Langsung ke konten utama

Doping

“Hoi! Dio! Good job! Pertahankan, ya!” Itu tadi suara teriakan Antony, pelatihku.
Aku mengacungkan jempol padanya sebelum menenteng tas selempangku keluar stadion dengan penuh kebanggaan bersama kawan-kawan satu tim. Kami memasuki bus yang akan mengantarkan ke wisma dengan penuh canda walau tubuh sudah sangat lelah. Hari ini adalah milikku. Kutatap wajah-wajah puas rekan-rekanku. Aku sungguh bangga dapat bergabung dengan tim hebat ini.
Seperti bintang yang punya cahaya masing-masing, aku percaya pasti setiap orang punya masanya sendiri-sendiri untuk berjaya. Ya, saat ini semua itu adalah milikku. Akulah bintang itu. Bayaranku paling mahal di antara para pemain lain seusiaku. Wajahku sering muncul di media. Seluruh tubuhku adalah papan iklan produk-produk kenamaan. Awalnya aku ingin menjadi hebat untuk dapat membeli semua yang kuinginkan. Kini setelah gelar pemain terbaik kusandang, semua barang-barang dan pelayanan terbaik justru menghampiriku dengan cuma-cuma.
Dengan semua itu jangan dipikir aku sudah punya semuanya. Tidak. Hidupku tidak sempurna. Aku sudah tidak punya Mama. Aku sepenuhnya menentang Ayah ketika memutuskan untuk merumput di lapangan hijau. Ayahku dulu penyerang yang hebat, tapi kemudian dipaksa untuk pensiun karena cedera parah. Beliau kemudian mati-matian melarangku bermain apa pun keadaannya. Ya tentu saja aku menolak. Sejak awal aku sudah tahu, sepak bola adalah kehidupanku.
Oh, satu lagi hal yang menghilangkan kesempurnaanku. Tidak tahu apakah ini termasuk hal yang penting untuk sekarang, tapi aku cukup memikirkannya juga. Aku tidak punya kekasih. Bukan karena manajemen yang melarang. Juga bukan karena Ayah. Cuma hatiku selama ini tidak bisa beranjak dari satu nama. Iris.
Tanpa sadar bus yang membawaku sudah sampai di lobi wisma. Aku segera turun, ingin cepat-cepat sampai di kamar dan membersihkan diri. Lorong wisma masih penuh dengan sorak sorai kawan-kawanku. Kubuka pintu kamarku, menutupnya kembali kemudian melempar asal tas ke atas ranjang. Ketika baru akan membuka sepatu, tiba-tiba saku jaketku bergetar. Seseorang menelpon ke nomor ponselku. Kutatap lekat-lekat layar ponsel yang nyala-redup itu. Aku masih tak percaya dengan nama yang tertera di sana.
“I-Iris?” Aku menerima panggilan telepon itu dengan penuh keraguan.
“Dio…” Suara jernih Iris menyapaku. Satu sapaannya saja ternyata mampu menyihirku menjadi kaku. “Dio, aku kangen…”
Dasar perempuan tidak punya hati. Dulu kamu membuangku karena aku tidak punya uang, tidak bisa membelikanmu macam-macam. Kau meninggalkanku tapi membawa serta apa yang seharusnya kau tinggalkan. Cintaku.
Aku tak tahu harus berkata apa. Lidahku kelu. Tubuhku kaku di tepi ranjang.
 “Dio…” Suara itu menyapa lagi. Caranya menyebut namaku masih sama seperti dua tahun silam.
 “Kau ngomong apa, Iris? Sudah jangan kau teruskan omong kosongmu itu.” Akhirnya kalimat yang lebih panjang berhasil keluar dari mulutku. Aku harus kuat. Aku lelaki dan aku punya pendirian.
“Tidak, Dio! Aku serius! Aku kangen kamu… Aku ingin ketemu…” Suara Iris di seberang sana menggambarkan kerinduan yang dalam. Setengah dari diriku ragu untuk meneruskan percakapan, namun setengahnya lagi tetap ingin terus mendengarnya. Setengah dari diriku takut untuk menyesap kembali luka lama, setengahnya lagi bergiat mendorongku kembali ke masa-masa kami bersama.
Inilah Iris. Perempuan yang selalu bisa menggiringku ke dalam sisi paling melankolis dari diriku, lelaki angkuh yang tidak pernah takhluk pada siapa pun ini, yang ketika melihatnya untuk pertama kali menjadi gugup, kacau, berantakan. Meski susah payah aku menahan untuk tidak menggubrisnya lagi, sihir Iris ternyata masih tetap berlaku padaku. “Kau di mana?” tanyaku akhirnya.
“Aku di depan kamarmu.”
Aku tidak tahu sihir apa lagi yang dirapalkan Iris pada orang-orang di lobi wisma. Bisa-bisanya dia diizinkan masuk ke area wisma dan menemuiku. Seharusnya tidak ada siapa pun yang boleh menemuiku karena ini adalah waktunya semua atlet beristirahat. Mungkin dia menyuap orang-orang itu dengan apa pun yang bisa dia beli dengan mudah dari kekayaan orang tuanya. Dia memang orang yang paling nekad yang pernah kukenal.
Kubuka pintu kamarku setelah mengumpulkan tenaga dengan susah-payah. Dan begitu aku melihat sosok itu aku merasa lumpuh. Luluh. Ia mengajakku duduk di lobi. Kami mengobrol banyak hal. Ia mengatakan padaku bahwa perpisahan denganku adalah hal paling bodoh yang pernah ia lalui. Ia memelukku, menangis di dadaku. Apa yang terjadi kemudian adalah kami kembali bersama. Sebegitu mudahnya.
***
Satu bulan kemudian…
Ini hari yang sangat penting. Kupertaruhkan seluruh hidupku demi sebuah gol yang akan mengantarkan kami ke babak final. Aku harus main bagus kali ini. Pokoknya kesebelasanku tidak boleh kalah. Kulihat Iris masih setia berada di barisan penonton dengan raut wajah penuh suka cita. Dialah supporter-ku yang paling fanatik. Bahkan sudah kusiapkan kaos dengan tulisan “For My Iris” di balik kostum kesebelasan yang kukenakan.
Aku berpacu dengan waktu. Menggiring bola secepat yang aku bisa menuju ke mulut gawang lawan dengan tidak mengesampingkan fokus. Lawanku kali ini cukup berat. Bastian, rival sejatiku sejak di U19. Dia sepertinya sudah banyak berlatih untuk mengimbangiku. Mungkin dia sudah bosan kalah dariku. Tapi aku tidak akan goyah.
Saat berlari seperti ini rasanya aku benar-benar merasa sebagai lelaki sejati. Gila! Aku bisa mendengar  irama detak jantungku sendiri. Kecepatanku terus bertambah. Peluhku bercucuran. Sekelilingku seperti kilasan pemandangan yang berganti dengan cepat. Akhir-akhir ini aku merasakan staminaku menanjak. Aku seperti tidak pernah kelelahan. Mungkin karena aku lebih bersemangat. Mungkin karena Iris kembali padaku.
Dan saat kurasa telah mendapat posisi yang tepat, tanpa ragu kutembakkan bola. Kulit bundar itu melesak masuk membobol pertahanan lawan.
“Yak! Dan… goooool!” Suara presenter dari tribun utama membuat hatiku diliputi rasa senang yang menbuncah.
Aku berlari sambil membuka bagian bawah kaosku, memperlihatkan tulisan itu ke semua mata yang memandangku. Kulihat di tepi lapangan Antony melompat-lompat kegirangan. Ia dan para pemain di bangku cadangan saling berpelukan.
Menit-menit terakhir yang penuh ketegangan akhirnya usai. Semua kawan-kawan satu tim mengangkat tubuhku, melemparkanku ke udara berulang-ulang. Sebuah momen selebrasi yang tidak pernah terlupakan. Kutatap Iris di kejauhan. Aku ingin memperlihatkan wajah bangga padanya. Namun ada yang berubah dari raut wajahnya. Itu tidak semestinya. Dia terlihat kecewa. Ada apa?
Sedetik kemudian kurasakan sesuatu seperti menarikku ke tanah. Aku limbung. Ambruk. Wajah cemas pelatih dan kawan-kawanku muncul satu per satu dengan latar belakang langit yang cerah. Hal terakhir yang kurasakan adalah aku merasa tercerabut dari tubuhku sendiri. Apa-apaan ini? Aku seolah mengambang. Aku bisa melihat tubuhku yang lemas tanpa daya tergeletak di tanah. Tubuh pasrah yang tengah dikelilingi orang-orang berwajah pucat itu. Kulihat paramedis mengangkat tubuhku ke tandu lalu memeriksa denyut nadiku dan menggeleng. Aku tidak tahu lelucon macam apa ini?
Kucari-cari sosok Iris lagi. Dia sudah menghilang dari tribun. Kuarahkan pandanganku ke segala penjuru. Sejurus kemudian kudapati sosoknya bersama seseorang yang baru saja menjadi lawanku. Bastian. Dia memeluk pinggang perempuan yang sedang tersenyum sinis ke arah tubuhku. Perempuanku! Semua ini membuatku gila!
Kuikuti tubuhku yang digotong ke tepi lapangan untuk kemudian dimasukkan ke dalam ambulans yang dengan segera meluncur ke rumah sakit dengan suara sirine yang berisik. Wajah-wajah cemas terlihat dari setiap orang. Aku masih tidak mengerti. Semuanya terjadi begitu cepat.
Sampai di depan ruang UGD. Aku menemukan mata sembab orang-orang yang kukenal. Pelatihku. Kawan-kawanku. Ayahku. Beliau yang berteriak paling histeris, “Dio!!! Tidak! Tidak mungkin!” Dan terus mengulanginya.
Aku masuk ke dalam ruangan penuh peralatan medis itu melalui pintu yang terbuka. Kulihat tubuhku sudah kaku. Seseorang berseragam putih sedang menarik selimut sampai ke wajahku. Tidak ada siapa pun yang bisa menjawab kebingunganku. Mereka semua masuk, melihat tubuhku sambil menggeleng-geleng tak percaya.
“Nampaknya sejak awal korban mengalami aritmia[1]. Sepertinya korban terlalu banyak menggunakan canabinoids sehingga berujung pada kematian. Kami akan memeriksa cairan tubuhnya di lab untuk mengetahui secara detail,” suara itu menjawab kebingunganku. Tapi menambah ketidakpercayaanku pada keadaanku sendiri.
Canabinoids?” Pelatihku bertanya.
“Ya. Salah satu jenis doping.”
Aku kemudian teringat dengan makanan dan minuman untukku yang belakangan selalu dibawakan Iris secara diam-diam setiap akhir pekan.
***



[1] Kelainan jantung yang mengakibatkan detak jantung tidak teratur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cant...