Bunyi gemerincing rantai menggema di seisi ruangan pengap itu, mengagetkan seluruh penghuninya. Dua orang penjaga yang lebih mirip tukang jagal menyeret tubuh ceking seorang perempuan. Tubuh setengah sadar itu dipasung kakinya lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan tangan terikat. Wajah si perempuan penuh luka lebam. Seisi ruangan menatap dengan iba. Lalu mulailah mereka berdialog tentang seorang Marni.
“Kali ini mereka sudah keterlaluan! Manusia macam apa mereka itu!”
“Kita harus membantu Marni! Kalau begini terus dia bisa benar-benar gila!”
“Ah, sudahlah. Itu urusan manusia. Kita hanya perabot yang tidak bisa apa-apa selain menyaksikan, Nyonya Kursi.”
“Huh! Mendengar omonganmu barusan aku jadi merasa tidak berguna.”
“Siapa bilang? Kita menyaksikan kejadian ini!”
“Lalu setelah itu apa? Kita tetap tidak bisa membantu Marni.”
“Kita akan bersaksi di hadapan Tuhan. Biarlah urusan dunia menjadi urusan manusia. Tapi bahkan aku yang hanya berasal dari sebatang kayu tak rela menyebut mereka-mereka itu sebagai manusia.”
“Hahaha! Kau bijak sekali, Tuan Meja.”
“Tidaaaaaaaak! Cukup! Diam kalian! Aku tidak ingin dianggap benar-benar gila karena berbicara pada kursi dan meja!” Kali ini Marni berteriak.
“Hey, Marni. Jangan sedih. Kami berbicara untuk menemanimu.”
“Iya, Marni. Mereka menganggapmu gila tapi kami tidak.”
“Kau harus bertahan, Marni.”
“Kau harus membuktikan bahwa kau waras.”
“Bagaimana caranya? Aku sudah menyerah! Bahkan suamiku sendiri yang mengirimku ke tempat ini. Dia tidak percaya kalau aku hanya stress memikirkan rahimku yang sudah diangkat. Aku hanya terlalu sedih karena tidak bisa melahirkan anak-anaknya. Demi Tuhan aku tidak gila.”
“Ah. Suamimu itu yang gila. Untuk apa kau memikirkan lelaki yang tidak pernah memikirkan tentang memiliki anak?”
“Iya, Marni. Dia yang gila! Dia membuatmu berada di sini demi kebebasan. Kau hanya dianggap beban, Marni. Sudahlah, lelaki itu tidak perlu dicintai.”
“Haha! Tahu dari mana kalian?!”
“Kami tahu, Marni.”
“Sinting! Ini benar-benar sinting!”
“Nah. Marni, kau bisa tanyakan sendiri nanti. Intuisiku baru saja mengatakan bahwa suamimu sedang dalam perjalanan ke mari.”
“Aku berani bertaruh satu kakiku untukmu. Tuan Meja tidak pernah salah.”
“Sepertinya aku memang tidak perlu menanyakan apa-apa lagi. Aku benci lelaki itu. Apa aku salah?”
“Tidak.” Suara lain menimpali percakapan itu.
“Oh! Wow!” Para perabotan terkejut.
“Apa? Apa yang barusan kudengar, Nyonya Kursi?”
“Sepertinya itu bunyi yang sangat tajam, Tuan Meja.”
“Apa yang kalian bicarakan? Aku tidak mendengar apa pun.”
“Oh, ayolah, Marni. Bunyi itu jelas sekali berasal dari belakangmu.”
“Aku tidak bisa menengok ke belakang. Dua anjing itu membelengguku.”
“Hei Nyonya Kursi! Tuan Meja! Tolong katakan bahwa ada pisau di belakangnya. Di sini! Tepat di bawah tali ini!”
Nyonya Kursi dan Tuan Meja saling pandang. Mereka tidak setuju. Mereka tidak akan mengatakan pada Marni bahwa ada si pisau tepat di bawah ikatan tangannya. Tuan Meja dan nyonya Kursi ingin Marni tetap memiliki kemanusiaannya. Marni tidak boleh jadi pembunuh.
“Apa? Apa yang kalian lihat di belakangku?”
“Ahaha! Tidak ada.” Mereka menjawab bersamaan.
Bunyi sepatu di koridor membuat semua seketika diam. Lelaki itu datang. Oh tidak! Dia membawa sesuatu di tangannya. Pisau yang lain. Tuan Meja dan Nyonya Kursi menutup mata. Pisau di belakang Marni menjerit putus asa.
Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal). Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...
Komentar
Posting Komentar