Ada yang
tidak biasa dari hujan yang sedang kunikmati bersama secangkir cokelat panas
buatan Weny dan kesendirianku. Biasanya hujan hanya akan kujadikan media
menengok kenangan. Sebuah kenangan yang melibatkan sekotak cokelat dan petrichor. Kenangan paling buruk untuk
seseorang dan untuk sebagian dari diriku. Namun kenangan itu juga menjadi titik
pembebasan untukku. Maka aku selalu rajin menengoknya ketika hujan seperti ini.
Tapi mengapa ada rasa sesak yang tiba-tiba menyergapku di sini?
Desember
2011,
Sudah bermalam-malam aku tak bisa
tidur nyenyak. Dilema, itu yang kurasakan. Sabtu malam lalu Topaz melamarku.
Aku tidak segera menjawabnya. Bukannya aku tidak punya perasaan atau apa, tapi
bagaimana aku bisa menjawabnya sedangkan tidak ada satu pun hal yang bisa
membuatku yakin tentang mana yang benar dan tidak? Sayang, tentu aku punya.
Rasa sayang itu tumbuh seiring dengan kebersamaan kami dalam hitungan tahun.
Tapi cinta? Benarkah perasaanku ini disebut cinta? Tidak ada yang bisa
meyakinkannya. Justru semakin merenung, maka aku semakin ragu.
Aku tidak pernah mengenal cinta di sepanjang sejarah hidupku. Cinta
tidak pernah baik. Aku hanya pernah melihat cinta yang justru memisahkan kedua
orang tuaku. Bersama Topaz, yang kurasakan hanyalah nyaman, bahagia. Tapi apa
itu saja cukup dikatakan sebagai cinta? Bagiku cinta sungguh semu. Tidak
berwujud. Hatiku sendiri justru sudah kebal dengan berbagai pernyataan cinta
yang tidak bisa menjamin apa pun. Tidak ada yang boleh menguasai hidupku selain
Tuhan. Pun cinta. Bagiku cinta masih menjadi sesuatu yang bodoh. Itu juga yang
membuatku tidak bisa berkomitmen.
Jadi aku memilih pergi.
***
Ini hari penghakiman. Hari yang
kujanjikan untuk menjawab ajakan Topaz untuk menikah. Kami bertemu di atas
jembatan sebuah taman kota. Di antara rintik gerimis yang nekad saja diterjang
oleh masing-masing dari kami, Topaz menyerahkan sekotak cokelat yang paling
kuinginkan belakangan ini. Segala pemberiannya seperti ini yang justru
membuatku jengah. Aku seolah diikat dengan halus. Oleh seorang laki-laki. Dan
aku benci itu.
Wangi petrichor menguar di
udara. Aku memeluknya tanpa kata. Gerimis berubah menjadi hujan dan aku tahu
hujan juga tengah memaksa keluar dari mataku. Sebelum itu terjadi, aku
menguatkan diri. “Topaz, maafkan aku. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku akan
pergi.” Kulepas pelukanku, mengangsurkan kembali sekotak cokelat itu padanya
kemudian pergi tanpa menoleh lagi.
“Choco! Choco!!!” Suara parau Topaz masih meneriakkan panggilan sayang
itu. Aku tahu dia ambruk di tengah hujan. Aku tahu telah membuatnya patah. Tapi
aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin bebas. Mungkin aku sudah gila.
***
Januari
2014,
Secangkir cokelat dalam genggamanku
sudah berubah dingin. Hujan masih mengurungku dalam kesesakan. Rasa bersalah.
Mengapa rasa ini muncul begitu saja dan merusak kesendirian yang telah kubangun
selama ini atas nama kebebasan? Atau diriku sudah bosan dengan keadaan ini?
Lalu aku harus bagaimana?
Topaz. Ia menjadi satu-satunya
lelaki dalam hidupku. Selepas perpisahan itu, aku tidak pernah sekali pun
mengizinkan lelaki lain untuk mendekat dan masuk ke dalam hidupku. Aku tidak
mau menjadikan sebuah hubungan sia-sia. Hubungan. Oh, aku sudah asing dengan
kata itu. Dan kini tiba-tiba pemikiranku berubah. Aku mulai… merindukannya.
“Kau masih saja di situ?” tegur Weny
yang muncul dari pintu samping dengan jas hujan dan sekantung belanjaan. Dia
adalah seorang tetangga yang menawarkan diri untuk mengurus rumah ini.
“Haha… Cokelat panas buatanmu tidak bisa
membuatku beralih,” ujarku. “Thanks,
anyway!”
“Kau kenapa? Raut wajahmu
menggambarkan sebuah kerumitan.” Weni berbicara sambil meletakkan barang-barang
ke dalam kulkas setelah melepas jas hujannya di dekat pintu.
“Ah, tidak…”
“Aku akan memasak sekarang untukmu.
Nanti malam aku tidak bisa kemari. Henry mengajakku kencan. Hari ini peringatan
perkawinan perak kami.” Ah, Weny. Perempuan ini selalu mengoceh tentang betapa
bahagianya dia dengan pernikahannya.
“Oh… Selamat, ya!” ucapku singkat.
“Thanks!
Kau, apa tidak pernah berpikir untuk menikah?” Aku mendengar suara pisau untuk
memotong.
“Belum, Wen.” Aku hanya menjawab
singkat. Weny tidak tahu bahwa aku punya pandangan berbeda tentang komitmen. Dan
kini aku baru sadar betapa takutnya aku dengan pernikahan. Ya, aku hanya
sekadar takut hidup bersama orang lain, membagi apa pun dengannya, melakoni
rutinitas yang itu-itu saja sampai tua dengan orang yang sama. Tapi kalau orang
itu Topaz, akankah berbeda? Ia sudah hitungan tahun mengenalku. Selama itu ia tidak
pernah menyakitiku. Justru aku yang memaksanya keluar begitu saja dari hidupku.
Dan apakah sekarang aku menyesal?
“Menunggu apa?” Weny kembali
mengoceh.
“Tidak ada.” Aku mulai jengah.
“Lalu? Kau sudah dua puluh tujuh,
berpendidikan, mapan…”
“Sudahlah, Wen. Aku tidak suka
dengan topik ini,” potongku. Seketika aku menjadi agak bersalah karena telah
berbicara dengan nada tinggi. Weny langsung terdiam.
Ting!
Tong! Seseorang memencet bel.
“Biar aku saja.” Aku segera beranjak dari sofa menuju pintu depan. Hujan
masih mengguyur. Kuputar kenop pintu, membuatnya terbuka. Wangi petrichor memenuhi penciumanku. Dan
orang itu berdiri di sana. Dengan payung hitam.
“Topaz?” Tanganku masih memegangi kenop pintu yang dingin.
“Hai!”
Hai? Seseorang yang pernah kau tinggalkan begitu saja
menyapamu sedemikian hangatnya?
“Kenapa kau ada di sini?” Aku bahkan tidak tahu apakah itu pertanyaan
yang seharusnya kulontarkan.
Topaz menghela napas. “Aku berhasil menemukanmu!”
Ya. Aku merasa tertangkap basah sekarang. Semenjak perpisahan itu, aku
tidak pernah menemuinya barang sekali pun. Aku segera menguasai keadaan
semampuku. “So?”
“Maaf jika mengganggumu. Aku hanya ingin mengantarkan ini.” Ia
mengangsurkan sebuah amplop cokelat berpita yang terbungkus plastik.
Kuterima amplop itu dengan satu tangan. “Ini?”
“Undangan untukmu. Datanglah sebagai tamu spesialku.”
“Oh…” Mataku terpaku pada benda itu lekat-lekat. Huruf V dan T tercetak
di sana dengan tinta emas, di dalam sebuah bentuk love yang dibawa oleh dua ekor merpati. Deg!
“Datang, ya!” Topaz tersenyum ramah.
“A-akan kuusahakan,” ujarku terbata.
“Baiklah. Thanks, Zora!” Topaz
melambai seraya meninggalkan halaman rumahku, meninggalkan aku yang berdiri
kaku. Ia memanggil nama asliku.
“Ya!” Aku tidak memandangnya yang berlalu. Hanya sejenak kemudian
kudengar deru mobil melaju. Kubuka amplop itu dengan tangan bergetar. Foto
Topaz dengan tuxedo bersama seorang gadis di pelukannya membuatku speechless. Gadis itu berambut cokelat panjang
sepertiku, berlesung pipi sepertiku. Tingginya sepundak Topaz, sama seperti
tinggiku. “Selamat, Topaz!”
***
Menghadiri pernikahan Topaz adalah hal terakhir yang ingin kulakukan
saat ini. Aku sempat memutuskan untuk tidak datang beberapa hari lalu. Tapi aku
tidak ingin menjadi pengecut. Aku juga tidak ingin Topaz mengira aku berubah
pikiran atau semacamnya. Jadi ya aku harus datang.
Kini aku sudah berada di depan gedung pernikahan. Kukenakan gaun
sederhana berwarna hitam, karena hanya ini yang kutemukan dari lemari. Setiap
satu langkah mendekati pintu besar itu, aku semakin giat berperang dengan
batinku. Tapi aku terus melangkah. Dan sampailah aku di sana. Ketika hendak
membuka pintu seseorang mendahului membukanya dari arah dalam.
“Topaz?” Ia muncul di sana dengan setelan pernikahannya yang bernuansa
cokelat. Tapi ada yang tidak biasa dari raut wajahnya. Ia terlihat sangat
cemas. Dua orang lelaki mengikuti di belakangnya. Yang satu aku kenali sebagai
kakaknya. “Ada apa? Apa yang terjadi?”
“Violet… Violet kecelakaan!” ujarnya panik.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Di rumah sakit. Aku harus ke sana!” Topaz kemudian hendak melangkah
namun aku menangkap lengannya.
“Aku ikut!” Entah apa yang merasukiku. Tiba-tiba aku menjadi benar-benar
peduli.
Ia memandangku sekilas, mengangguk kemudian melangkah cepat menuju parkiran.
Aku mengikuti langkah-langkah panjang mereka sambil mengutuki heels yang kukenakan.
“Biar aku yang menyetir.” Kakak Topaz mencegahnya ketika ia akan duduk
di bangku kemudi. Topaz menurut saja kemudian memutar untuk duduk di samping bangku
kemudi. Aku bersama seorang lainnya duduk di belakang. Mobil melaju
meninggalkan gedung pernikahan megah itu.
***
“Tidak!!! Violet!!!” Topaz
mengguncang tubuh gadis yang telah terbujur kaku di ranjang rumah sakit itu. Ia
menangis tanpa ampun. Selama puluhan menit lamanya kami hanya menungguinya
dengan sabar. Kemudian Kakak Topaz menuntunnya keluar dari ruangan itu.
Berkali-kali Topaz tak kuasa berdiri. Ia limbung. Akhirnya Kakak Topaz
mendudukkannya di kursi panjang di koridor. Orang-orang bermata sembab
berpakaian pesta mengerumuninya, keluarganya. Aku membuat jarak dengan mereka.
Sepertinya aku harus pergi, memberikan waktu untuk mereka menghibur Topaz. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa selain menjauh.
Tangisku pecah. Sungguh semua ini sangat menyakitkan. Meski bukan aku
yang mengalaminya, melihat Topaz sehancur itu membuat aku merasa amat bersalah.
Dan aku mulai menggunakan kata jika untuk sesuatu yang sia-sia.
***
Februari
2015,
Kilasan kenangan memenuhi kepalaku dalam perjalanan ini. Topaz yang
kutinggalkan di tengah hujan dengan sekotak cokelat yang mubazir. Topaz yang
mengantarkan undangan di tengah hujan ke depan pintu rumahku. Topaz yang
menangis meraung-raung atas kematian Violet. Dan yang paling kuingat adalah awal
pertemuan kami di toko cokelat. Kami membuat antrean panjang hanya karena
berebut sebungkus cokelat limited edition
stok terakhir.
Kini aku dalam perjalanan. Perjalanan untuk menjenguk lelaki penggila
cokelat itu. Sekotak cokelat telah kusiapkan untuknya. Hari ini valentine. Meski hal kecil seperti ini
tidak akan bisa membayar rasa bersalahku, tapi aku berharap ini akan membuatnya
lebih baik. Langkahku sampai di depan bangunan bercat putih itu. Rumah Sakit
Jiwa.
***
Komentar
Posting Komentar