Langsung ke konten utama

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels, tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?
                Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan lelaki yang salah.
                “Ayolah, Shar. Kau akan menyesal dengan berada di samping Willy sampai tua.” Seolah ada seseorang yang mengatakan kalimat itu padaku tepat di telinga. Seketika itu juga ingatanku langsung terpusat pada Peter. Pangeranku yang sesungguhnya. Yang beberapa bulan lalu aku tinggalkan karena ia terlalu sibuk dengan balapan. Aku benci dinomorduakan karena aku tidak terbiasa dengan itu. Jadilah aku meninggalkan Peter begitu saja. Sebenarnya aku berharap ia masih tetap mengejarku. Tapi sayangnya itu tidak terjadi. Sampai aku mengambil keputusan gila dengan menikahi Willy.
                Mungkin Tuhan yang telah menyelamatkan aku. Tepat ketika aku sampai di altar dan berhadapan dengan Willy aku seperti tersadar bahwa semua ini salah. Bagaimana pun aku hanya mau Peter yang berada di sana. Di posisi Willy saat ini. Lalu aku langsung kabur secepatnya sementara semua orang tercengang dan mematung setelah kuteriakkan kata-kata kasar pada Willy. Aku tahu aku tidak benar-benar mencintainya. Ia tampan, keren, pintar. Tapi hanya itu. Dan aku memilih kabur sebelum semuanya terlambat.
                Tiba-tiba hujan turun dengan sangat lebat dari langit di atas kepalaku. Kulihat pintu menara terbuka. Aku memutuskan untuk memasuki menara itu. Tidak ada apa-apa di dasar menara. Hanya ada sebuah ruang penyimpanan kecil setinggi setengah tubuhku. Aku tidak mau seseorang menemukanku di sini. Aku harus bersembunyi. Mungkin di atas sana akan lebih aman. Kulepas heels-ku lalu meniti anak tangga sempit menuju ke puncaknya. Bangunan  itu sepertinya sudah sangat tua. Banyak bercak-bercak lumut dan jamur di dindingnya. Tangganya pun sudah berkarat. Aku banyak merapal doa mudah-mudahan menara ini tidak runtuh.
                Akhirnya sampai di puncak setelah bersusah payah membawa tubuh empat puluh lima kiloku ditambah dengan berat gaun ini. Aku membuka pintu di puncak itu lalu keluar dari sana. Jreng!!! Aku seperti maling yang tertangkap basah. Ternyata ada seseorang di puncak menara ini. Aduh! Dia pasti sudah mengawasiku sejak tadi dari atas sini. Mengapa tidak terpikirkan sama sekali olehku bahwa akan ada seseorang di tempat seperti ini? Aku tak bisa kabur ke mana-mana. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah berdoa. Semoga dia bukan orang jahat.
                Sepertinya dia seorang laki-laki jika dilihat dari mantelnya. Aku hanya melihat bagian bawah tubuhnya, tak berani menatap mata orang itu. Lagi pula kepalanya ditutupi tudung berwarna gelap. Ah semakin menyeramkan saja pelarianku ini. Di tengah ketakutanku, kulihat bayangan orang itu di bawah kakiku bergerak maju seolah akan menelanku hidup-hidup. Ia semakin mendekat. Oh Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Rasanya jantungku melompat dari tempatnya.
                “Hoi! Kau siapa? Berani-beraninya datang ke sini.” Si lelaki bersuara.
                “A-aku Sharon,” jawabku terbata-bata. “A-aku ke sini cuma untuk berteduh.”
                “Kalau cuma mau berteduh di bawah kan bisa. Ngapain harus sampai ke atas sini?”
                Woi! Memangnya ini tempatmu! Batinku kesal.
                “Haha! Tempat ini memang milikku, Nona!”
                Aku kembali terkesiap. Orang ini seperti tahu apa yang kupikirkan. My God! Mengapa hidupku penuh dengan drama seperti ini?
                “Ke-kenapa kau bisa tahu apa yang kupikirkan? K-kau bukan manusia biasa?” Aku bertanya dengan kepolosan dan ketakutan yang silih berganti.
                “Haha! Tingkahmu itu mengungkapkan semuanya. Mudah sekali dibaca.”
                “Oh, benarkah?” Kali ini aku mencoba memberanikan diri untuk melihat wajahnya.
                God! Yang sedang berdiri di hadapanku adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi, bermata cokelat, dan berambut pirang. Aku langsung teringat pada Peter. Fisik orang ini sedikit mirip dengannya.
                “Tak usah melihat seperti itu. Dan hey, jangan lupa berkedip!”
                Brengsek! Orang ini sungguh menyebalkan. Aku menjauh dari tempat itu. Menuju ke sisi lain dari puncak menara yang dipayungi tudung berbentuk kerucut besar ini.
                “Omong-omong, kenapa kau berpakaian seperti itu? Mau bermain puteri-puterian?” ujarnya sedikit lebih keras.
                “Tidak! Please jangan membuatku kesal. Hari ini sudah menjadi hari terburukku.”
                “Buruk? Kenapa?” Si lelaki mendekatiku.
                “Aku kabur. Dari pernikahanku sendiri,” ungkapku.
                “Apa? Gila!”
                “Aku tidak mencintai Willy.” Oh yeah. Aku sekarang bercerita seolah kami adalah dua sahabat dekat. Tidak seharusnya aku membicarakan hal ini dengan orang asing.
                “Kau tidak memikirkan bagaimana perasaan calon suamimu?”
                “Sepertinya Willy juga tidak benar-benar mencintaiku. Ia hanya tertarik padaku karena perusahaan Daddy kurasa. Kau tahu? Pernikahan bisnis.”
                “Puteri jutawan rupanya. Hahaha!”
                Aku mendengus.
                “Lalu mengapa awalnya kau mau dinikahkan dengan lelaki itu?”
                “Tadinya aku berpikir bahwa seseorang yang kucintai akan datang di saat terakhir dan menggantikan posisi Willy. Aku begitu percaya diri dia akan benar-benar datang. Itulah yang membuatku nekad menikahi Willy. Untuk memancing dia agar kembali padaku. Lagipula aku dan dia memang sama-sama ingin menikah muda. Pernikahan tepi pantai yang sederhana,” ungkapku.
“Tapi ketika sampai di altar tadi lelaki yang kuharapkan tak kunjung datang. Dan aku baru menyadari bahwa ini akan menjadi bencana. Tentu saja aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan lelaki workaholic itu. Aku ingin hidup bersama seorang lelaki yang bisa membawaku keliling dunia. Bukan seseorang yang hanya akan menjadikanku pajangan di rumah. Aku memang sudah gila.”
                “Wow! Kau jujur sekali, Nona.”
                “Oh. Maaf kalau aku sudah membuatmu terganggu.”
                “Santai saja. Aku tidak masalah kok.”
                “Omong-omong, kau sendiri kenapa ada di tempat seperti ini?”
                “Aku Jared, seorang pangeran kebebasan yang sedang menanti seorang puteri untuk kuajak berlayar.” Ia berkata sambil membentangkan kedua tangannya.
                “Hahaha! Omong kosong.” Aku berkata seolah tidak percaya dengan jawaban si lelaki. Dasar pembual.
                “Mungkin kau adalah puteri itu. Dari penampilanmu, kau sudah mirip seorang puteri.”
                “Hei! Jangan menghinaku.”
                “Aku sama sekali tidak menghina. Kau… cantik, Sharon.”
                “Yes. I am,” kataku angkuh.
                “Haha! Hari sudah hampir senja. Sebentar lagi gelap. Kau mau tetap berada di tempat ini sendiri?”
                “Ya. Apa boleh buat. Ponsel dan semua barang-barangku tertinggal di pernikahan.”
                “Makanya, Nona. Kalau kau ingin kabur pertimbangkan untuk membawa perbekalan dulu. Jadi tidak merepotkan.”
                “Loh. Aku kan tidak memintamu menolongku.”
                “Lalu aku harus pergi meninggalkanmu dengan serigala hutan atau macan yang bisa kapan saja menerkammu di sini?”
                “A-apa? Kau bercanda kan?” Bayangan seringai serigala tiba-tiba muncul di benakku. Aku mendekat pada Jared. Ketakutan.
                “Ayo turun. Kita harus menutup pintunya. Kau tadi pasti tidak menutupnya,” tebak Jared.
                “Ahaha. Aku lupa. Maaf.”
                Jared turun melalui tangga reot tadi. Aku mengikutinya di belakang.
Hari sudah gelap. Beruntung menara itu dilengkapi dengan listrik. Jared menekan beberapa saklar di tembok menara. Keadaan menjadi jauh lebih baik.
                “Hey. Kau lapar?” tanyanya setelah sampai di dasar menara. Kami saling diam cukup lama sebelum itu.
                “Menurutmu?” jawabku sambil duduk memeluk lutut di lantai.
                “Well. Oke. Kau tunggu saja di sini aku akan membawakan sesuatu untukmu,” ujar Jared sambil beranjak dari tempatnya menuju pintu.
                “Tidak. Tidak. Tunggu! Kau akan meninggalkanku sendirian di tempat ini?”
                “Di luar masih hujan. Kau tidak membawa baju ganti kan? Aku juga tidak akan meminjamkan bajuku untukmu.”
                Cih! Siapa juga yang mau memakainya!
                “Sudah tenang saja. Di dalam sini aman. Asal selama aku pergi kau tidak membuka pintu.”
                “Yaaa. Baiklah,” kataku akhirnya. “Tapi jangan lama-lama ya!”
                “Doakan saja aku tidak dimakan serigala, Nona,” ujarnya sebelum menghilang di balik pintu yang menutup kembali.
                Lama sekali Jared pergi. Mungkin sudah sekitar dua jam lamanya. Aku menanti kedatangan Jared sambil melihat-lihat isi menara. Ruangan kecil dengan pintu tertutup di sudut itu tiba-tiba menarik perhatianku. Apa ya yang ada di dalamnya? Aku ingin tahu tapi aku takut kalau Jared akan marah padaku karena telah lancang mengusik benda-benda miliknya.
Ah, dia kan sedang di luar. Lagi pula tidak apa-apa kalau hanya melihat-lihat. Batinku.
                Aku mendekati pintu ruangan itu. Tanganku baru akan menekan kenopnya ketika tangan seseorang menyergapku dan langsung mengunci lenganku dari belakang. Aku tidak berkutik. Mati aku!
                Aku berusaha untuk melihat wajah orang di belakangku itu. Jared!
                “Jared! Kau jangan bercanda! Apa-apaan ini?” Aku meronta.
                “Haha! Salahmu sendiri kau terlalu percaya padaku. Aku bukan orang baik, Nona.”
                “Hah? Gila! Kau pasti bercanda. Ini benar-benar tidak lucu. Lepaskan aku Jared!”
                “Aku tidak bercanda. Sekarang kau harus ikut aku ke upacara penting. Kau akan kujadikan persembahan utama. Hahaha!”
                “Tidak! Aku tidak mau! Dasar gila!” Aku terus meronta.
                Jared menarik seutas tali yang tersangkut di dinding. Ia mengikat kedua tanganku dengan tali itu lalu menutup mataku dengan sesuatu. Setelah itu aku digiring keluar menara. Aku mendengar pintu dibuka dan ditutup kembali dengan cepat. Udara berganti menjadi lebih dingin. Langkah kaki telanjangku di tanah basah terseok-seok karena gaun pengantinku. Jared tiba-tiba berhenti. Ia masih memegangi tanganku yang terikat. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
                “Maaf, Sharon. Aku terpaksa melakukan ini. Menurut sajalah agar lebih mudah. Jangan banyak protes. Aku akan membawamu ke sana dengan lebih cepat. Kasihan orang-orang sudah menunggu di sana.” Jared berkata sambil mengangkat tubuhku. Memikulku seperti seorang anak kecil.
                God! Apa ini adalah karma yang harus kuterima karena menyakiti Willy? Aku tidak mau menjadi persembahan orang gila ini. Aku harus mencari cara untuk kabur. Sepertinya aku harus tenang dan menunggu. Pasti ada kesempatan untuk saat itu. Tapi kalau Jared memang benar-benar jahat, kenapa ia sengaja memperlihatkan wajah padaku? Kenapa ia sengaja memperkenalkan diri padaku? Ia seolah sudah sangat yakin kalau aku tidak akan bisa kabur.
                “Nah. Sebentar lagi kita sampai, Nona.” Kata-kata Jared menyentakkan aku kembali pada kenyataan.
                Tak berapa lama Jared menurunkan aku. Tepat ketika hidungku mencium bau laut yang lebih kuat. Suara debur ombak terdengar begitu dekat. Ada sesuatu yang menghangati kulitku. Api unggun! Oh My God! Aku benar-benar akan dijadikan persembahan?! Aku harus lari. Aku harus lari. Harus! Oh come on!
                Ketika aku sedang panik menunggu kesempatan itu datang, kurasakan seseorang mendekat padaku. Deru napasnya terasa dekat sekali. Ia melepaskan ikatan tali di pergelangan tanganku. Tapi orang di hadapanku itu dengan lancangnya mencium keningku sambil melepaskan penutup mataku.
                Oke. Ini adalah saatnya. Aku harus kabur sebelum mati dipanggang! Satu… Dua… Ti…
                Penutup mataku terbuka bersamaan dengan suara orang-orang menyanyikan Marry You-nya Bruno Mars sambil bertepuk tangan. Dan apa yang kudapati di sana nyaris membuatku pingsan.
                “Peter!” Aku berteriak. Kukucek-kucek mataku, tak percaya dengan apa yang kulihat di depanku saat ini. Peter!
                “Iya, Sharon. It’s me. Peter.” Ia tersenyum dengan sangat manis. Senyum Logan Lermanku!
                “Oh Peter! Peter!” Aku langsung berhambur memeluknya. Tapi pelukan itu segera kulepaskan. “Tunggu. Kau ada di tempat ini? Lalu apa maksudnya persemb...? Astaga! Ini pernikahan kita?” Aku semakin histeris.
                “Yes. Ayo kita menikah, Honey. Pernikahan pantai kita.”
                “Tapi kenapa bisa? Jangan bilang kalau Jared adalah temanmu!”
                “Bukan. Jared adalah sepupuku. Dia datang ke tempat ini untuk berlibur. Maaf ya kalau dia sedikit gila,” ujarnya sambil melirik ke arah Jared yang ada di antara lingkaran orang-orang yang mengelilingi kami.
                “Apa?! Tapi… Tapi kenapa bisa? Tunggu. Kalau kau ada di sini sejak tadi, kenapa kau tak datang ke pernikahan sialan itu dan menyelamatkan aku?”
                “Kau lihat keadaanku kan?” Peter memperlihatkan tongkat penyangga di satu sisi tubuhnya.
                “God! Apa? Apa yang terjadi padamu?”
                “Waktu kau menemuiku di sirkuit dan memutuskan hubungan kita lalu meninggalkanku, aku sangat ingin mengejarmu. Tapi pelatihku mencegahnya. Aku masih ada satu hutang balapan saat itu. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk menemuimu setelahnya.”
                “Lalu apa yang terjadi?”
                “Mungkin aku saat itu kalut dan tidak berkonsentrasi sampai menabrakkan mobilku sendiri ke tepi lintasan. Dan kakiku patah.”
                Mulutku menganga sekarang. Aku hanya menggeleng.
                “Dengan keadaanku ini, aku tidak mungkin bisa membawamu kabur dari pernikahan itu. Aku tahu kau pasti menungguku. Aku tahu kau tidak akan menikah dengan Willy. Aku sangat mengenalmu, Sharon sayang. Dan aku juga tahu kau pasti berharap aku akan membawamu lari. Tapi aku kan sedang tidak bisa lari.”
                “Jadi…?”
                “Tadinya aku sudah frustasi. Aku ada di sini tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya meringkuk di dalam kamar Jared sambil meratapi bayangan bahwa kau dan Willy sudah benar-benar menikah. Percayalah aku hampir saja menyesal seumur hidup. Lalu tiba-tiba Jared, sepupuku, anak pantai yang sedikit gila itu tanpa sengaja bertemu denganmu di menara. Ia tahu itu kau karena pagi tadi aku memperlihatkan foto kita. Ia langsung memberitahuku. Dan muncullah ide gila ini secara tiba-tiba.”
                “Ya. Ya. Ya. Kita harus berterimakasih pada Jared kurasa.”
                “Nah. Sekarang ayo kita menikah,” ujarnya seraya menggenggam kedua tanganku.
                Aku mengangguk. Ini gila!. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Mungkin Tuhan memang sejak awal telah merestui kami.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cant...