Seperti bintang yang punya cahaya masing-masing, aku percaya pasti setiap orang punya masanya sendiri-sendiri untuk berjaya. Ya, saat ini semua itu adalah milikku. Akulah bintang itu. Bayaranku paling mahal. Wajahku sering muncul di media mana pun. Seluruh tubuhku adalah papan iklan produk-produk kenamaan. Akhir-akhir ini perusahaan-perusahaan suka sekali memberiku produk-produk gratisan yang sedang laris di pasaran.
Dengan semua itu jangan dipikir aku sudah punya semuanya. Tidak. Hidupku tidak sempurna. Aku sudah tidak punya Mama. Aku sepenuhnya menentang Ayah ketika memutuskan untuk merumput di lapangan hijau. Ayahku dulu penyerang yang hebat, tapi kemudian dipaksa untuk pensiun karena cedera parah. Beliau kemudian mati-matian melarangku bermain apa pun keadaannya. Ya tentu saja aku menolak. Sepak bola adalah kehidupanku.
Oh, satu lagi hal yang menghilangkan kesempurnaanku. Aku tidak punya kekasih. Bukan karena manajemen yang melarang. Juga bukan karena Ayah. Cuma hatiku selama ini tidak bisa beranjak dari satu nama. Iris.
Seseorang menelepon ke nomor ponselku. Kutatap lekat-lekat layar ponsel yang nyala-redup itu. Aku masih tak percaya dengan nama yang tertera di sana.
“I-Iris?” Aku menerima panggilan telepon itu dengan penuh keraguan.
“Rangga…” Suara jernih Iris menyapaku. Satu sapaannya saja ternyata mampu menyihirku menjadi kaku. “Rangga, aku kangen…”
Dasar perempuan tidak punya hati. Dulu kamu membuangku karena aku tidak punya uang, tidak bisa membelikanmu macam-macam. Kau meninggalkanku tapi membawa serta apa yang seharusnya kau tinggalkan. Cintaku.
“Rangga…”
“Kau ngomong apa, Iris? Sudah jangan kau teruskan omong kosongmu itu.”
“Tidak, Rangga. Aku serius. Aku kangen kamu. Aku ingin ketemu.”
Inilah Iris. Perempuan yang selalu bisa menggiringku ke dalam sisi paling melankolis dari diriku. Meski susah payah aku menahan untuk tidak menggubrisnya lagi, sihir Iris ternyata masih tetap berlaku padaku. “Kau di mana?” tanyaku.
“Aku di depan kamarmu.”
Aku tidak tahu sihir apa lagi yang dirapalkan Iris pada pelatihku. Bisa-bisanya dia diizinkan masuk ke area wisma dan menemuiku. Dia memang orang yang paling nekad yang pernah kukenal.
Kubuka pintu kamarku. Dan begitu aku melihat sosok itu aku merasa lumpuh. Luluh. Apa yang terjadi kemudian adalah kami kembali bersama. Sebegitu mudahnya.
***
Satu bulan kemudian…
Ini hari yang sangat penting. Kupertaruhkan seluruh hidupku demi sebuah gol yang akan mengantarkan kami ke babak final. Aku harus main bagus kali ini. Pokoknya kesebelasanku tidak boleh kalah.
Kulihat Iris masih setia berada di barisan penonton dengan raut wajah penuh suka cita. Dialah supporter-ku yang paling fanatik.
Aku berpacu dengan waktu. Menggiring bola secepat yang aku bisa menuju ke mulut gawang lawan dengan tidak mengesampingkan fokus. Lawanku kali ini cukup berat. Bastian, rival sejatiku sejak di U19. Dia sepertinya sudah banyak berlatih untuk mengimbangiku. Mungkin dia sudah bosan kalah dariku. Tapi aku tidak akan goyah.
Saat berlari seperti ini rasanya aku benar-benar lelaki sejati. Gila! Aku bisa mendengar irama detak jantungku sendiri. Kecepatanku terus bertambah. Peluhku bercucuran. Sekelilingku seperti kilasan pemandangan yang berganti dengan cepat. Akhir-akhir ini aku merasakan staminaku menanjak. Aku seperti tidak pernah kelelahan.
Dan saat kurasa telah mendapat posisi yang tepat, tanpa ragu kutembakkan bola. Kulit bundar itu melesak masuk membobol pertahanan lawan.
“Yak! Dan… goooool!” Suara presenter dari tribun utama membuat hatiku diliputi rasa senang yang menbuncah.
Menit-menit terakhir yang penuh ketegangan akhirnya usai. Kami berhasil lolos ke final. Semua orang mengelu-elukan namaku. Kutatap Iris di kejauhan. Ada yang berubah dari raut wajahnya. Itu tidak semestinya. Dia terlihat kecewa. Ada apa?
Sedetik kemudian kurasakan sesuatu seperti menarikku ke tanah. Aku limbung. Ambruk. Wajah cemas pelatih dan kawan-kawanku muncul satu per satu dengan latar belakang langit yang cerah. Hal terakhir yang kurasakan adalah aku merasa tercerabut dari tubuhku sendiri.Apa-apaan ini?
Aku seolah mengambang. Aku bisa melihat tubuhku yang lemas tanpa daya tergeletak di tanah. Tubuh pasrah yang tengah dikelilingi orang-orang berwajah pucat itu. Kulihat paramedis mengangkat tubuhku ke tandu lalu memeriksa denyut nadiku dan menggeleng. Aku tidak tahu lelucon macam apa ini?
Kucari-cari sosok Iris lagi. Dia sudah menghilang dari tribun. Kuarahkan pandanganku ke segal penjuru.
Sejurus kemudian kudapati sosoknya bersama seseorang yang baru saja menjadi lawanku. Bastian. Dia memeluk pinggang perempuan yang sedang tersenyum sinis ke arah tubuhku. Semua ini membuatku gila.
Kuikuti tubuhku yang digotong ke tepi lapangan untuk kemudian dimasukkan ke dalam ambulans yang dengan segera meluncur ke rumah sakit dengan suara sirine yang berisik. Aku masih tidak mengerti. Semuanya terjadi begitu cepat.
Sampai di depan ruang UGD. Aku menemukan mata sembab orang-orang yang kukenal. Pelatihku. Kawan-kawanku. Ayahku. Beliau yang berteriak paling histeris, “Rangga!!! Tidak! Tidak mungkin!” Dan terus mengulanginya.
Aku masuk ke dalam ruangan penuh peralatan medis itu melalui pintu yang terbuka. Kulihat tubuhku sudah kaku. Seseorang berseragam putih sedang menarik selimut sampai ke wajahku. Tidak ada siapa pun yang bisa menjawab kebingunganku.
Mereka semua masuk, melihat tubuhku sambil menggeleng-geleng.
“Nampaknya sejak awal korban mengalami aritmia*. Sepertinya korban terlalu banyak menggunakan canabinoids sehingga berujung pada kematian. Kami akan memeriksa cairan tubuhnya di lab untuk mengetahui secara detail,” suara itu menjawab kebingunganku.
“Canabinoids?” Pelatihku bertanya.
“Ya. Salah satu jenis doping.”
Aku kemudian teringat dengan makanan dan minuman untukku yang belakangan selalu dibawakan Iris setiap akhir pekan.
***
#DeskripsiKeringat 833 kata
*aritmia (kelainan detak jantung)
Komentar
Posting Komentar