Langsung ke konten utama

Dialog Perabotan Usang

Bunyi gemerincing rantai menggema di seisi ruangan pengap itu, mengagetkan seluruh penghuninya. Dua orang penjaga yang lebih mirip tukang jagal menyeret tubuh ceking seorang perempuan. Tubuh setengah sadar itu dipasung kakinya lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan tangan terikat. Wajah si perempuan penuh luka lebam. Seisi ruangan menatap dengan iba. Lalu mulailah mereka berdialog tentang seorang Marni.
“Kali ini mereka sudah keterlaluan! Manusia macam apa mereka itu!”
“Kita harus membantu Marni! Kalau begini terus dia bisa benar-benar gila!”
“Ah, sudahlah. Itu urusan manusia. Kita hanya perabot yang tidak bisa apa-apa selain menyaksikan, Nyonya Kursi.”
“Huh! Mendengar omonganmu barusan aku jadi merasa tidak berguna.”
“Siapa bilang? Kita menyaksikan kejadian ini!”
“Lalu setelah itu apa? Kita tetap tidak bisa membantu Marni.”
“Kita akan bersaksi di hadapan Tuhan. Biarlah urusan dunia menjadi urusan manusia. Tapi bahkan aku yang hanya berasal dari sebatang kayu tak rela menyebut mereka-mereka itu sebagai manusia.”
“Hahaha! Kau bijak sekali, Tuan Meja.”
“Tidaaaaaaaak! Cukup! Diam kalian! Aku tidak ingin dianggap benar-benar gila karena berbicara pada kursi dan meja!” Kali ini Marni berteriak.
“Hey, Marni. Jangan sedih. Kami berbicara untuk menemanimu.”
“Iya, Marni. Mereka menganggapmu gila tapi kami tidak.”
“Kau harus bertahan, Marni.”
“Kau harus membuktikan bahwa kau waras.”
“Bagaimana caranya? Aku sudah menyerah! Bahkan suamiku sendiri yang mengirimku ke tempat ini. Dia tidak percaya kalau aku hanya stress memikirkan rahimku yang sudah diangkat. Aku hanya terlalu sedih karena tidak bisa melahirkan anak-anaknya. Demi Tuhan aku tidak gila.”
“Ah. Suamimu itu yang gila. Untuk apa kau memikirkan lelaki yang tidak pernah memikirkan tentang memiliki anak?”
“Iya, Marni. Dia yang gila! Dia membuatmu berada di sini demi kebebasan. Kau hanya dianggap beban, Marni. Sudahlah, lelaki itu tidak perlu dicintai.”
“Haha! Tahu dari mana kalian?!”
“Kami tahu, Marni.”
“Sinting! Ini benar-benar sinting!”
“Nah. Marni, kau bisa tanyakan sendiri nanti. Intuisiku baru saja mengatakan bahwa suamimu sedang dalam perjalanan ke mari.”
“Aku berani bertaruh satu kakiku untukmu. Tuan Meja tidak pernah salah.”
“Sepertinya aku memang tidak perlu menanyakan apa-apa lagi. Aku benci lelaki itu. Apa aku salah?”
“Tidak.” Suara lain menimpali percakapan itu.
“Oh! Wow!” Para perabotan terkejut.
“Apa? Apa yang barusan kudengar, Nyonya Kursi?”
“Sepertinya itu bunyi yang sangat tajam, Tuan Meja.”
“Apa yang kalian bicarakan? Aku tidak mendengar apa pun.”
“Oh, ayolah, Marni. Bunyi itu jelas sekali berasal dari belakangmu.”
“Aku tidak bisa menengok ke belakang. Dua anjing itu membelengguku.”
“Hei Nyonya Kursi! Tuan Meja! Tolong katakan bahwa ada pisau di belakangnya. Di sini! Tepat di bawah tali ini!”
Nyonya Kursi dan Tuan Meja saling pandang. Mereka tidak setuju. Mereka tidak akan mengatakan pada Marni bahwa ada si pisau tepat di bawah ikatan tangannya. Tuan Meja dan nyonya Kursi ingin Marni tetap memiliki kemanusiaannya. Marni tidak boleh jadi pembunuh.
“Apa? Apa yang kalian lihat di belakangku?”
“Ahaha! Tidak ada.” Mereka menjawab bersamaan.
Bunyi sepatu di koridor membuat semua seketika diam. Lelaki itu datang. Oh tidak! Dia membawa sesuatu di tangannya. Pisau yang lain. Tuan Meja dan Nyonya Kursi menutup mata. Pisau di belakang Marni menjerit putus asa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels , tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?                 Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Lelaki Pecandu Kata

Tanpa sadar aku terus memperhatikan lelaki itu. Ia terus-terusan membuat tingkah yang aneh sejak mataku menangkap keberadaannya. Aku sedang di tepi danau. Duduk di antara bangku-bangku semen yang banyak tersedia. Tak jauh di sebelah kiriku, di situlah lelaki itu berada. Ia sama sepertiku. Sedang duduk-duduk menikmati pemandangan danau. Satu hal yang menarik perhatianku untuk terus memperhatikannya adalah tingkahnya yang tidak biasa. Ia tidak bisa diam. Pertama aku melihatnya sedang berusaha melemparkan batu ke danau dengan cara yang aneh. Sepertinya ia sedang mencoba untuk membuat batu itu seolah bergulir di atas air danau. Dan ia sesekali berhasil setelah puluhan kali percobaannya. Ia orang yang gigih. Kedua aku melihatnya mengeluarkan sebuah notes tak bergaris. Ia menulis di sana. Gerakan tangannya begitu cepat. Aku kagum. Dalam waktu lima menit ia sudah membalik halaman notes -nya. Kupikir ia adalah seorang penulis atau semacamnya. Lelaki biasa jarang sekali membawa-bawa n...