Langsung ke konten utama

Atap

Aku dan temanku punya sebuah tempat asyik. Sebuah tempat sederhana yang lebih menyenangkan daripada mall dan cafe. Di tempat ini aku bisa membaca tanpa interupsi siapa pun. Di sini aku bisa melihat kota tanpa naik ke atas menara. Bahkan di sini aku bisa menikmati langit sampai bosan. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah aku bisa menulis, menulis dan menulis.
                                                               Sebelum menemukan tempat nyaman ini aku dan temanku "diusir" oleh penjaga kost lama. Bagaimana tidak? Orang-orang kapitalis itu seenak jidat menaikkan uang sewa setiap tiga bulan sekali. Ya aku memilih pergi. Toh tempat lama itu sudah tidak sesuai dengan harganya. Uang sewa tinggi, fasilitas semakin bobrok.                                                                                                                                 Beruntunglah aku dapat tempat yang menurutku jauh lebih baik ini. Dari sini aku bisa lebih dekat dengan kampus. Yang penting tidak ada orang yang melarangku pulang malam dan harus tidur di luar karena pintu sudah dikunci setiap jam sepuluh malam. Dipikir aku ini anak SMA?                                                                                                     Temanku pun membenci Pak Tua Pemalas itu. Kerjanya cuma ngepel lantai seminggu sekali, buang sampah seminggu sekali. Selebihnya nongkrong di warung sambil main gaple atau main catur atau nonton tv. Kasihan sekali pemilin kost yang sudah memberi kepercayaan padanya.
                                                     
Eh, gerimis mengiringi curhatku kali ini. Kata Rika, gerimis itu romantis tapi hujan itu tragis. Dan kabut itu... Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana kabut harus diperankan atau justru dipersalahkan. Yang aku lihat dari atas sini, kabut mengaburkan sebagian kota dari pandangan.

Awan-awan membentuk gradasi gelap dan terang. Tidak ada pelangi. Dan gerimis semakin menjadi-jadi sehingga aku harus menggeser kursi merahku ke bawah atap bangunan sebelah. Maksudku masih ingin berlama-lama di sini. Anginnya membuatku betah.

Titik-titik hujan yang jatuh di atas pelataran semen membentuk pola abstrak yang lama-lama hilang karena semuanya telah basah. Untung sudah kubalik-balikkan botol-botol minuman kosong yang ada di sini. Jadi tidak akan ada nyamuk yang bertelur nantinya.

Eh, aku tadi mau bercerita apa ya? Oh! Haha! Rupanya aku terlalu asyik dengan hujan, kursi merah, atap, dan kesendirianku. Jadi begini, aku hanya ingin bilang rindu pada seseorang. Hey, Why! I miss you... Really miss you...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Seoul-mate!

Sial! Tinta dari pulpen yang kupegang menetes mengotori kertas catatan dan tangan kananku. Aku baru saja ingin mulai menulis dan tinta pulpenku bocor. Untuk beberapa saat aku sibuk membersihkan tinta yang menetes tadi dengan selembar kertas bekas yang kurobek dari halaman terakhir buku catatanku. Sekilas aku melirik sekeliling, untunglah tak ada yang memperhatikan kekonyolanku. Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Pikiranku langsung terhubung pada satu kenangan. Saat ketika kau merelakan seragam olahragamu untuk mengelap cat tembok basah yang tidak sengaja kusandari. Dulu momen itu tak berarti apa-apa tapi kini sakitnya luar biasa. Dan saat aku merobek-robek buku catatan lucuku karena kau menggambar aku dengan muka cemberut ketika aku sedang marah padamu tiga tahun lalu. Kini rasanya aku ingin menyatukan kembali robek-robekan itu.             Jumat siang, pukul setengah dua belas. Para lelaki muslim berjamaah menuju masjid kampus. Mereka lewat lobi perpustak