Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2014

Kejutan

     “ Semangat ya Chef Hara! Omong-omong pesanan nomor sembilan itu jangan sampai salah ya! Baca baik-baik tulisannya. Soalnya makanan itu buat tamu penting. Dia Ibu Merry, salah satu investor restoran ini,” jelas Cecile panjang-lebar. Mungkin ia takut aku membuat kesalahan sebagai chef baru.     “Siap!” sahutku sambil menyiapkan peralatan.     Kutengok lagi memo yang tadi ditempel oleh Cecile di dinding di hadapanku. Dua porsi gurame asam manis. Aku langsung teringat pada Mas Rendy. Itu adalah masakan favoritnya. Ia bisa menghabiskan dua piring nasi sekali makan kalau ada lauk itu di rumah. Hmmm. Nanti sampai di rumah aku akan memasakkan menu yang sama untuk berbuka. Lagi pula ini hari yang istimewa.     Oke. Dua porsi gurame asam manis. Aku mengambil dua ekor ikan gurame yang sudah dilumuri campuran bumbu bawang putih, garam, dan jeruk nipis. Kulumuri ikan itu dengan tepung maizena. Aku panaskan minyak di dalam penggorengan. Setelah panas kumasukkan dua ekor ikan itu ke dalamnya

Menghitung Bintang

Surat rindu untuk sayangku Selamat malam lelaki yang kutitipkan padamu sekeping cinta terbungkus harapan. Harapan untuk selalu kau menjaganya. Aku di sini masih menghitung bintang. Dan aku sungguh ingin kau berada di sini menggantikan udara kosong yang mengikutiku sampai ke atas atap. Di sana. Di atas kepala kita. Di antara pekatnya angkasa. Tengoklah! Aku telah menghitungnya. Sembilan ratus tujuh puluh enam bintang berkelip cemerlang. Malam ini sebanyak itulah rinduku pada bau tubuhmu. Angin malam ini lebih jahat dari biasanya. Ia membuat rambutku kusut. Kan sedang tidak ada kau yang akan merapikannya. Angin sengaja menggodaku untuk semakin ingat padamu. Pada kisah kita yang picisan. Lihatlah semakin malam ia semakin jahat. Ia menggoda terus kedua mata perekam sosokmu di kepalaku. Hingga pedih aku merasa. Kan sedang tidak ada kau yang biasa menghapus air mata yang keseringan tidak terkendali ini. Jadilah aku menangis tapi diam. Tangis karena angin. Apa? Kau tak percaya itu hanya

Nyapres

    "Jadi bagaimana, Pak? Bapak setuju dengan langkah ini?" Lelaki pertama berkata sambil mencondongkan badannya. Ia yang paling buncit di antara ketiga orang yang duduk mengelilingi meja bundar yang diterangi lampu kristal itu.     Lelaki kedua mendengus. Ia lalu memijat-mijat dahinya sendiri. Gusar.     "Tapi, Jon, ini bisa jadi bumerang untuk kita!" Akhirnya ia berbicara. Sisa-sisa kearifan masih ada di kalimat bergetar itu. Orang kedua itu ayahku.     "Santailah, Pak! Selama di antara kita tutup mulut, semua aman! Partai menjamin!" Lelaki ketiga ambil suara sambil menggosok-gosokkan telapak tangan. Rupanya ia tak sabar dengan keputusan sang Bapak.     "Iya betul itu, Pak! Saat ini hanya ada kita bertiga!" Lelaki pertama menambahkan. Kali ini tangannya terkepal.     "Nah, sekarang semua tergantung Bapak. Ingat, Pak, orang-orang partai menunggu." Lelaki ketiga berkata seolah berbisik.     Aku bergetar di tempatku. Mereka bertiga