Langsung ke konten utama

Lelaki Pecandu Kata

Tanpa sadar aku terus memperhatikan lelaki itu. Ia terus-terusan membuat tingkah yang aneh sejak mataku menangkap keberadaannya. Aku sedang di tepi danau. Duduk di antara bangku-bangku semen yang banyak tersedia. Tak jauh di sebelah kiriku, di situlah lelaki itu berada. Ia sama sepertiku. Sedang duduk-duduk menikmati pemandangan danau. Satu hal yang menarik perhatianku untuk terus memperhatikannya adalah tingkahnya yang tidak biasa.

Ia tidak bisa diam. Pertama aku melihatnya sedang berusaha melemparkan batu ke danau dengan cara yang aneh. Sepertinya ia sedang mencoba untuk membuat batu itu seolah bergulir di atas air danau. Dan ia sesekali berhasil setelah puluhan kali percobaannya. Ia orang yang gigih.

Kedua aku melihatnya mengeluarkan sebuah notes tak bergaris. Ia menulis di sana. Gerakan tangannya begitu cepat. Aku kagum. Dalam waktu lima menit ia sudah membalik halaman notes-nya. Kupikir ia adalah seorang penulis atau semacamnya. Lelaki biasa jarang sekali membawa-bawa notes di ranselnya.

Sesuatu dalam kepribadian orang itu membuatku penasaran. Aku pindak tempat duduk lebih mendekat padanya. Sekedar ingin tahu apa yang sedang ditulisnya. Ia sama sekali tak terusik dengan kehadiranku.

Oh. Aku baru menyadarinya ketika kutengok lembaran kertas catatan yang terbuka di pangkuannya. Bahwa tulisan tangan di dalam buku itu berbeda-beda. Ada satu alinea tulisan yang sangat rapi dengan huruf miring. Ada lagi tulisan lain yang sangat berantakan. Bahkan sulit untuk dibaca. Aku semakin ingin tahu tentang orang ini.

Ia mulai menulis lagi. Tanpa melihat padaku yang sejak tadi memperhatikannya. Orang ini tidak peka. Ah, aku terlalu asal menebak. Aku sendiri bingung dengan yang sedang kulakukan. Sedang ngapain sih aku ini? Kenapa ya aku mau-maunya memperhatikan lelaki asing ini?

Tunggu! Ia sekarang menulis dengan tangan kiri. Oh rupanya itulah mengapa tulisannya menjadi berantakan. Kali ini aku tak tahan untuk tidak bertanya. Aku sedang mereka-reka apa yang seharusnya kutanyakan.

"Ehem!" Si lelaki berdeham. 

Aku tergagap. Gugup. Tertangkap basah. Ia tertawa.

"Kau sedang apa?" tanya si lelaki tanpa melihat padaku. Ia masih menekuni aktivitas menulisnya.

"A-aku. Aku..." Aku menjadi kebingungan dengan situasi ini.

"Haha! Pasti kau tadi membatin tentang aku kan?" tebaknya.

"Emmm..."

"Mengaku saja. Sebenarnya sejak tadi aku sudah menyadari bahwa kau sedang memata-mataiku. Tapi aku tidak akan mempermasalahkan itu."

"Haha! Sebenarnya aku tertarik dengan apa yang sedang kau lakukan." Aku mengaku dengan wajah panas.

"Aku mencintai kata-kata."

"Kau seorang penulis?"

"Bisa dibilang begitu. Aku cinta menulis kata."

"Kau tidak kidal kan?"

Ia menggeleng.

"Lalu mengapa kau menulis dengan tangan kiri? Tulisanmu itu tak terbaca." Aku menunjuk buku catatan di pangkuannya.

Ia mengalihkan tatapannya ke langit sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku ini seorang penulis yang akan mati jika tidak menghasilkan tulisan apa pun satu hari saja dalam hidupku. Makanya aku selalu berlatih dengan tangan kiriku. Agar suatu saat jika tangan kananku bermasalah aku masih punya tangan kiri yang sudah terbiasa menulis."

Hm. Aku mengerti sekarang. Dan tanpa sengaja lelaki ini mengajariku tentang keseimbangan.


Perpustakaan Pusat UI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Seoul-mate!

Sial! Tinta dari pulpen yang kupegang menetes mengotori kertas catatan dan tangan kananku. Aku baru saja ingin mulai menulis dan tinta pulpenku bocor. Untuk beberapa saat aku sibuk membersihkan tinta yang menetes tadi dengan selembar kertas bekas yang kurobek dari halaman terakhir buku catatanku. Sekilas aku melirik sekeliling, untunglah tak ada yang memperhatikan kekonyolanku. Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Pikiranku langsung terhubung pada satu kenangan. Saat ketika kau merelakan seragam olahragamu untuk mengelap cat tembok basah yang tidak sengaja kusandari. Dulu momen itu tak berarti apa-apa tapi kini sakitnya luar biasa. Dan saat aku merobek-robek buku catatan lucuku karena kau menggambar aku dengan muka cemberut ketika aku sedang marah padamu tiga tahun lalu. Kini rasanya aku ingin menyatukan kembali robek-robekan itu.             Jumat siang, pukul setengah dua belas. Para lelaki muslim berjamaah menuju masjid kampus. Mereka lewat lobi perpustak