Aku menatap jijik pada sebongkah roti keras yang dilemparkan melalui lubang di bawah pintu besi berjeruji oleh salah satu penjaga berbadan gempal dengan piring plastik kotor sebagai tempatnya. Piring itu menambah niat untuk menunda makan malamku hingga titik kelaparan tertinggi yang bisa kutahan. Sepertinya roti itu adalah roti yang sama dengan seminggu yang lalu. Aroma menyengat ragi kadaluarsa sampai di hidungku. Pinggir-pinggirnya yang kecoklatan sudah ditumbuhi bercak-bercak jamur. Aku sudah biasa memakannya selama tujuh tahun terakhir ini, dan tidak mati-mati, tapi selalu pada saat-saat puncak kelaparan atau sebelum tikus-tikus got sebesar kucing mendahuluinya.
Pandanganku justru teralihkan dari roti busuk itu kepada sepasang mata kelabu. Mata milik seorang tawanan perempuan tepat di depan selku. Aku selalu terpenjara oleh pandangan mata itu. Bukan karena indah, bukan juga karena warnanya yang tak biasa. Kurasa sesuatu yang magis telah menyihirku untuk terus-menerus tenggelam ke dalam sana. Mata itu penuh ketakutan, kebencian, dan segala emosi negatif yang terlalu buruk untuk ditanggung seorang perempuan. Kalau bisa aku ingin melompat ke arahnya dan serta-merta memeluk tubuhnya yang kurus kering dengan tubuh bauku ini yang tentu masih lebih baik daripada udara beku di sekelilingnya.
Dan rupanya antara aku dan dia telah tercipta sebuah ketertarikan yang aneh satu sama lain. Aku memang terang-terangan mengatakan bahwa aku menyukainya. Aku masih ingat reaksinya ketika pertama kali aku mengatakan itu. Dia baru seminggu berada di sana. Masih dengan kebingungan dan ketakutan yang amat sangat. Wajar kalau dia tidak percaya pada mulutku karena dia mengatakan, “omong kosong” dengan datar. Tapi aku terus memanggilnya dengan sebutan “Nona Jagung” karena rambutnya yang mirip rambut jagung, dan suatu kali itu berhasil membuatnya tertawa. Tawa yang menular padaku. Kalau saja waktu itu penjaga berbadan gempal tidak menyuruh kami tutup mulut, mungkin sepanjang malam kami akan tertawa bersama.
Antara sel kami terpisah oleh jalan becek berbatu selebar satu bentangan tangan. Jalan itu hanya dilalui oleh sepatu-sepatu besi para penjaga, tidak ada yang lain. Sel kami berada di paling sudut ruangan bawah tanah pengap yang tersekat-sekat oleh jeruji dari besi tempa yang sangat kuat. Dulu pernah ada sebuah meja kayu tua di depan sel kami, tempat para penjaga meletakkan lilin. Tapi karena dirasa meja itu tidak terlalu berguna mereka memindahkannya ke suatu tempat entah di mana. Padahal awalnya meja itu menjadi perantara antara aku dan si Nona Jagung (aku tidak pernah ingin mengetahui nama aslinya) untuk dapat saling bertukar kehangatan meski hanya sebatas aku memegang ujung meja yang paling dekat dengan selku dan dia memegang ujung lainnya. Masing-masing dari kami seolah bisa berbagi dengan cara itu. Mungkin aku dan dia sudah terlalu gila karena bertahun-tahun memakan roti basi.
Bertahun-tahun kami tidak pernah melihat bagaimana birunya langit, bagaimana hijaunya pepohonan. Aku yang lebih dulu berada di sana. Dua-tiga tahun sebelum si Nona Jagung. Di antara kami tidak pernah ada percakapan yang membahas tentang dosa apa yang telah kami lakukan hingga sampai bisa berada di tempat terkutuk ini. Bagiku itu adalah omongan paling tidak berguna. Aku juga tidak pernah ingin menyakitinya. Aku hanya punya satu keinginan untuk menunjukkan lagi padanya seperti apa warna biru dan hijau itu suatu saat nanti.
Bertahun-tahun kami menjalin hubungan aneh ini. Mungkin kami telah menjadi sepasang kekasih, tapi tanpa hubungan fisik. Sungguh penjara kerajaan ini adalah tempat terburuk di mana cinta yang indah masih bisa menelusup di antara dinding-dinding batunya yang kokoh, di antara jerami-jerami kering alas tidur semua tawanan, dan di antara temaram nyala obor yang tidak sanggup menghilangkan segala kengerian. Cinta yang sangat berbeda dengan yang diagung-agungkan ratu ketika berbicara di hadapan ribuan rakyat jelata, yang sesungguhnya tidak pernah dipunyainya, yang kemudian disalahgunakan untuk memeras rakyat dengan topeng pajak demi kesejahteraan bersama. Sayangnya aku menganggap itu hanyalah bualan yang meluncur dari bibir bergincu semerah darah sang Ratu Busuk.
Dia tidak pernah mengizinkan cinta menguasainya hingga keriput menjalari seluruh wajahnya. Dia orang bengis yang tidak pernah merasakan cinta. Berbeda sekali dengan si Nona Jagung yang sudah bisa kupastikan adalah seorang bangsawan karena gaun sutera berbenang emas yang dikenakannya. Beberapa hari sekali seorang perempuan tua berpakaian pelayan membawakan susu dan keju. Hanya tawanan-tawanan berdarah ningrat yang mendapat semua itu. Diam-diam dalam hati aku berharap dia tidak punya hubungan apa-apa dengan sang Ratu Busuk. Mungkin dia hanyalah anak seorang bangsawan yang berhati malaikat yang berani menentang otoritas kerajaan terhadap harta-benda rakyat. Oh, sudah cukupkan sampai di sini bualan tentang sang Ratu Busuk. Aku sudah muak.
Kletek! Kletek!
Nona Jagungku tiba-tiba membuat sebuah gerakan kasar dan cepat. Dia memegangi jeruji besi itu dengan kedua tangannya. Isyarat matanya memerintahkanku untuk melihat ke sudut bagian luar selku. Sebuah obor yang tergantung di sana dengan tali hampir putus karena meleleh kepanasan. Aku menuju obor itu. Tanganku tak bisa menggapainya meski kaki sudah meloncat-loncat. Kulihat ke sekeliling tidak ada satu pun penjaga.
“Bagaimana ini?” Aku sudah terlalu panik sehingga hampir putus asa. Aku hanya tidak ingin obor itu jatuh dan membakar semuanya.
“Jangan! Jangan kau tangkap obor itu! Biarkan jatuh dan membakar jerami-jerami!” teriak Nona Jagungku.
“Tidak! Tidak! Aku tidak ingin kita mati!” teriakku sambil terus berusaha menggapai.
“Sayang!” panggilnya, mengalihkan perhatianku pada obor itu. Ini pertama kalinya dia memanggilku seperti itu. “Lihatlah! Lihat apa yang kubawa!”
Aku menatap tangan kanannya. Diperlihatkannya padaku sebuah jepitan kawat. Mungkin selama ini dia sembunyikan di balik gaunnya. Dilemparkannya jepitan itu padaku sambil berkata, “aku percaya padamu. Kau pasti bisa!”
Tepat saat itu obor jatuh ke atas jerami dan membakarnya dengan cepat. Aku segera mengakali gembok yang menyegel pintu besi selku. Pakaian bauku telah basah oleh keringat, membuat tubuhku yang juga bau semakin terlihat buruk. Setelah hampir putus asa karena tidak juga berhasil, tiba-tiba gembok itu terbuka. Aku segera berlari ke sel Nona Jagungku. Kubuka gemboknya dengan cara yang sama. Dia tengah sibuk merobek bagian luar gaunnya lalu mencelupkannya ke air di dalam ember dekat kakus. Bersamaan dengan itu gembok berhasil terbuka. Aku segera menarik lengan Nona Jagungku untuk berlari ke luar. Aku tak peduli jika mungkin selusin penjaga sudah berdiri di luar sana. Yang penting sekarang adalah bagaimana kami tidak mati. Saat melewati sel-sel lainnya aku menggenggamkan jepitan itu pada salah seorang tawanan lelaki sambil berharap mereka bisa lolos juga dari maut.
Sampai di luar, sungguh suatu keajaiban, para penjaga sedang mabuk-mabukan di atas sebuah dipan. Mereka tidak menyadari apa yang telah terjadi. Aku mengendap-endap membawa serta Nona Jagungku menuju pintu. Kami berhasil melewati celah pintu yang untungnya terbuka sedikit. Udara yang melegakan menyergap hidung kami. Langit biru di atas kepala. Hutan yang sama sekali hijau berada di depan sejauh mata memandang.
***
#DeskripsiInterior #KampusFiksi
1069 kata
Komentar
Posting Komentar