Langsung ke konten utama

#DRAFT "June and Julian"

Lomba Novelet UNSA
Tema: Life is beautiful

June
Aku seorang anak selebriti ternama yang disembunyikan dari mata dunia. Ibuku sampai kini tetap mengaku masih lajang. Ayahku yang seorang pendaki sampai kini tidak tahu keberadaanku. Ia bahkan tak tahu aku pernah dilahirkan. Masa muda mereka dulu penuh dengan kebebasan. Dan aku hadir tanpa diduga. Mungkin aku tak pernah diharapkan. Entahlah. Sebab aku tak pernah mendengar sebabak pun kisah cinta mereka. Entah aku lahir karena cinta atau hanya sebuah kesalahan. Tapi di sini aku sekarang. Berada jauh dari mereka berdua. Terdampar selama-lamanya.

Aku diasingkan ke sebuah pesisir yang terletak di sisi selatan pulau Jawa. Tubuh mungilku sewaktu bayi dititipkan ke sepasang suami istri tua, Kek Mar dan Nini. Aku tumbuh dengan asuhan mereka berdua. Ibu sesekali mengunjungiku, meski masih bisa dihitung jumlahnya sampai aku berumur sembilan belas. Ia selalu datang membawa gemerlap kota yang memuakkan bersamanya. Orang yang memberiku kesempatan hidup itu menjadi orang paling asing yang kukenal. Tapi terlepas dari setumpuk rahasia yang dimilikinya aku mencintai ibuku.

Aku tidak menuruni sifat ibuku yang bebas dan berani. Bagaimana pun aku tumbuh di sela-sela kearifan lokal sebuah pesisir. Diasuh oleh kedua orangtua baru yang kental dengan nilai-nilai kejawen namun asyik. Kek Mar adalah sosok lelaki yang paling keren untuk menjadi seorang ayah pengganti. Ia mengajarkan banyak hal tentang alam. Nini adalah seorang perempuan yang paling cocok untuk menjadi seorang ibu. Sayang Tuhan tak juga mengabulkan  harapan terbesarnya untuk menjadi ibu real. Tapi katanya aku adalah bocah terbaik untuk menjadi seorang anak pengganti.

Aku selalu suka dengan anak-anak sini. Mereka adalah para penikmat alam sejati. Aku pun kini ikut-ikutan menjadi salah satunya. Mereka baik-baik dan tidak pernah mempermasalahkan statusku. Pasti akan berbeda sekali jika ibu tidak membuangku ke sini. Aku pasti akan terkurung dalam sebuah kehidupan menyebalkan penuh dengan gelar dan tahta di Ibukota. Toh tidak ada bedanya. Aku bisa jamin ia akan tetap meninggalkanku setiap saat. Ibuku selebriti yang selalu bersinar. Dan sinar itu tidak pernah redup. Setiap ia muncul seolah di sekelilingnya sejuta cahaya menerangi.

Hidupku sama seperti bulan Juni yang tak jelas apa musimnya. Terkadang aku menebak-nebak apakah yang selanjutnya akan terjadi. Hujan yang basah dan dingin atau kemarau yang kering dan berdebu. Aku pernah berkhayal jika satu saat ibu akan membawaku ke depan media, melakukan press conference, mengakuiku sebagai anak kandungnya. Tapi seiring semakin mendekatnya angka dua dan nol padaku, aku tanpa sadar membuat khayalan itu perlahan-lahan terbang terbawa angin. Aku semakin tidak peduli. Bagiku hidup di sini pun indah.

Aku seorang gadis aneh. Ini penilaianku pribadi. Bagaimana dengan seorang gadis yang selalu menghitung langkah kaki ketika berjalan? Cukup tidak normalkah? Tapi hal-hal yang menjadi kebiasaanku itu selalu menyenangkan untuk dilakukan. Aku juga suka membuat istana dengan pasir pantai. Tapi aku tidak bisa berenang dan aku benci air laut. Satu yang selalu aku nantikan dari ibu adalah kiriman paket novel-novel best-seller dengan tanda tangan asli dari penulisnya. Tentu mendapatkannya tidak sulit untuk ibuku yang seorang bintang.

Ya, aku cinta membaca. Hampir seluruh  lemari yang ada di rumah Kek Mar dan Nini kupenuhi dengan novel-novel. Aku selalu kecanduan dengan bau halaman-halaman novel baru yang terbuka. Jangan berpikir kalau aku  ini tidak sekolah. Aku tetap menjalani masa-masa sekolah seperti anak lain. Jangan bayangkan juga pesisir ini adalah daerah yang tertinggal. Teknologi sudah menjadi bagian yang hampir tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat. Sinyal internet 3G pun tersedia. Makanya aku tidak ketinggalan segala kemajuan kota. Pesisir tempat aku tumbuh ini sudah seperti sebuah kota kecil yang mungkin seratus tahun mendatang akan menjadi secanggih New York.

Ada sebuah sisi bukit di atas tebing pantai yang menjadi tempat favoritku. Tempat Kek Mar dan Nini dulu menikmati kebersamaan dengan penuh cinta. Kini mereka telah renta, jadi tidak bisa mendaki bukit itu lagi. Di sana ada sebuah rumah papan yang cantik. Rumah itu ditumbuhi oleh tanaman rambat liar songgo langit yang berbunga merah kecil-kecil. Tempat itu adalah kursi VIP untuk menikmati alam. Tempat kau berdekatan sekali dengan bumi sekaligus langit yang seolah tepat di atas kepala.

Di sisi lain bukit, terdapat kolam alami yang berbatasan langsung dengan hutan kecil. Orang bisa meminum langsung airnya. Tapi Kek Mar tak pernah membolehkan aku ke sana. Ke hutan yang kata teman-temanku terlalu indah untuk dilewatkan. Satu-satunya impian yang paling mungkin adalah mengunjungi hutan itu. Mungkin setelah usiaku bertambah satu nanti Kek Mar akan bisa luluh dengan permintaanku ini. Aku akan mencoba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Seoul-mate!

Sial! Tinta dari pulpen yang kupegang menetes mengotori kertas catatan dan tangan kananku. Aku baru saja ingin mulai menulis dan tinta pulpenku bocor. Untuk beberapa saat aku sibuk membersihkan tinta yang menetes tadi dengan selembar kertas bekas yang kurobek dari halaman terakhir buku catatanku. Sekilas aku melirik sekeliling, untunglah tak ada yang memperhatikan kekonyolanku. Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Pikiranku langsung terhubung pada satu kenangan. Saat ketika kau merelakan seragam olahragamu untuk mengelap cat tembok basah yang tidak sengaja kusandari. Dulu momen itu tak berarti apa-apa tapi kini sakitnya luar biasa. Dan saat aku merobek-robek buku catatan lucuku karena kau menggambar aku dengan muka cemberut ketika aku sedang marah padamu tiga tahun lalu. Kini rasanya aku ingin menyatukan kembali robek-robekan itu.             Jumat siang, pukul setengah dua belas. Para lelaki muslim berjamaah menuju masjid kampus. Mereka lewat lobi perpustak