Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2013

Coretan Keempat

Sedikit Bersenang-senang           Aku tak ingin pulang dan melihat kanvas-kanvas itu. Kedatanganmu akhir tahun ini membuatku banyak berfikir. Bagaimana aku harus menemuimu nanti. Bagaimana jika ini hanyalah ilusi atau bagian dari mimpi-mimpiku. Mungkin ku terus berkhayal dan lama-lama mati. Tapi aku tidak ingin menjadi seperti itu. Perasaanku padamu terlalu sia-sia untuk tidak kuusahakan. Maka aku berjalan dan berjalan sendiri untuk mengenang saat-saat kau sedang melantunkan mantra-mantra tersembunyi dalam musikmu. Ya, aku tahu sekarang darimana aku dapat begitu dekat denganmu. Dari musik yang tak kusadari telah mengenalkanku padamu sejak pertama itu, suaramu.        Aku harus memikirkan bagaimana caraku untuk berlama-lama denganmu Desember nanti. Aku tak ingin kau tak memandangku seperti tahun lalu. Aku ingin menatapmu tepat di depanmu. Lalu aku pergi menuju istana Pak Tua di ujung jalan sana.                       Aku tersenyum dan Pak Tua itu tersenyum menunduk. Ia me

Coretan Ketiga

Hujan kumohon Pergi           Rasa sakit dan kecewa memenuhi langit hatiku. Aku tak tahu kapan persisnya pesawat itu jatuh dan meledak hingga hancur berkeping-keping. Ya pesawat yang membawaku ke Seoul di dalam mimpiku yang amat sangat indah namun menyakitkan itu telah jatuh ke lautan. Ditelan ombak dan badai. Membuatku terlempar dari dunia yang ternyata hanya kualami saat aku terpejam karena kantuk. Aku menangis tanpa mengerti harus lakukan apa. Ya aku belum siap untuk menerima kenyataan. Rasa cinta aneh yang tak tertahankan menyiksaku. Dan kamu berada di dalam setiap kanvas di ruangan ini, tersenyum. Selalu itu saja yang kamu lakukan. Dan. Bodohnya aku yang tak pernah memintamu untuk merubahku menjadi benci terhadapmu. Aku senang dalam pedihku. Aku tertawa-tawa sementara sebagian dari diriku menangis. Tapi kupikir untuk apa terus menangis karena mimpi yang indah telah Tuhan tiupkan padaku. Setidaknya aku merasa sedang dalam perjalananku menemuimu. Mimpi itu membekas. Aku me

Coretan Kedua

Senja Selanjutnya Semburat jingga telah pergi beberapa saat tadi. Kini langit di jendela kamarku berubah ungu. Mungkin sebentar lagi akan muncul bintang-bintang cantik yang berbinar-binar. Namun di tempat seperti ini akan sangat sulit mengharapkan munculnya bintang. Cahaya dari bumi yang terpancar ke langit meredupkan sinar mereka. Bintang pun enggan untuk tampak. Mungkin mereka lelah karena terus beradu dengan sinar menyilaukan yang sangat tidak bersahabat. Manusia di bumi memang suka sekali melebih-lebihkan hidupnya. Mereka menerangi ruang-ruang kosong dengan jutaan watt. Mereka membuat taman lampu yang indah untuk dinikmati sendiri tanpa memikirkan perasaan alam. Bahkan bintang pun tidak setuju dengan ini. Tapi tempat berdiam bintang terlalu jauh untuk menyampaikan pesannya pada manusia. Hanya mereka yang selalu melihat langitlah yang terkadang mengerti. Lama sekali yang kutatap hanya langit kosong. Warna ungunya telah berubah lebih hitam, namun tidak hitam. Hanya saja m

Coretan Pertama

Hujan di Jendela           Aku berada di dalam kamar asrama. Meringkuk diatas kasur empuk, mendengarkan musik dan bermalas-malasan. Suasananya menyenangkan untuk tidak melakukan apa-apa. Indonesia sedang musim hujan. Atau setidaknya begitu. Dalam sehari hujan bisa turun satu atau dua kali. Namun bisa saja dalam satu minggu tidak turun hujan sekali pun. Entah musim atau apalah namanya,  memang cuaca disini tidak bisa diprediksi. Yang aku tahu hari ini hujan turun tidak seperti biasanya.           Aku melepas earphone dan menyentuh tombol off di layar iPodku. Suara hujan disini lebih menarik untuk didengarkan lebih dari musik apa pun. Aku senang jendela kamarku berukuran lebar jadi aku dapat menikmati hujan dengan leluasa. Sayang, aku tidak bisa sebebas saat di luar sana. Saat aku bisa menari di tengah hujan dan tertawa ataupun menangis tanpa terganggu siapa pun. Jadi yah, kunikmati saja momen berharga ini hanya dengan memandang dan mendengar tetesan-tetesannya. Entah mengapa