Pletak! Sesuatu jatuh tepat mengenai kepalaku. Aku meringis kemudian mendongak. Rupanya buah tanjung yang jatuh dari pohonnya. Kuinjak buah itu sampai hancur dengan ujung sepatu. Sial! Buah sekecil itu bisa membuyarkan renunganku tentang sesuatu yang amat penting.
Aku mengingat-ingat lagi sampai mana renunganku tadi. Seseorang bersepeda lewat di dekatku dengan kencang. Aku hampir terserempet oleh sepedanya kalau tidak berusaha mengelak. Kuhela napas dan mendengus. Aku harus sabar.
Tunggu! Apa yang sedang kulakukan tadi? Sepertinya aku tengah memikirkan sesuatu, tapi bahkan aku tak ingat apa itu. Secepat itukah aku bisa lupa pada sesuatu yang penting?
Pletak! Aku kejatuhan lagi. Dan sekali lagi. Pletak!
Jangan-jangan tempat ini angker? Aku bergidik ngeri. Kupacu cepat-cepat kakiku meninggalkan sisi taman yang rimbun oleh pohon-pohon tanjung sialan itu. Tidak ada pejalan kaki selain aku di sekitar sini. Aku tak terlalu memperhatikan jalan di depanku hingga menabrak seorang perempuan. Kami sama-sama terjengkang.
Ia bangun dengan cepat. “Hey! Jalan pakai mata!” Perempuan semampai itu memelototiku sambil berlalu. Wangi parfumnya yang sengak tertinggal di cuping hidung, membuat mual.
Aku segera bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk celana yang penuh debu.
Jalan pakai mata? Orang-orang itu terkadang aneh. Jalan ya pakai kaki. Mata ya untuk melihat. Seharusnya dia bilang, “pakai matamu untuk melihat jalan!” Ah… Tapi sepertinya tidak ada yang bilang seperti itu. Ini sama saja dengan orang lebih umum mengatakan menguleg sambal daripada menguleg cabai. Eh, kenapa aku memikirkannya? Otakku pasti sudah geser gara-gara kejadian tadi.
Kenapa ya manusia itu bisa menyalahkan sesuatu? Seperti aku barusan. Apa karena ia tahu bahwa dirinya benar? Tapi bukankah kebenaran itu selalu bisa berubah karena waktu? Aku semakin ngelantur rupanya.
Aha! Samar-samar aku jadi ingat apa yang sedang kurenungkan tadi. Sesuatu tentang pencarian kebenaran, berhubungan dengan waktu. Tapi aku belum bisa menangkap apa intinya.
Dalam hati aku mengutuki mentorku yang memberi tugas aneh itu. Tugas yang diberikan sejak kemarin, yang sampai sekarang sedang kucoba pecahkan. Dan sialnya aku lupa apa tugas itu. Padahal sebenarnya tanganku ini sudah gatal ingin menulis. Sayangnya aku belum punya bahan mentahnya.
Apa ya? Apa? Aku harus berpikir lebih keras lagi. Sudah tugas itu aneh… (Satu-satunya yang kuingat adalah tugas itu aneh. Itu saja.) ditambah lagi dengan ingatanku yang kacau. Lengkap sudah penderitaanku. Tapi aku orang yang pantang menyerah. Aku harus menemukan renungan itu kembali.
“Harry!”
Ingin kucekik pemilik suara melengking itu. Semakin mengganggu saja. Sayangnya dia adalah pacarku.
“Harry!” Dia memanggilku lagi sambil berlari mendekat. “Harry! Di sana kau rupanya!” Ia berteriak dari jarak yang masih cukup jauh.
Aku cemas jangan-jangan tidak hanya aku yang terganggu oleh lolongannya, tapi juga orang lain yang sedang melintas.
Dengan langkah panjangnya dia berhasil menghampiriku dalam beberapa detik. Dipeluknya lenganku, bergelayut manja. Sejujurnya aku benci tingkahnya itu. Tapi dia mirip Jennifer Lawrence. Jadi bukan salahku kalau aku menjadikan dia pacar.
“Tahu tidak aku sedari tadi mencarimu! Kau ini selalu lupa waktu!”
Waktu? Oh! Sepertinya renunganku tadi berhubungan dengan waktu. Aku ingat ada seseorang yang menanyakan apakah sesuatu itu adalah waktu. Dan mentorku menjawab ada yang bilang itu waktu, ada yang bilang bukan. Itulah menariknya.
Aku mendengus. Menarik apanya? Malah aku sekarang semakin pusing. Mana aku lupa lagi! Mana pacar mengganggu waktuku lagi! Tapi satu hal yang kupegang teguh sampai saat ini, pokoknya aku tidak ingin mundur.
“Bagaimana? Kau sudah menemukan sesuatu tentang dimensi keempat?” tanya pacarku. Kami sedang berada di atas jembatan, masih di dalam area taman.
Glek! Mengapa sejak tadi tak kutanyakan padanya? Aku lupa kalau kemarin aku sudah bercerita padanya tentang tugas aneh itu. Rupanya aku kualat karena telah menyepelekan dia. Harusnya sekarang aku berterima kasih.
“Hey! Harry! Kau mau ke mana?” Pacarku terkejut karena aku tiba-tiba berlari meninggalkannya.
Aku tidak mau kualat lagi karena menyepelekan orang. Kuhampiri lagi dia yang kini menekuk wajah. Sambil berusaha menata napas aku menciumnya sekilas lalu berbalik, bersiap untuk pergi.
“Kau mau ke mana?”
“Aku harus menemukan mesin waktu! Maafkan aku! Dan, terima kasih.”
“Kau sudah gila ya?”
“Aku tidak gila. Aku hanya harus menyelesaikan tugas. Kuharap kau mengerti.”
“Tapi mesin waktu itu tidak ada, Harry!”
“Kalau begitu aku akan membuatnya. Aku harus memecahkan misteri ini.” Kuucapkan kalimat terakhirku itu dengan tergesa-gesa.
Dimensi keempat. Dimensi keempat Dimensi keempat. Hanya itu yang sedang kucoba sematkan dalam ingatanku. Ya. Aku harus memecahkannya. Dimensi keempat.
***
#DimensiFiksi (696 kata)
Komentar
Posting Komentar