Langsung ke konten utama

Menghitung Bintang

Surat rindu untuk sayangku

Selamat malam lelaki yang kutitipkan padamu sekeping cinta terbungkus harapan. Harapan untuk selalu kau menjaganya. Aku di sini masih menghitung bintang. Dan aku sungguh ingin kau berada di sini menggantikan udara kosong yang mengikutiku sampai ke atas atap.

Di sana. Di atas kepala kita. Di antara pekatnya angkasa. Tengoklah! Aku telah menghitungnya. Sembilan ratus tujuh puluh enam bintang berkelip cemerlang. Malam ini sebanyak itulah rinduku pada bau tubuhmu.

Angin malam ini lebih jahat dari biasanya. Ia membuat rambutku kusut. Kan sedang tidak ada kau yang akan merapikannya. Angin sengaja menggodaku untuk semakin ingat padamu. Pada kisah kita yang picisan.

Lihatlah semakin malam ia semakin jahat. Ia menggoda terus kedua mata perekam sosokmu di kepalaku. Hingga pedih aku merasa. Kan sedang tidak ada kau yang biasa menghapus air mata yang keseringan tidak terkendali ini. Jadilah aku menangis tapi diam. Tangis karena angin.

Apa? Kau tak percaya itu hanya karena angin? Sungguh, Sayang. Apa-apa menjadi jahat ketika kau tidak di sini. Mungkin mereka bisa mencuri cubit mumpung tidak ada kau. Pipiku merah, mataku pedih, tapi ada yang aneh dengan hatiku.

Kau sedang melakukan apa? Apa yang seharusnya kita lakukan bersama? Biasanya tengah malam seperti ini kita akan menjadi dua orang bodoh yang duduk di atas atap. Menanti bintang jatuh. Tapi sedang tidak ada kau. Jadilah aku menghitung bintang yang tak jatuh.

Pada saat kau ada di sebelah sini. Aku ingat itu. Kita pernah menangkap bintang jatuh. Pada malam yang sama dinginnya dengan kali ini. Kau menggenggamnya di tangan lalu kau serahkan padaku.

"Yak! Lihat! Itu hadiah istimewa Tuhan untukmu," katamu kala itu, ketika mata telanjang kita sama-sama menyaksikannya. Kita seperti orang gila.

Kau menghening cipta. Menghela napas panjang. Aku mengikuti gayamu. Kau berdoa lama sekali. Karena aku menunggu kau selesai. Aku tidak tahan.

"Apa yang kau harapkan sampai selama itu?"

"Sssssssst!"

Aku kembali pejam. Diam. Kuulangi lagi permohonan yang sedikit memaksa itu. Tuhan... kumohon... amin.

Kubuka mataku. Kau pun selesai setelahnya. Aku bertanya padamu, "boleh aku tahu permohonanmu?"

Kau tertawa kecil.

"Apa?" kataku lagi.

"Aku memohon pada Tuhan untuk mengabulkan permohonanmu."

"Kalau begitu kita akan menikah di bawah bintang-bintang malam ini tujuh tahun lagi."

Kau toleh aku. Bertanya dengan bahasa kekasih.

"Iya. Itu yang kumohonkan pada Tuhan."

     
            Di bawah kerlipnya, 7 Juli 2014

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels , tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?                 Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan...

Gadis Teh di Kedai Kopi

Secangkir espresso terhidang di atas meja. Aromanya sampai ke hidungku dalam sekejap. Kulirik sejenak tangan kurus yang baru saja meletakkannya. Aku lalu mencuri pandang sekilas ke arah wajahnya. Belum pernah kulihat pramusaji yang satu ini. Wajah bersih yang manis. Tiba-tiba aku teringat pada tokoh utama dalam novel yang sedang kutulis.             “Orang baru?” tanyaku tanpa menyudahi aktivitas membaca yang sejak tadi kulakukan.             Ia tak segera menjawab meski kutunggu hingga beberapa jenak. Kulirik ke bawah, tepat ke sepatunya. Ia masih di sana, bergeming.             Aku tidak biasa dihiraukan. Kutarik napas dalam-dalam seraya meletakkan novel di samping cangkir espresso yang masih mengepul. Kualihkan pandangan pada si gadis pramusaji. “Kau tak dengar pertanyaanku?” lemparku sekali lagi.   ...

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j...