Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2015

Bukan Waktu kita

Aku masih tak percaya diriku sampai di tempat ini. Langkah kakiku kian berat karena mendengar denting piano yang kau mainkan dengan apiknya. Aku hafal benar melodi itu. Kau selalu memainkannya untukku sampai pada beberapa waktu lalu. Waktu itu, kita masih dua orang bebas yang tahu bagaimana harus bahagia. Sedangkan kini, sepertinya hanya kau orang yang tahu bagaimana harus bahagia. Tidak denganku. Karena kata bahagia telah kehilangan maknanya sejak kau melangkah keluar dari lingkaran semu yang kita buat atas nama persahabatan.             Berkali-kali aku mengutuki diriku sendiri. Bagaimana bisa aku mempunyai perasaan bodoh seperti ini. Perasaan bodoh yang terlambat kusadari. Hingga akhirnya aku harus jatuh cinta sendirian. Sementara kau jatuh pada hati yang lain. Dan kini, kau mengundangku ke sini untuk menyaksikan semuanya. Hal yang paling tidak ingin kulihat dalam sejarah kehidupanku. ***             Sudah dua hari sejak pengakuan itu aku hanya duduk di atas kursi malas. Mata

Find You

Kalau kau mau tahu tentang sebuah kesejatian yang saat ini telah hampir dilupakan, itu ada padaku. Aku lelaki sejati. Lelaki yang selalu menepati janji, menjaga ucapannya. Aku lelaki yang akan mencarimu jika kau menghilang. Aku lelaki yang rela menukar kebebasanku dengan keberadaanmu. Klise? Sama sekali tidak. Nyatanya aku sekarang sedang dalam pencarian. Mencarimu, untuk mengajakmu pulang.             Kalau ada orang yang disebut paling bodoh di dunia adalah orang yang sedang jatuh pada cinta. Dan aku jatuh padamu sudah sejak lama. Sejak kau yang waktu itu kusebut gadis bodoh karena berjalan dengan tenangnya di tengah hujan deras. Kau yang menolak ketika kusodori payung sedangkan aku rela berbasah-basah. Juga kau yang tiba-tiba menatapku dengan pandangan penuh rasa sakit dan serta-merta memeluk diriku tanpa ampun dengan tubuh basah kuyupmu yang menggigil.             Apa kau masih ingat kala itu?             Aku tengah mengutuki hujan yang mengguyur tiba-tiba ketika aku sedang

Petrichocolate

Ada yang tidak biasa dari hujan yang sedang kunikmati bersama secangkir cokelat panas buatan Weny dan kesendirianku. Biasanya hujan hanya akan kujadikan media menengok kenangan. Sebuah kenangan yang melibatkan sekotak cokelat dan petrichor . Kenangan paling buruk untuk seseorang dan untuk sebagian dari diriku. Namun kenangan itu juga menjadi titik pembebasan untukku. Maka aku selalu rajin menengoknya ketika hujan seperti ini. Tapi mengapa ada rasa sesak yang tiba-tiba menyergapku di sini? Desember 2011,             Sudah bermalam-malam aku tak bisa tidur nyenyak. Dilema, itu yang kurasakan. Sabtu malam lalu Topaz melamarku. Aku tidak segera menjawabnya. Bukannya aku tidak punya perasaan atau apa, tapi bagaimana aku bisa menjawabnya sedangkan tidak ada satu pun hal yang bisa membuatku yakin tentang mana yang benar dan tidak? Sayang, tentu aku punya. Rasa sayang itu tumbuh seiring dengan kebersamaan kami dalam hitungan tahun. Tapi cinta? Benarkah perasaanku ini disebut cinta? Tida

Sepasang Kenangan di Bangku Taman

Sebatang cokelat selalu bisa mengingatkanku padamu. Kau adalah satu-satunya orang yang kukenal di dunia ini yang sangat alergi pada apa pun yang berbau cokelat. Aku tahu itu. Semua tentangmu aku tahu. Sedangkan aku adalah penggila cokelat nomor wahid. Waktu itu hari valentine . Hari di mana pernyataan cinta menduduki urutan pertama daftar momen muda-mudi di seantero dunia.             Hari itu, Ello menyatakan cinta padaku dengan sebatang cokelat ditemani olehmu. Ya, aku tahu kalian bersaudara. Aku tentu tidak bisa menerimanya. Yang kulakukan saat itu adalah pergi begitu saja tanpa peduli bagaimana perasaannya. Andai kau tahu, satu-satunya orang yang kuharapkan menyatakan cinta padaku bukanlah Ello, tapi kau. Kaulah orang pertama yang membuatku jatuh pada cinta. Terserah orang bilang ini cinta monyet atau apa. Yang jelas perasaanku padamu tidak teralihkan. Kalau ada yang pantas disebut cinta monyet adalah cinta Ello padaku. Karena aku tahu cinta Si Bintang Sekolah itu tidak akan b

Gadis Teh di Kedai Kopi

Secangkir espresso terhidang di atas meja. Aromanya sampai ke hidungku dalam sekejap. Kulirik sejenak tangan kurus yang baru saja meletakkannya. Aku lalu mencuri pandang sekilas ke arah wajahnya. Belum pernah kulihat pramusaji yang satu ini. Wajah bersih yang manis. Tiba-tiba aku teringat pada tokoh utama dalam novel yang sedang kutulis.             “Orang baru?” tanyaku tanpa menyudahi aktivitas membaca yang sejak tadi kulakukan.             Ia tak segera menjawab meski kutunggu hingga beberapa jenak. Kulirik ke bawah, tepat ke sepatunya. Ia masih di sana, bergeming.             Aku tidak biasa dihiraukan. Kutarik napas dalam-dalam seraya meletakkan novel di samping cangkir espresso yang masih mengepul. Kualihkan pandangan pada si gadis pramusaji. “Kau tak dengar pertanyaanku?” lemparku sekali lagi.             Matanya menubruk mataku sendiri. Mata itu berbicara. Mata seorang pencerita. Ia kemudian menunduk dan berlalu tanpa satu kata pun terucap dari bibir tipisnya. Sementar