“Semangat ya Chef Hara! Omong-omong pesanan nomor sembilan itu jangan sampai salah ya! Baca baik-baik tulisannya. Soalnya makanan itu buat tamu penting. Dia Ibu Merry, salah satu investor restoran ini,” jelas Cecile panjang-lebar. Mungkin ia takut aku membuat kesalahan sebagai chef baru.
“Siap!” sahutku sambil menyiapkan peralatan.
Kutengok lagi memo yang tadi ditempel oleh Cecile di dinding di hadapanku. Dua porsi gurame asam manis. Aku langsung teringat pada Mas Rendy. Itu adalah masakan favoritnya. Ia bisa menghabiskan dua piring nasi sekali makan kalau ada lauk itu di rumah. Hmmm. Nanti sampai di rumah aku akan memasakkan menu yang sama untuk berbuka. Lagi pula ini hari yang istimewa.
Oke. Dua porsi gurame asam manis. Aku mengambil dua ekor ikan gurame yang sudah dilumuri campuran bumbu bawang putih, garam, dan jeruk nipis. Kulumuri ikan itu dengan tepung maizena. Aku panaskan minyak di dalam penggorengan. Setelah panas kumasukkan dua ekor ikan itu ke dalamnya sampai seluruh badan ikan terendam minyak. Kutunggu hingga matang dan kering lalu kuangkat dan kutiriskan.
Untuk membuat kuahnya, aku mulai memanaskan minyak dengan teflon yang baru. Irisan bawang putih dan bawang bombai kumasukkan ke dalamnya hingga berwarna kekuningan. Setelahnya kumasukkan daun bawang yang telah dicincang bersama cabai merah, jahe, irisan timun, wortel, saus tomat, garam, gula, merica bubuk, dan cuka. Kuaduk semua bahan itu hingga merata. Terakhir, aku memasukkan adonan tepung maizena ke dalamnya dan memasaknya hingga kuah matang dan mengental.
Aku mulai sesi penyajian. Kuletakkan masing-masing ikan gurame itu pada dua piring cantik. Kemudian kusiramkan kuah yang sudah kubuat tadi di atasnya. Sempurna. Kuletakkan dua porsi pesanan itu di etalase. Cecile sudah datang sebelum aku memencet bel. Ia lalu membawanya ke meja nomor sembilan bersama dengan dua porsi nasi dan dua gelas jus jeruk yang telah disiapkan oleh chef lain dalam sebuah nampan.
Setelah pesanan itu, aku istirahat sejenak dengan menyandarkan tubuhku di samping lemari es. Sudah ada memo-memo baru yang ditempelkan oleh pramusaji yang lain. Kutengok jam di dinding dapur. Pukul dua belas tiga puluh. Masih ada satu setengah jam lagi sebelum waktu kerjaku habis dan digantikan oleh chef lain. Rupanya ini saatnya jam makan siang. Makanya cukup banyak pesanan yang datang. Tapi memang tidak seramai biasanya karena ini bulan puasa.
“Hara hebat deh tetep puasa! Padahal banyak godaan loh kerja jadi chef di saat-saat begini. Aku aja ngiler lihat masakanmu,” ujar Cecile yang tiba-tiba menghampiriku di dapur.
“Haha. Iya dong. Kamu juga masih tahan kan?”
“Sampai detik ini sih masih. Hehe!” ujarnya sambil memainkan kertas memo kosong berhias huruf a besar di tangannya.
“Eh, gimana tadi Ibu Merry itu? Kelihatan puas nggak?”
“Wah! Dia kelihatan seneng banget! Nggak tahu sih itu karena masakanmu atau bukan.”
“Loh? Kok gitu?”
“Iya. Bu Merry datang sama pacarnya. Mesra banget! Sampe pegang-pegangan tangan gitu. Bulan puasa, udah nggak puasa malah pacaran siang-siang,” gerutu Cecile.
“Haha! Oh, jadi dia makan sama pacarnya?”
“Iya. Dia sering diajak makan di sini. Aku sampai hapal banget mukanya yang ganteng itu.”
Aku hanya manggut-manggut. Karena pekerjaanku di dapur, aku tidak pernah tahu wajah orang-orang yang memakan masakanku. Tapi kuharap mereka selalu puas dengan hasil kerja kerasku.
***
Aku sudah selesai menyiapkan menu berbuka puasa sebelum Mas Rendy sampai di rumah. Seporsi gurame asam manis terhidang dengan cantik di meja makan. Aku juga sempat membuat es buah. Hari ini buka puasa ketujuhbelas kami. Kuharap ia pulang tepat waktu. Aku akan mengatakan sesuatu yang penting. Lagi pula aku sudah memasak menu spesial kesukaannya.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Sebentar lagi Mas Rendy sampai. Kulihat lagi menu yang ada di atas meja. Mantap. Aku cukup puas dengan hasil kerjaku itu. Bersamaan dengan itu, aku mendengar sebuah ketukan di pintu. Diiringi dengan suara suamiku memberi salam.
“Akhirnya nyampai juga, Mas,” aku menyambutnya. Kucium punggung tangan Mas Rendy.
“Hehe. Iya,” ujarnya. Senyum cerah menghiasi wajah gantengnya.
Aku sedikit heran dengan ekspresi itu. Sepertinya ia baru saja mengalami sesuatu yang menyenangkan.
“Ada apa, Mas? Kok kelihatan seneng banget?” tanyaku penasaran.
Mas Rendy tidak menyahut apa-apa. Ia hanya bersiul-siul sambil masuk ke kamar mandi setelah melepas kemeja kerjanya.
Aku hanya menggeleng. Kuambil kemeja Mas Rendy untuk kumasukkan ke dalam tempat pakaian kotor. Tak lupa kuperiksa dulu sakunya kalau-kalau ada ponsel di dalamnya. Ia memang sedikit ceroboh. Tidak ada ponsel di sana. Tapi aku justru menemukan secarik kertas. Sepertinya sebuah setruk pembayaran. Aku sepertinya kenal dengan warna setruk itu. Setruk yang sama dengan restoran tempatku bekerja. Kubuka kertas yang terlipat itu dan menemukan nama Rendy Mahendra di sana. Di bawah lambang huruf a besar itu.
Deg!
Kubaca tulisan huruf cetak yang sedikit kabur di tanganku. Menu yang sama dengan yang kubuatkan untuk meja nomor sembilan tadi siang. Jam pembayarannya pukul satu lebih sebelas menit. Tidak salah lagi. Suamiku tidak berpuasa. Percuma aku menyiapkan kejutan untuknya. Tiba-tiba aku merasa pekerjaanku sia-sia. Sekarang justru aku yang diberi kejutan ini. Dan. Tunggu! Meja nomor sembilan?
***
Wonogiri, 16 Juli 2014
Diikutkan dalam tantangan ##DeskripsiBakso @KampusFiksi. Terdiri dari 800 kata. Menggunakan 2 kata lalu dan 1 kata kemudian.
Komentar
Posting Komentar