"Jadi bagaimana, Pak? Bapak setuju dengan langkah ini?" Lelaki pertama berkata sambil mencondongkan badannya. Ia yang paling buncit di antara ketiga orang yang duduk mengelilingi meja bundar yang diterangi lampu kristal itu.
Lelaki kedua mendengus. Ia lalu memijat-mijat dahinya sendiri. Gusar.
"Tapi, Jon, ini bisa jadi bumerang untuk kita!" Akhirnya ia berbicara. Sisa-sisa kearifan masih ada di kalimat bergetar itu. Orang kedua itu ayahku.
"Santailah, Pak! Selama di antara kita tutup mulut, semua aman! Partai menjamin!" Lelaki ketiga ambil suara sambil menggosok-gosokkan telapak tangan. Rupanya ia tak sabar dengan keputusan sang Bapak.
"Iya betul itu, Pak! Saat ini hanya ada kita bertiga!" Lelaki pertama menambahkan. Kali ini tangannya terkepal.
"Nah, sekarang semua tergantung Bapak. Ingat, Pak, orang-orang partai menunggu." Lelaki ketiga berkata seolah berbisik.
Aku bergetar di tempatku. Mereka bertiga salah. Yang mengetahui hal itu adalah empat pasang mata. Aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ayahkulah kuncinya. Sepertinya ia masih mempertimbangkan moral. Ia hanya tidak mau malu. Tapi ia juga tidak ingin dianggap pengecut oleh rekan-rekannya. Sebenarnya di sini siapa yang jahat?
"Beri aku waktu, Jon, Pras. Ini bukan hanya soal partai, tapi negara!" ujar ayah tegas.
Lelaki pertama dan ketiga tersenyum sumringah lalu mohon diri.
"Keluarlah, Nak. Kau tidak perlu sembunyi dari Ayah."
Aku melangkah dari persembunyianku di balik pintu. Kudekati kursi ayah. Ia menenggak habis segelas kopi yang telah mendingin. Matanya yang merah menerawang.
"Ayah, kenapa Ayah tidak langsung menolak tawaran itu? Apa Ayah sekarang mulai haus harta?"
"Ngomong apa kau, Nak? Itu bukan hanya soal kekayaan. Ayah sedang dalam posisi yang sulit."
"Sulit? Apakah karena tawaran tadi begitu menggiurkan, Yah? Apa karena ini kesempatan Ayah untuk bisa jadi orang nomor satu di negeri ini?"
"Hhhh..." Ayah hanya menghela napas.
Aku tahu ayah seorang nasionalis. Ia pasti ingin melakukan yang terbaik untuk negara. Ini kesempatan untuknya. Tapi ia benci perjanjian dengan partai. Orang-orang partai pasti punya tujuan sendiri. Itu yang dibenci ayahku. Dan kini kedua rekannya sudah memihak partai.
"Ayah takut dosa? Atau Ayah takut jadi boneka partai? Ayah pilih yang mana, Yah?"
"Kau sekarang semakin pandai beretorika, Nak. Dasar mahasiswa jaman sekarang! Tapi politik tidak sesederhana itu."
"Ah, Ayah. Kalau begitu tolak saja, Yah! Kenapa harus pusing? Apa sepenting itu untuk nyalon, Yah? Ayah bisa membantu Indonesia dengan cara lain."
"Tapi ini bukan saja tentang membantu negara, Nak. Ini juga soal ibumu."
"Ibu? Apa hubungannya dengan Ibu, Yah?"
"Ibumu ada pada mereka."
"Hah? Bu-bukannya Ibu sedang shopping ke luar negeri?"
Ayah mengambil ponsel. Diperlihatkannya padaku sebuah video yang memperlihatkan Ibu sedang berada di sebuah jamuan makan. Meja makan dan ruangan yang besar. Dinding-dinding di belakang ibu penuh dengan lambang hitam yang sudah kukenali benar. Wajah ibu pucat pasi. Ia menggenggam gelas anggurnya erat-erat di atas meja.
Aku mengambil ponsel ayah. Kuperhatikan lebih seksama gambar ibu di sana. Aku langsung kaku mematung. Tepat di tempat ibu menyematkan pin mutiara di dadanya ada titik-titik merah sinar laser. Tiga-empat orang mungkin sedang membidik ibuku.
"Yah..." Aku menatap ayah. Sekarang aku tahu bagaimana posisi ayah. Ia tidak bisa memilih. Ia tidak bisa berkata tidak. Dalam hati aku mengutuki si lelaki pertama dan ketiga yang datang tadi. Rupanya mereka bukan lagi rekan ayah. Tapi penjahat-penjahat yang sama busuknya dengan orang-orang di jamuan makan itu.
"Bagaimana dengan polisi, Yah?" Aku bertanya seolah-olah itu masih berguna.
"Tidak, Nak. Urusan nyawa ibumu tidak bisa kuserahkan pada polisi. Tau apa mereka tentang seorang istri, seorang ibu. Aku akan turun sendiri. Nyawa ibumu lebih berharga dari negara ini."
Wonogiri, 6 Juli 2014
Komentar
Posting Komentar