Langsung ke konten utama

Cerita Kecil dari Hujan yang Kesekian

Aku begitu tergesa-gesa melakukan ritual pra-menulisku: mandi. Bahkan aku belum melakukan ritual satunya: makan. Aku demikian hanya karena tidak mau melewatkan hujan. Yeah, mungkin semua orang tahu bahwa aku adalah penggemar hujan paling fanatik. Bahkan di dalam kamar mandi yang kecil dan pengap lagi membatasi ruang gerak (itu karena aku biasa menari-nari asal), aku masih berharap hujan tidak akan tergesa-gesa berlalu.

Akhirnya tuntas membebaskan tubuh dari debu kota. Aku beranjak ke atap untuk menikmati hujan kali ini. Di bawah sana pemandangan yang selalu menjadi demikian semrawut: lalu lintas. Adalah ironis ketika telapak tanganku menengadah berusaha menangkap tetesan hujan yang sejuk, di bawah sana para penguasa jalan yang saling berebut dan egois menciptakan kehebohan. Klakson dibunyikan kencang-kencang, berlama-lama. Mereka sungguh bodoh. Dan saling menyebut bodoh. Untuk apa membisingkan kota yang sudah terlalu bising? Apa harus ada teriakan dulu dari orang di depan, "woy! Sabar keles! Ini juga nggak bisa maju!"? Apa perlu kuteriakkan dari sini bahwa jika mobil di depanmu tak jalan, maka artinya ada hambatan di depan sana?! Aku hanya bisa nyebut: Tuhan...

Beberapa orang lelaki pemotor yang sedang berteduh di emper pertokoan melihat ke arahku dengan roman muka yang aku tak bisa membacanya karena mata minusku dan jarak yang terlalu jauh. Mungkin mereka berpikir bahwa aku adalah perempuan gila yang akan melompat dari atas sini. Haha! Aku tak peduli. Urus saja hal-hal yang lebih genting, Pak! Aku hanya sedang berpagut dengan hujan.

Ada sesuatu yang kemudian mengangguku. Kulihat di bawah sana seorang perempuan necis sedang kerepotan dengan barang-barang di tangannya. Ia baru saja turun dari angkot reot berwarna biru. Barang-barang merepotkan yang mungkin penting karena harus dibawa-bawa itu jatuh berceceran di aspal karena ia terlalu berusaha menghindari air hujan yang akan membuat make-up-nya luntur atau mungkin ia terlalu khawatir dengan keselamatan barang-barang itu. Semuanya jatuh berantakan. Untungnya mobil-mobil mau berhenti dan membiarkan perempuan yang sendirian itu memunguti barang-barangnya yang basah. Dari atas sini aku ingin berteriak, "pak! Tak bisakah mata kalian melihat orang yang butuh bantuan?" Sungguh aku mengutuki makhluk-makhluk pengecut yang takut air itu. Atau mungkin aku salah menerka? Mungkinkah mereka sengaja membiarkan perempuan itu dengan masalahnya? Membiarkannya karena itu adalah pemandangan menarik yang bisa dijadikan hiburan sambil menunggu hujan reda untuk melanjutkan perjalanan ke rumah bertemu istri dan anak-anak? Andai saja pikiran mereka sampai pada taraf membayangkan ketika orang-orang yang ingin segera mereka temui saat pulang itu sedang dalam posisi yang sama dengan si perempuan.

Langit telah berubah lebih kelabu ketika aku sibuk berpikir dan merapal kutukan. Orang-orang masih berteduh. Aku masih membaui wangi hujan dari atap. Karena tak bisa melakukan apa pun untuk menolong si perempuan, kukutuki pula diriku. Sistem yang membuat aku harus sejauh ini dengan si perempuan. Jarak. Sebuah sistem berdaya kerja tinggi.     Mengingat tentang jarak=mengingat lelaki yang saat ini ada di tempat berbeda denganku. Lelaki yang muncul di tengah hujan kehidupanku. Lelaki yang tanpa menobatkan diri sebagai penguasa namun telah menguasai sebagian pikiranku. Why. Apa kabar, Sayang? Mungkin aku terlalu bodoh karena mengatakan rindu tanpa bisa bertemu. Tapi aku memang sedang rindu. Segala yang kulihat selalu mengingatkanku padamu. Hujan. Senja. Lalu lintas di bawah sana. Angin yang memelukku dari segala sisi.

Depok, 23 Oktober 2014
kala senja berhias hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels , tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?                 Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan...

Gadis Teh di Kedai Kopi

Secangkir espresso terhidang di atas meja. Aromanya sampai ke hidungku dalam sekejap. Kulirik sejenak tangan kurus yang baru saja meletakkannya. Aku lalu mencuri pandang sekilas ke arah wajahnya. Belum pernah kulihat pramusaji yang satu ini. Wajah bersih yang manis. Tiba-tiba aku teringat pada tokoh utama dalam novel yang sedang kutulis.             “Orang baru?” tanyaku tanpa menyudahi aktivitas membaca yang sejak tadi kulakukan.             Ia tak segera menjawab meski kutunggu hingga beberapa jenak. Kulirik ke bawah, tepat ke sepatunya. Ia masih di sana, bergeming.             Aku tidak biasa dihiraukan. Kutarik napas dalam-dalam seraya meletakkan novel di samping cangkir espresso yang masih mengepul. Kualihkan pandangan pada si gadis pramusaji. “Kau tak dengar pertanyaanku?” lemparku sekali lagi.   ...

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j...