Langsung ke konten utama

Sepasang Kenangan di Bangku Taman

Sebatang cokelat selalu bisa mengingatkanku padamu. Kau adalah satu-satunya orang yang kukenal di dunia ini yang sangat alergi pada apa pun yang berbau cokelat. Aku tahu itu. Semua tentangmu aku tahu. Sedangkan aku adalah penggila cokelat nomor wahid. Waktu itu hari valentine. Hari di mana pernyataan cinta menduduki urutan pertama daftar momen muda-mudi di seantero dunia.
            Hari itu, Ello menyatakan cinta padaku dengan sebatang cokelat ditemani olehmu. Ya, aku tahu kalian bersaudara. Aku tentu tidak bisa menerimanya. Yang kulakukan saat itu adalah pergi begitu saja tanpa peduli bagaimana perasaannya. Andai kau tahu, satu-satunya orang yang kuharapkan menyatakan cinta padaku bukanlah Ello, tapi kau. Kaulah orang pertama yang membuatku jatuh pada cinta.
Terserah orang bilang ini cinta monyet atau apa. Yang jelas perasaanku padamu tidak teralihkan. Kalau ada yang pantas disebut cinta monyet adalah cinta Ello padaku. Karena aku tahu cinta Si Bintang Sekolah itu tidak akan bertahan lama. Hanya cinta-cintaan saja.
            Aku lega bisa kabur dari momen sialan itu. Kuputuskan untuk duduk di salah satu bangku taman yang kosong. Kau datang menghampiriku. Dan aku menyimpan lekat-lekat kenangan itu hingga detik ini. Waktu itu kita duduk bersama, mengobrol untuk pertama kalinya.
            “Hai, Prisia!” Kau menyapaku yang masih dongkol.
            Aku tergeragap. “Kak Lingga! A-ada apa, Kak?” Aku mendapati kau yang tengah berjalan ke arahku, sekarang duduk di sebelahku. Aku menduga bahwa kau akan menanyakan mengapa aku menolak Ello, Si Bintang Sekolah.
            “Boleh aku duduk di sini?”
            “Bo-boleh, Kak.” Aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku. Mungkin saat ini wajahku sudah semerah tomat. Ini pertama kalinya aku bisa dekat denganmu, mengobrol hanya berdua saja. Biasanya aku hanya bisa mengagumimu dari tepi lapangan ketika kau men-drible bola dengan sangat keren.
            “Nggg… Prisia, boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
            “Soal apa, Kak?”
            “Kenapa kau menolak Ello?”
            Duarrr!!! Benar saja apa yang kutakutkan. Kau menanyakan pertanyaan yang paling tidak ingin kujawab. Aku menunduk, memandangi sepatuku. Kuremas rok seragam sekolahku sambil menggigit bibir.
            “Prisia?”
            Jujur saja, saat itu aku bingung harus menjawab apa. Bagaimana tidak! Kau tiba-tiba mendatangiku. Aku senang, teramat senang! Tapi pertanyaanmu yang ini, sungguh membuatku mati gaya. Lama sekali aku berpikir. Di satu sisi aku ingin kabur begitu saja tanpa menjawab apa-apa. Tapi bagian diriku yang lain mengatakan bahwa ini adalah kesempatan. Sebentar lagi kau lulus. Kesempatan untuk mengobrol seperti ini akan menjadi sangat langka.
            “Prisia?”
            Sudah kepalang tanggung. Kalau pun ditolak sebentar lagi aku sudah tidak sering bertemu denganmu. Maka dengan rasa malu yang coba kutekan aku nekad menyatakan cinta.
            “Karena aku mencintaimu, Kak. Bukan Ello.”
            Hening.
            “Maaf, Kak…” Entah mengapa aku meminta maaf. Rasanya aku ingin kabur saja.
            “Bukan salahmu, Sia. Sebenarnya… aku juga punya perasaan yang sama sepertimu. Sejak kau tampil bernyanyi di Masa Orientasi Siswa aku sudah suka padamu. Tapi Ello adalah saudaraku. Aku tahu sejak awal ia juga suka padamu, mengagumimu. Terlalu sulit untuk tidak tertarik pada gadis sepertimu.”
            Aku mengutuki takdir yang sedang mempermainkan kita.
            “Mungkin… saat ini kita tidak bisa bersama. Kalau ada satu orang yang harus menjaga perasaan Ello, orang itu adalah aku. Kuharap kau mengerti.”
            Aku tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Kukuatkan diriku untuk bangkit, pergi menjauh dari tempat itu. Rasanya sungguh pedih.
            “Prisia!” Kau memanggil namaku sekali lagi ketika aku sudah mulai melangkah. Mau tak mau aku menengok. “Jika memang kita ditakdirkan bersama, temui aku di sini, di hari yang sama pada tahun berikutnya.”
***
            Banyak yang telah berubah. Aku sudah bukan gadis berseragam SMA lagi. Dan yang cukup mengejutkan Ello akan menikah bulan depan. Tentu bukan dengan cinta monyetnya ini, tapi dengan gadis lain, seorang supermodel. Aku tahu karena ia mengirimkan undangan padaku.
Empat tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Selama kurun waktu itu, setiap tahun aku tidak pernah absen mengunjungi tempat ini. Tempat di mana kau menjanjikan sebuah pertemuan. Aku sama sekali tidak berubah. Hatiku tetap terpaut pada satu cinta. Kau.
            Kuputuskan inilah terakhir kalinya aku menunggumu. Senja hampir kehabisan waktunya. Gerimis menitik. Aku menunduk memandangi sepatuku. Mungkin memang benar kata orang, cinta pertama tak akan pernah berhasil.
Aku sudah hampir menyerah dan pulang ketika mendapati sosokmu berdiri di hadapanku dengan sekotak cokelat di tanganmu. Dari mana kau datang? Aku sama sekali tidak menyadarinya.
“Kak Lingga..?”
“Maaf aku terlalu lama membuatmu menunggu… Hey!” Kau menghalau aku yang masih melongo.
“Ini benar-benar kau, Kak?”
Kau menghempaskan diri ke bangku itu. “Untung kau masih di sini. Untung aku berhasil kabur dari Paris tepat waktu.”
Aku speechless. “Paris?”
“He’em. Di tahun-tahun sebelumnya aku tidak bisa menemuimu karena aku sedang meneruskan studiku di sana. Maaf, Prisia! Kini aku sudah kembali untukmu.”

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cant...