Langsung ke konten utama

Hanya Mengagumi

Aku menahan napas (kalau memang bisa disebut begitu). Wangi qlinique happy milik Saphire menyeruak di udara. Sial! Aku tidak bisa menahan untuk tidak menghirupnya dalam-dalam, meski aku tahu itu tak berfungsi apa-apa selain hanya menambah candu. Ia baru saja lewat di hadapanku dengan langkah-langkah cepatnya. Bahkan hanya dari langkah saja ia sudah begitu memesona.
Sementara aku masih terbius oleh parfum Saphire, ia sudah berlalu dari pandanganku. Hari ini Saphire cantik sekali meski dengan gayanya yang seperti biasa: kaos bergambar band-band ternama dunia—kali ini The Beatles—dan celana jeans serta sneakers kesayangan yang sudah usang. Aku tahu ia sudah memakai itu sejak satu tahun belakangan. Kurasa gaya itu pas sekali dengannya, seolah diciptakan memang untuk dia seorang.
Usai mencerna parfum manusia terindah itu, aku segera menyusuri lorong ini untuk mengikuti jejaknya. Rupanya hidungku sudah terlalu peka dengan wanginya. Tidak sampai lima menit aku menemukan kembali dirinya yang ternyata sedang mencari buku di perpustakaan. Aku tahu ia sedang mencari buku apa: Economics for Social Workers, Michael Anthony Lewis. Besok adalah hari H ujian Dimensi Sosial Ekonomi.
Ia tidak juga menemukan buku itu hingga wajahnya berubah murung. Sementara mataku yang super awas sedari tadi sudah menemukannya. Aku ingin membantu, maka kujatuhkan buku bersampul hijau itu dengan energi yang kudapatkan dari perasaanku yang amat kuat pada perempuan ini. Biasanya aku butuh usaha ekstra untuk melakukan hal-hal semacamnya. Tapi entah mengapa kali ini aku merasa begitu mudah. Mungkin karena aku sungguh-sungguh ingin membantu. Atau karena…
Jona…” Ah! Suara itu lagi! Aku tidak mau mendengarnya sekarang. Aku masih ingin menikmati kebersamaan dengan Saphire meski ia tidak akan bisa melihatku. Aku berusaha mengusir pergi suara aneh itu dari kepalaku.
Jona, bersiaplah. Kau harus segera pergi,” ujar suara itu lagi, kali ini semakin jelas. Tiba-tiba ada cahaya mahaterang yang menyergapku. “Waktumu sudah habis.”

***
Diikutsertakan dalam Flash Fiction Pipet.

Komentar

  1. Bagus bgt des, syng bgt jonanya mati :(
    itu dimensos knp bisa nyempil haha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah