Langsung ke konten utama

Jika

Jika ada kehidupan selanjutnya, apa yang akan kau pertahankan? Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di pikiranku. Hah! Mengapa juga harus muncul pertanyaan seperti itu. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang mau memikirkan kehidupan ke depan yang bahkan belum diketahui oleh siapa pun kecuali Tuhan. Untuk apa memikirkannya jika hidup yang sedang kujalani saja berantakan? Bagiku hidup setiap orang itu sudah dituliskan Yang Kuasa. Manusia tinggal menjalani saja, dengan apa yang diusahakan dan dimiliki.
Ah, memangnya apa yang masih kumiliki sekarang? Memiliki tak semudah itu. Saat kita memiliki, maka kita juga harus menjaga karena setiap pemilik sejati sampai kapan pun tak akan siap kehilangan. Anehnya, manusia selalu berambisi dengan kepemilikan. Sampai mereka tak menyadari bahwa sebenarnya tak ada yang bisa dimiliki tanpa adanya takdir. Dan kini takdir itu sedang berperan dalam sepenggal perjalananku.
Pertanyaan besar itu masih saja memenuhi kepalaku. Dan sialnya aku mulai berpikir untuk menjawabnya dengan awalan jika saja. Jika saja begini, jika saja begitu. Bahkan di siang yang panas ini, ketika aku dalam perjalanan menemui Ayah. Aku membawakan sebotol bir kesukaannya. Merk minuman itu sama dengan minuman yang selalu ditenggaknya ketika mengetuk pintu rumah dengan wajah sembab pada pukul tiga pagi.
Kutenteng botol dalam kantong plastik itu dengan langkah malas-malas. Aku sampai di tempat Ayah yang sedang terdiam. Kubuka tutup botol itu dan kusuguhkan ke hadapannya. Aku tidak ikut minum dan hanya memandanginya yang tetap seperti patung. Ia sama angkuhnya dengan saat masih tinggal di rumah kami.
"Hai, Ayah! Bagaimana kabarmu?” Aku menyapa lelaki yang katanya ayahku itu.
Kupejamkan mataku, meski dengan mata yang lain aku masih bisa memandang keriput-keriput yang semakin jelas di wajahnya seperti tahun-tahun yang lalu. Dan entah bagaimana sebuah percakapan yang tidak menyenangkan namun mengalir bisa terjadi begitu saja.
“Binar, anakku…” Sebuah suara serak yang dalam menyapa telingaku. Suara ayah yang memang sejak dulu seperti itu.
“Yah, aku ke sini bukan untuk bertukar rindu. Aku memang sedang tidak rindu padamu. Aku hanya ingin kau membantuku.”
“Apa yang bisa kulakukan, Binar?” Ayah setengah berbisik.
“Berjanjilah padaku untuk menjawabnya!” Aku menuntut.
“Ya,” sahut ayah singkat.
“Jika ada kehidupan selanjutnya, apa yang akan kau pertahankan? Jawab pertanyaan membingungkan itu, Yah!”
“Untuk apa ada pertanyaan seperti itu?” Tanya ayahku, dahinya berkerut.
“Agar kau menjawabnya, Yah.”
“Tanpa aku, bukankah kau sudah bisa menjawabnya?” Suara ayah penuh kebingungan.
Aku terdiam, masih menunggu kata-kata selanjutnya.
“Kau hidup dengan ibumu di dalam rumah itu...”
“Tidak!” Sahutku. “Tidak sama sekali! Apa yang harus kupertahankan? Diriku sendiri, Yah? Haha! Untuk apa mempertahankan jika hanya akan tetap hidup sendiri?”
“Tapi, Binar…”
“Apa, Yah? Kau sendiri tahu bukan jika aku tak lagi memiliki Ibu? Ibu telah dimiliki lelaki yang juga tinggal di dalam rumah itu. Rumah yang kau belikan untuk Mira, perempuan mulia yang kau pinang dua puluh tahun silam. Dan lelaki di dalam rumah itu sekarang bukan kau! Kau ingat-ingat itu, Ayah!”
Hening. Kurasa lelaki tua ini tertohok dengan seranganku. Sesungguhnya aku sama sekali tidak bermaksud kasar padanya. Meski dulu ia selalu kasar pada siapa saja. Dulu sekali ketika kedua tangannya masih berotot dan dadanya masih bidang. Ya kini untuk apa membalas perlakuan lelaki tua yang sudah tak berdaya Meskipun ia sebenarnya lebih dari pantas untuk diperlakukan demikian. Namun aku hanya melihat tindakan itu sia-sia. Sebrengsek apa pun ia tetap ayah.
“Maaf, Binar. Tapi pertanyaan itu pun terlalu sulit. Kau tahu, Anakku. Aku sendiri tak bisa memiliki siapa-siapa lagi sampai masa tuaku. Baru saja kau yang mengingatkanku soal itu.”
“Lalu kehidupanmu yang penuh dengan kesenangan itu apa, Yah? Apa namanya kalau bukan kau telah memiliki kehidupanmu sendiri?”
“Hahaha!” tawa Ayah meledak. Ia melanjutkan. “Sebanyak apapun kata-kata yang bisa terucapkan tak akan bisa mewakili penyesalanku. Ya, aku menyesal, Nak. Hidup memang seperti itu, Binar.”
“Tidak, Yah! Tidak jika kau tidak lebih dulu memutuskan untuk memiliki kami. Kau egois! Kau hanya mau memiliki kami, tanpa menjaga sedikit pun. Hidupmu selebihnya hanya tentang kesenangan.”
“Ya, Binar. Aku juga tak habis pikir akan seperti ini jadinya. Menjawab pertanyaanmu, jika ada kehidupan selanjutnya, maka kalian berdualah yang akan kupertahankan.”
“Kau sepenuhnya salah, Ayah. Kau kalah oleh takdir. Bagaimana bisa kau mempertahankan kami yang sudah tidak lagi kau miliki? Kau ini lelaki paling aneh sedunia!”
Percakapan terhenti sejenak, hanya desir angin yang terdengar.
“Kau benar, Binar. Aku sudah tak bisa melakukan apapun. Ambil kembali ibumu, miliki ia untukku.”
“Jika ada kehidupan selanjutnya maka aku memilih untuk tak mempertahankan apapun, termasuk kau. Biar saja semua seperti ini,” sahutku.
 Takdir. Takdir. Takdir. Takdir. Takdir. Kata itu memenuhi kepalaku, membuatku seolah-olah akan meledak. Kuhirup dalam-dalam oksigen ke dalam paru-paru. Aku seakan siap menerjang lawan dengan kekuatan penuh. Aku punya senjata untuk melumpuhkannya. Kudongakkan kepalaku kepada langit siang yang bersih.
“Toh Ibu sudah bahagia tanpa kau. Benar, kan Ayah?” Aku menyeringai. “Aku tidak mau seperti kau, Ayah!” jeritku.
Kubuka mataku. Suara berat Ayah masih terdengar walau kini semakin samar.
“Seperti aku yang mana?”
“Kau yang tak mampu menjaga milikmu.”
Ayahku membisu. Angin berdesir di atas pusaranya.


Yogjakarta, 27 April 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels , tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?                 Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan...

Gadis Teh di Kedai Kopi

Secangkir espresso terhidang di atas meja. Aromanya sampai ke hidungku dalam sekejap. Kulirik sejenak tangan kurus yang baru saja meletakkannya. Aku lalu mencuri pandang sekilas ke arah wajahnya. Belum pernah kulihat pramusaji yang satu ini. Wajah bersih yang manis. Tiba-tiba aku teringat pada tokoh utama dalam novel yang sedang kutulis.             “Orang baru?” tanyaku tanpa menyudahi aktivitas membaca yang sejak tadi kulakukan.             Ia tak segera menjawab meski kutunggu hingga beberapa jenak. Kulirik ke bawah, tepat ke sepatunya. Ia masih di sana, bergeming.             Aku tidak biasa dihiraukan. Kutarik napas dalam-dalam seraya meletakkan novel di samping cangkir espresso yang masih mengepul. Kualihkan pandangan pada si gadis pramusaji. “Kau tak dengar pertanyaanku?” lemparku sekali lagi.   ...

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j...