Langsung ke konten utama

Between Us

Aku baru saja membayar sebuah karangan bunga yang akan kukirimkan pada pujaanku lewat kurir. Sudah sejak lama aku menjadi pemuja rahasia. Ini bukan karena aku pengecut atau bagaimana, tapi ada sesuatu yang mengharuskanku demikian.
Ponsel di sakuku bergetar. Dua buah personal chat masuk. Satu dari Agnes, satu lagi dari Juna. Agnes adalah gadis pertama yang kukenal di SMA. Dia juga sekaligus gadis yang pertama kali kusukai. Sedangkan Juna adalah teman sebangkuku sejak kelas 2 SMP. Sialnya dia mengaku suka pada Agnes. Mereka berdua sahabatku. Sahabat yang kini sedang menjalin cinta.
Agnes: aku putus dengan Juna. :’(
Juna: kami putus.
            Apa-apaan ini? Setelah aku berjuang keras menyembunyikan rasa sukaku pada Agnes, mencintainya dalam diam dan membiarkan Juna menyatakan cintanya tiga bulan silam, lalu mereka putus begitu saja? Aku tidak terima. Aku masih ingat jelas bagaimana raut wajah Agnes ketika mendapat pengakuan cinta dari Juna di depan mataku. Ia begitu bahagia, itulah yang membuatku juga harus bahagia untuknya.
            Aku tidak membalas chat keduanya. Langsung saja kupacu motorku menuju kost Juna. Orang itu perlu diberi pelajaran karena telah mempermainkan Agnes, gadis spesial itu. Sampai di kost Juna, kudapati ia tengah bermain games.
            “Kenapa kalian putus?” tanyaku tanpa basa-basi.
            “Aku bosan padanya,” jawab Juna singkat.
            “Apa?! Kau putus hanya karena bosan? Kau pikir Agnes itu mainan?” Emosiku terpancing.
            “Kenapa sih, Dan? Kau suka padanya, kan? Buatmu saja kalau begitu,” ujarnya sambil masih tetap sibuk bermain games.
            Tanpa ba-bi-bu lagi aku menarik kerah Juna, membuatnya berdiri lalu menonjok tulang pipinya. Juna mengaduh kesakitan tapi aku tak peduli. Kutinggalkan ia begitu saja.
Selepas dari kost Juna kutelepon Agnes, bagaimana pun ia pasti sedang bersedih. Aku tidak akan tega membiarkannya merasa sedih.
            Panggilan diterima dalam hitungan tiga kali nada tunggu. “Halo, Nes?”
            “Danu…” Kudengar isak tangis di seberang sana.
            “Kenapa, Nes? Kenapa kalian putus?” tanyaku sehalus mungkin.
            “Juna menuduh aku selingkuh,” ujar Agnes singkat.
            “Hah?” Kenapa pernyataan Juna berbeda dengan Agnes? Mana yang benar?
            “Iya, Danu. Sudah lama aku ingin cerita ini padamu.”
            “Cerita saja, Nes. Aku akan mendengarkan sampai tuntas,” ujarku.
            “Jauh sebelum aku jadian dengan Juna, ada seseorang yang setiap hari mengirimiku bunga, cokelat dan hadiah-hadiah lain yang sekarang sudah menumpuk di kamarku. Sampai hari ini pun masih. Aku tidak tahu bagaimana menelusurinya. Kurir itu tidak mau mengaku, dia bilang hanya bertugas mengantar saja. Awalnya kukira itu bukan masalah. Toh, aku tidak terganggu dengan kiriman-kiriman itu. Dan aku memang sengaja tidak cerita pada kalian.”
            Aku tahu benar siapa yang melakukannya. “Lalu?”
            “Kini benda-benda itulah yang menjadi masalah. Saat seorang kurir datang ke rumah mengantar bunga, ada Juna di sana. Ia mulai curiga dari mana aku mendapat bunga itu. Aku bilang tidak tahu. Dan dia mulai menuduhku. Dia langsung memutuskanku begitu saja.” Agnes tidak lagi melanjutkan. Ia hanya menangis sesenggukan. Akulah yang menjadi penyebab kesedihannya.
            Aku merasa bersalah. Tidak. Aku harus memperbaiki semuanya. Kukatakan pada Agnes bahwa aku akan datang menemuinya.
            Sampai di depan rumah Agnes, aku melihat motor Juna telah terparkir di halaman. Sejenak aku ragu akan masuk atau tidak. Tapi aku sudah berniat untuk menyelesaikan semua ini. Kulangkahkan kakiku untuk masuk.
            Kulihat Juna dan Agnes duduk diam-diaman di sofa ruang tamu. Suasana ini sungguh membuat kikuk.
            “Ehem!” Aku berdeham. Mereka berdua menoleh. Aku lantas duduk di sofa yang berseberangan dengan tempat mereka duduk.
            “Kenapa kau melakukan ini, Danu? Kenapa?!” Serta-merta Agnes langsung menyemburku, memandangku dengan penuh kebencian.
            Aku menatap mereka berdua secara bergantian dengan pandangan bertanya.
            “Aku sudah tahu semuanya dari Juna. Kau kan yang mengirimiku hadiah-hadiah itu?”
            Aku terdiam, bingung harus mulai dari mana. Dari mana Juna tahu aku yang mengiriminya hadiah-hadiah itu? Apa selama ini…
            “Jadi begini, Nes. Sebenarnya aku tahu Danu sudah suka padamu sejak awal kita berkenalan. Aku juga sudah lama tahu kalau Danu selalu mengirimimu hadiah. Aku mengenal Danu seperti mengenal diriku sendiri. Memang aku yang egois di sini. Aku juga suka padamu. Aku tidak mau mengalah.”
            Aku tertunduk. Kusimak dengan baik penyataan Juna.
            “Sekarang aku menyesal karena telah membuat persahabatan kita bertiga berantakan. Aku ingin kita tetap berteman walau sudah putus. Dan aku ingin Danu punya kesempatan untuk bersamamu. Maafkan aku, Nes. Rasa sukaku padamu tidak sama seperti Danu mencintaimu,” jelas Juna.
            Agnes memegangi kepalanya. “Kalian berdua tidak adil padaku!” bentaknya.
            “Maafkan aku, Nes. Tidak seharusnya aku begini. Aku yang salah. Sekarang lupakan saja soal cinta. Aku hanya ingin kita bertiga tetap menjadi sahabat,” ungkapku. Ya, kalau memang ini yang terbaik aku rela. Toh persahabatan memang lebih berharga dari apa pun.
            “Juna, aku bersalah padamu. Tidak seharusnya aku munafik. Di depanmu aku biarkan kalian jadian. Tapi di belakangmu, aku tetap menginginkan Agnes. Maafkan aku. Sekarang kurasa itu tidak penting lagi. Aku ingin kita tetap bersama.” Aku mengatakan semua itu dengan hati lapang.
            Juna mendekat padaku, menepuk pundakku. Agnes juga mendekat padaku. Raut kebencian sudah hilang seketika dari wajah manisnya. Mereka berdua memelukku dengan penuh ketulusan.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cant...