkan waktu. Tapi sebaliknya, aku justru memikirkan mati. Ketika melihat orang lain di sekeliling, aku merasa tidak ada pencapaian yang sudah kulakukan. Aku berada di titik nol. Di usia hampir meninggalkan dua puluh. Semoga saja sampai ke sana. Aku masih punya banyak mimpi. Yang mungkin jika kutuliskan tak akan cukup selembar kertas A4 dengan ukuran 12 pt. Tapi yang lebih penting dari itu adalah aku masih punya tugas besar. Aku tidak boleh mati sebelum semua itu kutuntaskan. Ada satu hal yang tidak dapat

Atap

Aku dan temanku punya sebuah tempat asyik. Sebuah tempat sederhana yang lebih menyenangkan daripada mall dan cafe. Di tempat ini aku bisa membaca tanpa interupsi siapa pun. Di sini aku bisa melihat kota tanpa naik ke atas menara. Bahkan di sini aku bisa menikmati langit sampai bosan. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah aku bisa menulis, menulis dan menulis.                                                                Sebelum menemukan tempat nyaman ini aku dan temanku "diusir" oleh penjaga kost lama. Bagaimana tidak? Orang-orang kapitalis itu seenak jidat menaikkan uang sewa setiap tiga bulan sekali. Ya aku memilih pergi. Toh tempat lama itu sudah tidak sesuai dengan harganya. Uang sewa tinggi, fasilitas semakin bobrok.                                                                                                                                 Beruntunglah aku dapat tempat yang menurutku jauh lebih baik ini. Dari sini aku bisa lebih dekat dengan kampus. Yang pe

Egois

Daku terbangun lalu menangis meratapi kesadaran yang menelanku. Daku terlalu sombong akan cinta yang biasa saja. Terlalu lena akan dunia luar yang bisa bengis kapan saja.                                                                                                                                                                        Daku ingin berteriak kenapa kesadaran itu menyapa di pagi-pagi buta. Kesadaran akan memilikimu yang semestinya pantas untuk sangat dijaga. Sementara selama ini daku terlalu pongah dengan kepemilikan akanmu. Tanpa peduli apa inginmu. Padahal bisa saja di luar sana seseorang telah dipilihkan untuk menggantikanku.                                                                              Daku hanya seorang manusia biasa. Yang punya rasa namun sering tak bisa memahami rasa. Yang kini mulai mempersalahkan diri ini. Yang mengaku memiliki namun sering tak bisa menjaga. Yang hanya bisa percayai namun tak bisa melihat.                                          

Hanya Mengagumi

Aku menahan napas (kalau memang bisa disebut begitu). Wangi qlinique happy milik Saphire menyeruak di udara. Sial! Aku tidak bisa menahan untuk tidak menghirupnya dalam-dalam, meski aku tahu itu tak berfungsi apa-apa selain hanya menambah candu. Ia baru saja lewat di hadapanku dengan langkah-langkah cepatnya. Bahkan hanya dari langkah saja ia sudah begitu memesona. Sementara aku masih terbius oleh parfum Saphire, ia sudah berlalu dari pandanganku. Hari ini Saphire cantik sekali meski dengan gayanya yang seperti biasa: kaos bergambar band-band ternama dunia—kali ini The Beatles—dan celana jeans serta sneakers kesayangan yang sudah usang. Aku tahu ia sudah memakai itu sejak satu tahun belakangan. Kurasa gaya itu pas sekali dengannya, seolah diciptakan memang untuk dia seorang. Usai mencerna parfum manusia terindah itu, aku segera menyusuri lorong ini untuk mengikuti jejaknya. Rupanya hidungku sudah terlalu peka dengan wanginya. Tidak sampai lima menit aku menemukan kembali diri

Hujan 28 Oktober

Hujan kali ini seolah mengejekku karena sedang tak bisa menikmatinya. Guyurannya yang begitu deras seolah menggodaku untuk berlari ke bawah langit, membiarkan partikel-partikel yang susul menyusul jatuh itu menerpa tubuhku. Aku takut menggigil, takut bertambah pusing. Sial! Seharusnya aku tak sakit. Seharusnya badanku baik-baik saja agar hujan ini tak terasa begitu tragis. Mimpi buruk semalam, ditambah hujan deras ini adalah komposisi yang pas untuk merapal doa, bersimpuh, sedikit menggalau, merenung. Hanya untuk meyakinkan bahwa itu sekadar mimpi absurd yang lenyap seperti asap ketika mata terbuka. Nyatanya hujan kali ini hanya memaksaku untuk berdiam. Kembali ke mimpi buruk semalam. Andai itu benar terjadi, maka aku akan nekad berdiri di bawah hujan, menantang sinar lampu mobil yang menyilaukan itu menerjang ke arah tubuhku. Aku tak sanggup, tak bisa menghadapinya. Hujan memang selalu bisa menjadi alasan untuk sebuah hal. Jangan salahkan mimpi, jangan salahkan hujan. Aku mencintaimu,

Cerita Kecil dari Hujan yang Kesekian

Aku begitu tergesa-gesa melakukan ritual pra-menulisku: mandi. Bahkan aku belum melakukan ritual satunya: makan. Aku demikian hanya karena tidak mau melewatkan hujan. Yeah, mungkin semua orang tahu bahwa aku adalah penggemar hujan paling fanatik. Bahkan di dalam kamar mandi yang kecil dan pengap lagi membatasi ruang gerak (itu karena aku biasa menari-nari asal), aku masih berharap hujan tidak akan tergesa-gesa berlalu. Akhirnya tuntas membebaskan tubuh dari debu kota. Aku beranjak ke atap untuk menikmati hujan kali ini. Di bawah sana pemandangan yang selalu menjadi demikian semrawut : lalu lintas. Adalah ironis ketika telapak tanganku menengadah berusaha menangkap tetesan hujan yang sejuk, di bawah sana para penguasa jalan yang saling berebut dan egois menciptakan kehebohan. Klakson dibunyikan kencang-kencang, berlama-lama. Mereka sungguh bodoh. Dan saling menyebut bodoh. Untuk apa membisingkan kota yang sudah terlalu bising? Apa harus ada teriakan dulu dari orang di depan, &quo

Resensi: Belajar Memaafkan Masa Lalu

Anatomi Buku Judul novel: Almost 10 Years Ago Penulis       : Trini (@nuninunoy) Penerbit     : Ice Cube Tahun         : 2014 Tebal           : 327 halaman Genre          : romance     Almost 10 Years Ago menceritakan tentang seorang Anna Mollan yang selalu memandang sinis kehidupan. Hal ini karena masa lalunya yang pahit dan tidak pernah terlupakan sepanjang sisa hidupnya. Kematian orang-orang tercinta, keadaan ayahnya yang membuatnya hampir gila, membuatnya menutup diri. Ia bahkan tak pernah memberi kesempatan pada dirinya untuk merasa bahagia. Kehadiran orang-orang di kehidupannya yang sekarang justru membuatnya semakin bingung harus bersikap bagaimana. Nolan Vervain, yang tergila-gila padanya. Joshua Madison, psikiater yang menangani ayahnya yang kelewat perhatian. Hingga kehadiran seorang lelaki misterius berpakaian setelan olah raga yang memberinya setangkai bunga setiap hari. Ia sempat membuka diri tapi tak disangka kenyataan pahit harus dihadapinya sekali lagi.     Alm

Pelarian

Aku menatap jijik pada sebongkah roti keras yang dilemparkan melalui lubang di bawah pintu besi berjeruji oleh salah satu penjaga berbadan gempal dengan piring plastik kotor sebagai tempatnya. Piring itu menambah niat untuk menunda makan malamku hingga titik kelaparan tertinggi yang bisa kutahan. Sepertinya roti itu adalah roti yang sama dengan seminggu yang lalu. Aroma menyengat ragi kadaluarsa sampai di hidungku. Pinggir-pinggirnya yang kecoklatan sudah ditumbuhi bercak-bercak jamur. Aku sudah biasa memakannya selama tujuh tahun terakhir ini, dan tidak mati-mati, tapi selalu pada saat-saat puncak kelaparan atau sebelum tikus-tikus got sebesar kucing mendahuluinya. Pandanganku justru teralihkan dari roti busuk itu kepada sepasang mata kelabu. Mata milik seorang tawanan perempuan tepat di depan selku. Aku selalu terpenjara oleh pandangan mata itu. Bukan karena indah, bukan juga karena warnanya yang tak biasa. Kurasa sesuatu yang magis telah menyihirku untuk terus-menerus tenggelam ke

Doping

Seperti bintang yang punya cahaya masing-masing, aku percaya pasti setiap orang punya masanya sendiri-sendiri untuk berjaya. Ya, saat ini semua itu adalah milikku. Akulah bintang itu. Bayaranku paling mahal. Wajahku sering muncul di media mana pun. Seluruh tubuhku adalah papan iklan produk-produk kenamaan. Akhir-akhir ini perusahaan-perusahaan suka sekali memberiku produk-produk gratisan yang sedang laris di pasaran. Dengan semua itu jangan dipikir aku sudah punya semuanya. Tidak. Hidupku tidak sempurna. Aku sudah tidak punya Mama. Aku sepenuhnya menentang Ayah ketika memutuskan untuk merumput di lapangan hijau. Ayahku dulu penyerang yang hebat, tapi kemudian dipaksa untuk pensiun karena cedera parah. Beliau kemudian mati-matian melarangku bermain apa pun keadaannya. Ya tentu saja aku menolak. Sepak bola adalah kehidupanku. Oh, satu lagi hal yang menghilangkan kesempurnaanku. Aku tidak punya kekasih. Bukan karena manajemen yang melarang. Juga bukan karena Ayah. Cuma hatiku selama ini

Mesin Waktu

Pletak ! Sesuatu jatuh tepat mengenai kepalaku. Aku meringis kemudian mendongak. Rupanya buah tanjung yang jatuh dari pohonnya. Kuinjak buah itu sampai hancur dengan ujung sepatu. Sial! Buah sekecil itu bisa membuyarkan renunganku tentang sesuatu yang amat penting. Aku mengingat-ingat lagi sampai mana renunganku tadi. Seseorang bersepeda lewat di dekatku dengan kencang. Aku hampir terserempet oleh sepedanya kalau tidak berusaha mengelak. Kuhela napas dan mendengus. Aku harus sabar. Tunggu! Apa yang sedang kulakukan tadi? Sepertinya aku tengah memikirkan sesuatu, tapi bahkan aku tak ingat apa itu. Secepat itukah aku bisa lupa pada sesuatu yang penting? Pletak ! Aku kejatuhan lagi. Dan sekali lagi. Pletak ! Jangan-jangan tempat ini angker? Aku bergidik ngeri. Kupacu cepat-cepat kakiku meninggalkan sisi taman yang rimbun oleh pohon-pohon tanjung sialan itu. Tidak ada pejalan kaki selain aku di sekitar sini. Aku tak terlalu memperhatikan jalan di depanku hingga menabrak seorang perempu

Dialog Perabotan Usang

Bunyi gemerincing rantai menggema di seisi ruangan pengap itu, mengagetkan seluruh penghuninya. Dua orang penjaga yang lebih mirip tukang jagal menyeret tubuh ceking seorang perempuan. Tubuh setengah sadar itu dipasung kakinya lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan tangan terikat. Wajah si perempuan penuh luka lebam. Seisi ruangan menatap dengan iba. Lalu mulailah mereka berdialog tentang seorang Marni. “Kali ini mereka sudah keterlaluan! Manusia macam apa mereka itu!” “Kita harus membantu Marni! Kalau begini terus dia bisa benar-benar gila!” “Ah, sudahlah. Itu urusan manusia. Kita hanya perabot yang tidak bisa apa-apa selain menyaksikan, Nyonya Kursi.” “Huh! Mendengar omonganmu barusan aku jadi merasa tidak berguna.” “Siapa bilang? Kita menyaksikan kejadian ini!” “Lalu setelah itu apa? Kita tetap tidak bisa membantu Marni.” “Kita akan bersaksi di hadapan Tuhan. Biarlah urusan dunia menjadi urusan manusia. Tapi bahkan aku yang hanya berasal dari sebatang kayu tak rela menye

Kejutan

     “ Semangat ya Chef Hara! Omong-omong pesanan nomor sembilan itu jangan sampai salah ya! Baca baik-baik tulisannya. Soalnya makanan itu buat tamu penting. Dia Ibu Merry, salah satu investor restoran ini,” jelas Cecile panjang-lebar. Mungkin ia takut aku membuat kesalahan sebagai chef baru.     “Siap!” sahutku sambil menyiapkan peralatan.     Kutengok lagi memo yang tadi ditempel oleh Cecile di dinding di hadapanku. Dua porsi gurame asam manis. Aku langsung teringat pada Mas Rendy. Itu adalah masakan favoritnya. Ia bisa menghabiskan dua piring nasi sekali makan kalau ada lauk itu di rumah. Hmmm. Nanti sampai di rumah aku akan memasakkan menu yang sama untuk berbuka. Lagi pula ini hari yang istimewa.     Oke. Dua porsi gurame asam manis. Aku mengambil dua ekor ikan gurame yang sudah dilumuri campuran bumbu bawang putih, garam, dan jeruk nipis. Kulumuri ikan itu dengan tepung maizena. Aku panaskan minyak di dalam penggorengan. Setelah panas kumasukkan dua ekor ikan itu ke dalamnya

Menghitung Bintang

Surat rindu untuk sayangku Selamat malam lelaki yang kutitipkan padamu sekeping cinta terbungkus harapan. Harapan untuk selalu kau menjaganya. Aku di sini masih menghitung bintang. Dan aku sungguh ingin kau berada di sini menggantikan udara kosong yang mengikutiku sampai ke atas atap. Di sana. Di atas kepala kita. Di antara pekatnya angkasa. Tengoklah! Aku telah menghitungnya. Sembilan ratus tujuh puluh enam bintang berkelip cemerlang. Malam ini sebanyak itulah rinduku pada bau tubuhmu. Angin malam ini lebih jahat dari biasanya. Ia membuat rambutku kusut. Kan sedang tidak ada kau yang akan merapikannya. Angin sengaja menggodaku untuk semakin ingat padamu. Pada kisah kita yang picisan. Lihatlah semakin malam ia semakin jahat. Ia menggoda terus kedua mata perekam sosokmu di kepalaku. Hingga pedih aku merasa. Kan sedang tidak ada kau yang biasa menghapus air mata yang keseringan tidak terkendali ini. Jadilah aku menangis tapi diam. Tangis karena angin. Apa? Kau tak percaya itu hanya

Nyapres

    "Jadi bagaimana, Pak? Bapak setuju dengan langkah ini?" Lelaki pertama berkata sambil mencondongkan badannya. Ia yang paling buncit di antara ketiga orang yang duduk mengelilingi meja bundar yang diterangi lampu kristal itu.     Lelaki kedua mendengus. Ia lalu memijat-mijat dahinya sendiri. Gusar.     "Tapi, Jon, ini bisa jadi bumerang untuk kita!" Akhirnya ia berbicara. Sisa-sisa kearifan masih ada di kalimat bergetar itu. Orang kedua itu ayahku.     "Santailah, Pak! Selama di antara kita tutup mulut, semua aman! Partai menjamin!" Lelaki ketiga ambil suara sambil menggosok-gosokkan telapak tangan. Rupanya ia tak sabar dengan keputusan sang Bapak.     "Iya betul itu, Pak! Saat ini hanya ada kita bertiga!" Lelaki pertama menambahkan. Kali ini tangannya terkepal.     "Nah, sekarang semua tergantung Bapak. Ingat, Pak, orang-orang partai menunggu." Lelaki ketiga berkata seolah berbisik.     Aku bergetar di tempatku. Mereka bertiga

Pecundang

Dia selalu menang. Aku tak pernah bisa mengalahkannya kalau soal kata-kata. Dia pasti jadi yang paling benar. Ah! Dasar Perempuan! Tak tahukah dia jika aku sudah berusaha? Makhluk yang paling susah kumengerti. Ketika kukatakan aku ingin pindah ke tempat yang lebih baik. Aku ingin mendapat posisi yang bagus. Hanya bertambah beberapa jam saja jarak dengannya. Dia justru merajuk tanpa ampun. Dan sekarang dia menuntutku untuk memenuhi permintaannya yang tidak penting. Harus. Kalau tidak dia pasti mengataiku habis-habisan. Aku ini selalu salah di matanya. Dia sekarang sedang menuntut. Dan ia kembali merajuk. Kali ini marah. Aku bertanya padanya apakah dia kecewa. Dan ia menjawab iya. Lalu kukatakan padanya untuk cari saja lelaki baru sana. Dan ia pergi. Tiba-tiba sebuah tangan tak kasat mata berhasil menyentilku dengan sangat tepat. Aku menyadari. Bahwa tidak ada satu pun pintanya yang benar-benar kupenuhi.

Tentang Ayah

Kali ini aku memilih gerbong campuran dalam perjalanan pulangku. Jam sebelas malam. Mayoritas penumpang kereta listrik ini adalah lelaki. Sebagian pemuda, sebagian para pemilik wajah kebapakan. Ah! Begitu banyak lelaki di sekelilingku saat ini. Tapi tidak ada satu pun yang cocok untuk bisa kujadikan ayah pengganti. Aku tak akan memilih sembarang lelaki. Huft! Aku kembali teringat dia karena mimpi semalam. Aku bermimpi ibu balikan lagi dengan dia yang bahkan sekarang entah di mana. sudah di surga, neraka atau masih bebas bernapas di dunia? Tapi itu hanya mimpi, sih. Yang kebetulan kualami dan membuat ingatanku terputar kembali. Bagaimana pun aku sempat punya masa-masa bersama dia selama delapan tahun pertama hidupku. Tapi hanya beberapa kenangan tidak penting saja yang justru tak perlu kuceritakan di sini. Kenangan tidak penting yang selalu melekat. Ya, selain bekas luka sudutan rokok yang sampai sekarang masih tersisa di tangan kiriku, ternyata ada juga yang mampu memutar ulang kena

Lelaki yang Paling Sulit Dicintai

Seorang lelaki yang sayang padamu tidak akan mampu berjauhan lama denganmu. Seorang lelaki yang mencintaimu tidak akan pernah meninggalkanmu setelah mendekatimu. Jika berjalan dia akan selalu menyamakan langkah denganmu. Jika berlari dia akan selalu mengimbangimu. Dia ingin selalu ada apa pun keadaan yang dihadapi. Seperti apa pun situasinya. Semua doktrin itu telah melekat padaku. Tidak ada yang bisa mengeditnya. Tidak ada kata kepergian untuk kembali. Tidak ada kata berjauhan demi mencari setumpuk uang untuk membeli rumah dan selingkar cincin. Aku tidak perlu ikatan berwujud dunia. Aku tidak perlu dilegalkan semua orang. Dan kau tahu? Bahwa tidak ada kata berpisah demi mempersiapkan masa depan yang baik. Kau masa depanku dan aku yang seharusnya menjadi masa depanmu. Ada kita di sana. Tidak ada yang lebih baik bagi sepasang pecinta kecuali sebuah kebersamaan. Aku tahu itu semua. Kau juga. Aku telah mengatakan seluruh poin impianku padamu. Aku pastikan kau mendengar detailnya kala

Balada UASUI: Sleep Paralysis

Pagi tadi aku baru akan berangkat tidur ketika azan subuh berkumandang. Hah. Lelah. Tapi untungnya makalahku telah rampung dengan baik. Aku menunaikan solat baru kemudian merebahkan diri. Ah. Baru akan terpejam mendadak aku berfirasat jika gangguan tidur itu pasti akan datang lagi. Semenjak mulai kuliah aku sering sekali mengalami sleep paralysis . Biasanya aku sering mengalaminya ketika masa-masa ujian seperti sekarang ini.  Sleep paralysis adalah gangguan tidur yang muncul karena keadaan otak dan tubuh yang tidak sinkron. Kalian pernah mengalaminya juga? Itu lho, sesuatu yang sering disebut dengan istilah tindihan. Kau akan merasa seolah-olah tidak bisa bergerak dan sulit bernapas ketika akan bangun dari tidur. Dan bersamaan dengan itu akan muncul bayangan yang seram. Kau merasa sudah berteriak untuk meminta tolong namun tidak ada apa-apa yang terjadi. Seolah usahamu sia-sia. Tadinya kupikir itu memang terjadi karena gangguan dari alam lain. Tapi ternyata ada penjelasan ilmiah

#DRAFT "June and Julian"

Lomba Novelet UNSA Tema: Life is beautiful June Aku seorang anak selebriti ternama yang disembunyikan dari mata dunia. Ibuku sampai kini tetap mengaku masih lajang. Ayahku yang seorang pendaki sampai kini tidak tahu keberadaanku. Ia bahkan tak tahu aku pernah dilahirkan. Masa muda mereka dulu penuh dengan kebebasan. Dan aku hadir tanpa diduga. Mungkin aku tak pernah diharapkan. Entahlah. Sebab aku tak pernah mendengar sebabak pun kisah cinta mereka. Entah aku lahir karena cinta atau hanya sebuah kesalahan. Tapi di sini aku sekarang. Berada jauh dari mereka berdua. Terdampar selama-lamanya. Aku diasingkan ke sebuah pesisir yang terletak di sisi selatan pulau Jawa. Tubuh mungilku sewaktu bayi dititipkan ke sepasang suami istri tua, Kek Mar dan Nini. Aku tumbuh dengan asuhan mereka berdua. Ibu sesekali mengunjungiku, meski masih bisa dihitung jumlahnya sampai aku berumur sembilan belas. Ia selalu datang membawa gemerlap kota yang memuakkan bersamanya. Orang yang memberiku kes

Lelaki Pecandu Kata

Tanpa sadar aku terus memperhatikan lelaki itu. Ia terus-terusan membuat tingkah yang aneh sejak mataku menangkap keberadaannya. Aku sedang di tepi danau. Duduk di antara bangku-bangku semen yang banyak tersedia. Tak jauh di sebelah kiriku, di situlah lelaki itu berada. Ia sama sepertiku. Sedang duduk-duduk menikmati pemandangan danau. Satu hal yang menarik perhatianku untuk terus memperhatikannya adalah tingkahnya yang tidak biasa. Ia tidak bisa diam. Pertama aku melihatnya sedang berusaha melemparkan batu ke danau dengan cara yang aneh. Sepertinya ia sedang mencoba untuk membuat batu itu seolah bergulir di atas air danau. Dan ia sesekali berhasil setelah puluhan kali percobaannya. Ia orang yang gigih. Kedua aku melihatnya mengeluarkan sebuah notes tak bergaris. Ia menulis di sana. Gerakan tangannya begitu cepat. Aku kagum. Dalam waktu lima menit ia sudah membalik halaman notes -nya. Kupikir ia adalah seorang penulis atau semacamnya. Lelaki biasa jarang sekali membawa-bawa n

Perang Batin

Oh, aku benar-benar sedang dalam masalah. Ide-ide itu beterbangan di atas kepalaku bagai selusin kupu-kupu. Aku harus menangkapnya dengan jaring imaji lalu memerangkapnya dalam tulisan. Tapi apa yang kulakukan sekarang? Tubuhku seolah menolak untuk bangun. Ia masih berguling-guling dalam kantuk. Gila! Virus malas menjangkit di mana-mana. Aku menoleh pada kertas-kertas fotokopian yang berserakan di lantai. Bahan-bahan yang masih belum bisa kumaknai itu melambai-lambai. Tes. Aku muak. Kutoleh dinding di sebelah kiri. Begitu banyak kertas peringatan yang menempel. Deadline-deadline tanggal yang indah. Menggiurkan. Howaaaaa! Aku serasa ingin berteriak. Mengapa ya hidup ini selalu dihadapkan pada pilihan? Padahal sebenarnya memilih itu tak semudah menemukan. Tugas. Tulisan. Makalah. Novel. Lulus. Lolos. Tes. Revisi. Gila! Mampus!

Sang Pendosa Cinta

Aku datang kembali hari ini. Bukan untuk memberi harapan. Juga bukan untuk berlutut mencium kaki May. Aku hanya berkunjung menengok dosa dari jauh. Keadaan May tak lebih baik dari sebelumnya. Ia masih terbaring telentang di ranjang itu. Matanya terpejam. Entah memang tidur ataukah dipaksa tidur. Tangannya terikat dengan kain di kedua sisi ranjang. Bukan perawat May yang keterlaluan tapi memang itu dilakukan demi keselamatan May. Ia sudah keterlaluan dalam menyakiti diri sendiri. Ah, May. Perempuan ini sudah terlalu membenci hidup. Kuperhatikan setiap jengkal dari keempat sisi ruangan. Ada tulisan baru di sana, di antara umpatan dan makian May terhadap lelaki yang dianggapnya makhluk terkutuk. Tulisan tangan May dengan darahnya sendiri. Huruf-huruf kacau berwarna merah itu nampaknya belum kering benar. Damn! Aku mengutuki perawat yang telah lengah mengawasi May. Mereka terlalu teledor. Sebelum ini May adalah perempuan paling tegar yang pernah kutemui. Hampir seluruh masa hidupnya ia

Sebuah Cinta Sederhana

Apakah hal yang paling ingin kau lakukan bersama seseorang yang kau cintai? Bepergian? Mengunjungi tempat-tempat indah bersama? Atau yang lebih sederhana candle light dinner di tepi pantai? Atau menikmati kembang api malam tahun baru? Atau hanya sekadar menatap bintang-bintang pada malam biasa? Kalau aku tidak pernah melakukan semua itu dengan Zac. Bahkan jika suatu saat ingin pun aku masih bisa menahannya. Lagipula hingga kini aku tidak menginginkannya, begitu pun Zac. Cukup dengan kebersamaan kami bahagia. Tapi ada satu hal teramat sederhana yang sungguh ingin kulakukan. Hal yang satu ini hampir sama tidak mungkinnya menjadi kenyataan dengan semua hal yang telah kusebutkan sebelumnya. Ya. Aku hanya ingin membalas tatapan matanya ketika menyambutku di awal hari. Selama ini aku hanya bisa membayangkan betapa indahnya mata Zac. Ia pernah mengatakan bahwa dirinya tak pernah bosan memperhatikanku. Itu berarti sepanjang waktu kebersamaan kami hampir seluruhnya tatapan mata Zac adalah m

Jika

Jika ada kehidupan selanjutnya, apa yang akan kau pertahankan? Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di pikiranku. Hah! Mengapa juga harus muncul pertanyaan seperti itu. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang mau memikirkan kehidupan ke depan yang bahkan belum diketahui oleh siapa pun kecuali Tuhan. Untuk apa memikirkannya jika hidup yang sedang kujalani saja berantakan? Bagiku hidup setiap orang itu sudah dituliskan Yang Kuasa. Manusia tinggal menjalani saja, dengan apa yang diusahakan dan dimiliki. Ah, memangnya apa yang masih kumiliki sekarang? Memiliki tak semudah itu. Saat kita memiliki, maka kita juga harus menjaga karena setiap pemilik sejati sampai kapan pun tak akan siap kehilangan. Anehnya, manusia selalu berambisi dengan kepemilikan. Sampai mereka tak menyadari bahwa sebenarnya tak ada yang bisa dimiliki tanpa adanya takdir. Dan kini takdir itu sedang berperan dalam sepenggal perjalananku. Pertanyaan besar itu masih saja memenuhi kepalaku. Dan sialnya aku mulai berpikir untu