Langsung ke konten utama

Sang Pendosa Cinta

Aku datang kembali hari ini. Bukan untuk memberi harapan. Juga bukan untuk berlutut mencium kaki May. Aku hanya berkunjung menengok dosa dari jauh.

Keadaan May tak lebih baik dari sebelumnya. Ia masih terbaring telentang di ranjang itu. Matanya terpejam. Entah memang tidur ataukah dipaksa tidur. Tangannya terikat dengan kain di kedua sisi ranjang. Bukan perawat May yang keterlaluan tapi memang itu dilakukan demi keselamatan May. Ia sudah keterlaluan dalam menyakiti diri sendiri. Ah, May. Perempuan ini sudah terlalu membenci hidup.

Kuperhatikan setiap jengkal dari keempat sisi ruangan. Ada tulisan baru di sana, di antara umpatan dan makian May terhadap lelaki yang dianggapnya makhluk terkutuk. Tulisan tangan May dengan darahnya sendiri. Huruf-huruf kacau berwarna merah itu nampaknya belum kering benar. Damn! Aku mengutuki perawat yang telah lengah mengawasi May. Mereka terlalu teledor.

Sebelum ini May adalah perempuan paling tegar yang pernah kutemui. Hampir seluruh masa hidupnya ia tersakiti oleh lelaki. Ayahnya seorang maniak seks yang tidak pernah puas hanya dengan satu perempuan. Mungkin di luar sana ada lusinan anak lain dari benih yang ditebarkannya pada rahim ratusan perempuan selain ibu May. Dan ibunya sendiri tentu sudah kabur entah ke mana karena mungkin sudah tidak tahan lagi. Kedua kakak laki-lakinya juga berandalan. Ia hidup dengan mereka selama seperempat abad.

May begitu kuat. Ia tidak pernah ambil pusing dengan keluarganya yang berantakan. Bagi May, hidup ada untuk dinikmati. Itulah sosok May sebelum mengenalku.

Tapi aku bersalah. Bahkan penyesalan itu tak akan cukup jika pun kutebus dengan nyawaku sendiri. Dan aku juga tidak ingin melakukannya.

May mencintaiku. Ia menggantungkan sebaris harapannya untuk bahagia di pundakku. Setiap kali bertemu denganku ia akan berangan-angan, membicarakan masa depan yang disangkanya adalah milik kami dengan mata berbinar-binar. Dan aku menerima cinta May dalam diam.

Aku sendiri tak pernah menceritakan latar belakangku pada May. Semenjak perkenalan pertama, May tidak pernah berusaha menginterogasiku. Itulah yang membuatku tertarik padanya.

Hanya satu yang pernah kukatakan pada May. Bahwa aku adalah tipe lelaki bebas. Dan ia menerima itu dengan satu senyuman malaikat sebelum bibir kami saling berpeluk. Gila memang. Pesona May melarutkan akal sehatku. Terlebih May mengatakan padaku dengan liarnya bahwa akulah cinta pertama dan satu-satunya dalam hidup. Saat itu aku tahu pasti bahwa ini akan berbahaya. Tapi aku begitu nyaman dalam dekap canda candu May.

May dan aku begitu dekat. Kami melakukan hal-hal menyenangkan berdua. Layaknya sepasang pecinta yang menikmati dunia tanpa peduli dosa. Ia cantik dan seksi. Aku tampan dan berharta. Aku dapat memberikan apa saja pada May. Semua permintaannya kuturuti hanya dengan satu jentikan jari. Aku seperti Tuhan di matanya. Ia memujaku jiwa-raga. May melekat erat padaku.

Tiga tahun sisi lain hidupku yang kupaksakan sebagai lelaki bebas kuhabiskan bersama May. Tanpa komitmen. May bukan tipe perempuan penuntut. Dan jujur aku bahagia dengan itu. Ia selalu tertawa di sampingku. Ia tergila-gila pada setiap sentuhanku. Sampai pada satu titik aku tersadar dengan segala perbuatanku yang menjijikkan ini. Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini.

Waktu itu hampir pagi. Hujan deras masih membuai May dalam tidur lelap setelah petualangan gila semalam. Butir-butir keringat muncul di wajahnya. Cantik. Kupandangi ia sekali lagi untuk terakhir kali sebelum aku berlalu.

Aku memutuskan untuk kembali. Kembali pada anak-anakku dan ibunya yang sedang merindukanku di rumah. Kembali pada pemilikku yang sah. Kutinggalkan May yang masih berselimut hujan. Mungkin Tuhan yang telah meluruskan pikiranku.

Dan kini May yang ada di hadapanku adalah ia yang telah kehilangan segalanya. Memang akulah yang bersalah. Tapi aku tak bisa dan tak mau menebus kesalahanku lagi-lagi dengan satu hal sederhana yang dipintanya. Sebab hal sederhana itu tak pernah ada di antara aku dan May. Sesuatu yang sederhana itu telah digenggam sepenuhnya oleh ibu dari anak-anakku. Sesuatu yang disangka May adalah miliknya yang tak pernah sekalipun kuakui pun dalam diamku. Sesuatu itu disebut cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cant...