“Hai!” Seorang
lelaki tiba-tiba duduk di sebelahku dan menyapa dengan sebuah cengiran.
Aku meliriknya sekilas lalu
kembali menatap burung-burung laut di ujung sana. Aku yakin tak pernah bertemu
dengannya sebelumnya. Wajahnya begitu asing. Tapi aku tidak merasa terganggu
dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Toh ia memang tidak menggangguku. Lagi pula
tempat ini memang tempat umum. Tapi sebelumnya tidak pernah ada seorang pun
yang mau menyapaku. Itu karena aku begitu aneh.
Aku seorang gadis yang tidak
pernah berbicara. Yang setiap senja hanya duduk di ujung dermaga. Aku adalah
gadis aneh yang membawa remah-remah biskuit untuk kuberikan pada ikan-ikan di
bawah kakiku. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat ikan-ikan itu memakan
remah-remah biskuit yang kutaburkan dari atas air. Mungkin orang-orang memilih
untuk tidak mengusikku. Atau mereka terlalu takut untuk melakukan itu. Aku tak
peduli. Tapi kali ini seseorang mendatangiku dan menyapa. Aneh.
Lelaki mirip Shinichi itu cukup
lama terdiam. Hingga senja hampir berakhir. Sejak sapaan pertamanya ia tidak
berbicara sepatah kata pun. Sekarang ia justru ikut menatap burung-burung itu.
Senyum tipis yang manis terukir di wajahnya. Tak tahu apa yang membuat mata
kami sama-sama begitu tertarik pada kawanan burung bersayap kelabu itu.
“Mmm… Kau sendirian saja?” Ia
membuka percakapan. Angin yang sejuk berhembus membawa aroma laut yang khas.
Aku menuliskan sesuatu di buku
kecilku. Kuperlihatkan tulisan itu padanya. “Tidak. Aku tidak sendiri. Aku
bersama Max.”
“Oh ya? Pacarmu? Mana?” tanya si
lelaki begitu antusias.
Aku justru heran dengan
tanggapan orang itu. Biasanya laki-laki akan segera pergi kalau seorang gadis
yang didekatinya mengatakan sedang bersama seseorang. Tapi orang ini tidak.
“Ia ada di sini. Menyatu dengan
diriku.” Aku menulis lagi. Selanjutnya percakapan itu berlanjut dengan suara si
lelaki dan tulisan yang memenuhi halaman buku kecilku.
“Aku juga tidak sendiri,”
ujarnya.
Aku menatapnya dengan pandangan
penuh tanya.
“Aku bersama Lily. Ia melihat
bersamaku.”
“Bagaimana bisa? Matamu adalah
mata Lily?” tanyaku melalui kata-kata yang kutuliskan dengan tergesa-gesa.
“Kau pintar sekali! Iya. Mata
ini adalah mata Lily. Ia memberikannya padaku dengan cara yang bodoh. Kau tahu?
Ia berbohong padaku beberapa bulan lalu. Katanya ia ingin putus denganku. Lalu
setelah keputusan sepihak itu ia tak pernah muncul lagi seolah telah ditelan
dunia.”
Aku terus menatapnya. Mungkin
aku mulai tertarik dengan ceritanya.
“Waktu itu aku memang cuma
lelaki buta,” lanjutnya. “Kami bertemu dalam suatu pentas. Ia dengan biolanya.
Aku dengan pianoku. Musiklah yang menyatukan kami. Katanya ia tertarik dengan
permainanku. Lalu ia mengajakku memainkan beberapa lagu bersamanya setelah
pentas hingga malam menjelang pagi. Aku ingat sekali ketika aku bertanya
padanya apa yang membuatnya ingin dekat denganku padahal ia tahu sejak awal
bahwa aku buta. Ia berkata, “karena kau begitu sempurna.” Aku tak tahu apa
maksudnya. Mungkin ia berkata begitu hanya untuk membesarkan hatiku. Tapi kami
dekat sejak saat itu.”
Kulihat si lelaki berusaha
menahan perasaannya kuat-kuat. Matanya berkaca-kaca. Mungkin kenangan itu
begitu berharga untuknya. Aku tak pernah menghadapi lelaki yang begitu jujur
dengan perasaannya seperti ini. Max saja waktu pertama bertemu denganku adalah
lelaki yang penuh rahasia. Bahkan sampai kematiannya ia masih menyimpan begitu
banyak rahasia yang membuatku bertanya-tanya sampai saat ini.
“Aku baru tahu dari kakaknya
bahwa Lily sakit ketika aku selesai operasi,” lanjutnya. “Aku sudah bisa
melihat sehingga bisa dengan mudah menemukan tempat tinggal Lily. Awalnya
kakaknya mengatakan padaku bahwa Lily harus berobat ke luar negeri karena
sakit. Lalu saat aku bersikeras untuk menyusulnya, ia baru mengatakan bahwa
Lily telah meninggal. Aku tidak percaya sampai ia menunjukkan makam Lily, kekasih
biolaku.”
Aku kini ikut larut dalam cerita
si lelaki yang bahkan belum kutahu siapa namanya. Kisahnya mengharukan.
Ternyata tidak hanya aku yang mengalami keadaan seperti ini. Ditinggalkan
belahan jiwa.
“Lalu muncul dugaan dalam
benakku bahwa operasi mataku ada kaitannya dengan Lily. Karena tiba-tiba pihak
rumah sakit mengatakan padaku bahwa sudah tersedia donor mata. Dulu, Lilylah
yang mengajakku untuk mengajukan permohonan donor mata itu ke rumah sakit.
Waktu itu aku terlalu gembira sehingga tak memikirkan hal lainnya,” ia berhenti
sebentar. “Memang ada sebersit keinginan dalam diriku untuk melihat wajah Lily.
Aku mengiyakan saja untuk segera melakukan operasi. Dengan bisa melihat aku
akan lebih mudah untuk mencari Lily pikirku.” Si lelaki menarik napas panjang.
Dadanya begitu sesak.
“Benar
saja. Kakak Lily mengungkapkan dengan jujur bahwa mataku ini adalah mata Lily.
Waktu itu aku langsung tak bisa mengendalikan diri. Aku mengamuk. Mengapa Lily
begitu bodoh mengorbankan dirinya hanya untuk membuatku bisa melihat dunia.
Tapi penjelasan kakak Lily selanjutnya langsung membuat aku terpuruk dalam
kesedihan. Katanya dengan atau tanpa Lily mendonorkan matanya untukku ia akan
tetap mati. Lily sudah sekarat saat itu. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
kesembuhannya. Bahkan keajaiban pun tidak berpihak pada kami.” Ia tersenyum
getir. Ternyata garis takdirnya penuh dengan kesedihan.
Aku
tak menduga sama sekali. Awalnya ia menyapaku dengan raut wajah begitu cerah.
Namun cerita si lelaki menjelaskan padaku bahwa ada rasa kecewa yang ia pendam
terhadap sosok Lily. Tentang Lily yang menghilang tanpa kabar dan
meninggalkannya begitu saja. Tentang Lily yang menyembunyikan rahasia besar
mengenai penyakitnya. Ceritaku kini semakin mirip dengan miliknya.
“Sekarang aku bisa melihat. Tapi
itu tak akan memperbaiki apa pun. Seseorang yang selalu ingin kulihat sudah
tidak ada di dunia ini. Seseorang yang ingin kutemukan ketika ia tiba-tiba
menghilang…” Kali ini si lelaki menangis. Aku membiarkannya beberapa saat.
Senja
sudah menghilang sepenuhnya. Bintang-bintang bermunculan di langit yang semakin
menghitam. Lampu-lampu di sepanjang dermaga telah menyala. Sepi. Hanya ada aku,
Max, si lelaki dengan Lily dan kesedihannya. Aku ingin mengatakan bahwa garis
hidupku pun hampir sama dengannya. Tapi aku urung. Aku tidak ingin menganggu
kekusyukannya. Lalu yang kulakukan kemudian hanyalah memandangi
bintang-bintang.
***
“Kenapa selalu kau duluan yang
datang ke tempat ini?” si lelaki muncul lagi di tempat sama pada senja
selanjutnya. Ia langsung duduk di sebelahku seperti biasa.
Aku tersenyum padanya. “Aku
hanya tak ingin melewatkan senja,” kataku masih melalui tulisan di buku kecil
yang sama.
Aku
memang sangat menggemari senja. Senja adalah gambaran hidupku. Hidup yang
tadinya berwarna dan penuh gairah karena kehadiran Max. Seperti nyala senja di
ujung barat. Namun seperti senja pula yang tak begitu banyak mendapat waktunya.
Ia akan segera ditelan malam. Kini periode itu telah berakhir. Hidupku kini
seolah malam yang sepi. Hidup yang kucoba maknai dengan sisa semangat seperti
bintik-bintik bintang yang berupa jutaan serpihan di langit. Aku sedang mencoba
menyatukan serpihan itu dalam benakku. Karena aku masih menyimpan harapan untuk
besinar satu saat nanti.
Dalam
senja aku bisa mengenang Max. Aku bisa mengingat semua kenangan yang telah
kulalui selama seperempat usiaku itu. Bahkan aku tidak pernah merasa bosan
melakukannya. Aku juga sering mengirim surat pada Max. Kutuliskan seluruh
perasaan rinduku pada lembaran kertas dan melarungkannya ke laut. Hampir setiap
hari aku menulis surat untuk Max. Dan rasanya selalu saja ada yang ingin
kukatakan padanya.
Sudah dua bulan berlalu sejak
pertemuan pertama itu. Sejak itu juga si lelaki selalu menemaniku menikmati
senja dalam diam. Ia juga tidak pernah bertanya padaku tentang surat-surat itu.
Meski aku tahu ia tak begitu suka dengan senja. Mungkin hidupnya sudah sangat
membosankan karena kehilangan Lily. Sehingga apa pun yang terlihat indah di
dunia ini begitu hambar baginya. Aku tak bisa menganggap remeh hal itu.
Kehilangan memang menyakitkan.
“Ini. Ambillah!” Si lelaki yang
masih belum juga kuketahui namanya dan juga belum mengetahui namaku itu
menyerahkan sebuah gantungan lonceng kecil. Diraihnya tanganku dan
diletakkannya benda itu di telapak tanganku.
Aku memandanginya. Dari lonceng
itu beralih ke matanya.
“Jangan memandangku seperti itu.
Aku tahu mataku ini mata perempuan. Aneh ya?” Ia justru mengalihkan fokus.
“Tidak. Mata itu begitu serasi
dengan wajahmu. Benar kata Lily, kau memang sempurna. Ia melengkapi
kesempurnaanmu,” tulisku.
Ia hanya tersenyum. Sangat
tipis. “Nah, sekarang maukah kau menceritakan kisahmu? Tentang Max. Tentang kau
yang selalu menulis di buku untuk berbicara padaku.” Ia berbicara padaku seolah
aku ini bukan gadis membosankan yang tidak pernah bersuara. Ia tidak merasa
risih hanya bersuara seorang diri.
Mataku beralih pada awan yang
bergulung-gulung di langit barat. Aku tak tahu harus dari mana menceritakan
kisah lama itu. Malah sengaja kusandarkan kepalaku di bahu si lelaki. Aku
kangen dengan saat-saat seperti ini. Dulu aku selalu menjadikan bahu Max
sebagai sandaran sambil menyanyikan lagu-lagu cinta. Sekarang untuk bersuara
pun aku tak ingin. Seolah ingin kusimpan suaraku hanya untuk Max. Aku memang
bernyanyi hanya untuk Max. Max seorang.
“Hmm… Apa begitu berat bagimu?
Taruhan pasti kau punya kisah yang luar biasa,” ujarnya.
Aku
tahu ia berusaha memancingku, tapi aku masih tetap diam. Kugoyangkan lonceng
kecil pemberian si lelaki yang bahunya kupinjam ini. Seolah merayakan kepergian
senja yang diiringi rintik hujan yang begitu halus. Hujan bulan Juli yang
manis. Aku tidak beranjak pergi. Begitu juga dengan lelaki di sampingku. Kami
sama-sama menikmati sentuhan hujan kali itu. Tapi sayang momen itu tak begitu
lama. Hujan seketika berhenti bersama dengan menghilangnya jingga terakhir
senja.
“Baiklah aku tidak akan
memaksamu.” Ia menyerah. “Kau tahu? Hari ini adalah tanggal kematian Lily.” Ia
memberi pengakuan yang mengejutkanku.
“Ya. Tepat hari ini tujuh tahun
lalu ia meninggalkanku yang tak tahu apa-apa.”
Aku terdiam sejenak. Lalu
kutuliskan beberapa kalimat panjang. “Ini hari yang penting. Hari ini ia pergi
ke surga bukan? Tapi ia titipkan matanya padamu. Itu artinya ia tidak
benar-benar menghilang. Ia pasti juga ingin selalu bersamamu. Tulislah sebuah
surat untuknya.” Kutunjukkan tulisan itu padanya. Kemudian kurobek satu lembar
kertas kosong dari buku kecilku. Kuserahkan padanya. Juga pulpen yang ada di
tanganku.
Ia menatapku sejenak kemudian
mulai menulis surat untuk Lily. Sesekali ia berhenti. Memandang langit yang
sudah menghitam sepenuhnya. Sepertinya ia menulis dengan segenap perasaan. “Ini
akan jadi surat terakhir untuk Lily,” ujarnya.
Sementara
itu aku menyanyikan lagu untuk Max. Karena saat kepergian Max tepat ketika
bintang-bintang mulai bermunculan di langit, sama seperti saat ini. Kali ini
aku mengungkapkan rinduku untuk Max. Dan untuk pertama kalinya aku bersuara
sejak kepergiannya. Lonceng kecil si lelaki mengiringi nyanyianku.
Ia
menatapku dengan sangat heran. Pandangan matanya penuh tanya. Aku tahu ia tak
pernah menduga bahwa aku tidak benar-benar bisu. Dan aku memainkan peran dengan
baik. Ia menyimak laguku hingga selesai kemudian bertepuk tangan. Surat untuk
Lily masih dijepitnya di sela-sela jari.
“Boleh
aku pinjam suratmu?” tanyaku. Kuletakkan lonceng itu di pangkuan.
“Untuk?”
Ia terlihat bingung.
Aku
mengambil begitu saja surat di tangannya. Kubentuk surat itu menjadi sebuah
perahu. Lalu kuserahkan lagi kepada si lelaki. Kutepuk pundaknya. “Hidup kita
harus berlanjut. Ucapkan salam perpisahan pada Lily agar ia bisa benar-benar
menikmati surga. Lagu tadi juga yang terakhir untuk Max.”
Ia
melarungkan surat perahu itu ke laut. “Bye,
Lily..!” teriaknya.
Kulihat
ia tidak menangis. Justru aku yang menangis menjadi saksi perpisahan mereka.
Kutatap langit. Bayangan wajah Max yang teduh muncul di antara bintang-bintang.
Aku melambaikan tangan padanya. Kekasihku juga harus bahagia di surga. “Bye, Max..!”
“Hey!
Bolehkah aku memohon satu hal padamu?” tanya si lelaki setelah kesunyian yang
panjang di antara kami. Ia tersenyum. Kali ini senyum yang hidup.
“Apa?”
“Tapi
kau harus berjanji memenuhinya. Tidak boleh tidak.”
“Hmm…
Boleh saja asal kau berjanji untuk selalu bersemangat seperti ini. Berani
sumpah senyummu itu bisa memperbaiki dunia. Memangnya apa permintaanmu padaku?”
“Aku
ingin… kau tetap bernyanyi.” Ia mengatakannya seraya mengambil buku kecilku
lalu disembunyikannya di punggungnya. “Dan… tetaplah berbicara padaku seperti
ini.”
“Baiklah. Deal!”
“Oh,
ya. Boleh aku tahu di mana Max berada saat ini? Dia masih bersamamu kan? Sama
seperti mata Lily ini.”
“Dia
berdetak bersamaku,” kataku sambil meraba jantungku sendiri.
“Wow!”
“Haha!
Kau kenapa? Aneh ya mengetahui bahwa jantungku ini jantung lelaki?”
“Tidak.
Aku bersyukur karena Max membuatmu bertahan hidup. Kalau boleh tahu jantungmu
dulu kenapa? Lalu bagaimana cara Max…? Oh, maafkan aku! Aku tidak bermaksud
membuka luka lamamu,” ujarnya tiba-tiba menjadi canggung.
Aku
bersikap biasa. Lalu mulai kuceritakan kisah lamaku. “Jadi aku dulu sakit. Aku
membutuhkan donor jantung secepatnya jika tak mau mati. Lalu, kau tahu apa yang
dilakukan Max? Ia sengaja mabuk dan menabrakkan mobilnya. Ia koma selama
sebulan dan kemudian pergi begitu saja. Max memang bodoh. Ibu Max yang
memintaku untuk menerima jantung Max ini. Katanya ia ingin anak lelakinya tetap
hidup dengan cara lain. Dan seolah jantung Max memang ada untuk melengkapiku,
donor itu cocok. Begitulah ceritanya…”
“Hooo…
Kau harus percaya Max sangat sayang padamu. Lelaki adalah makhluk yang paling
egois. Mana mungkin ia merelakan hidupnya untuk seorang perempuan kalau bukan
karena cinta. Hanya cinta yang bisa mengubah pendirian seorang lelaki.” Si
lelaki tiba-tiba menjadi aneh. Sebelumnya di antara kami memang tidak pernah
membicarakan cinta. Ini sama anehnya dengan mengobrol bersama ayah tentang
ciuman pertama.
“Pada
akhirnya aku juga harus merelakan Max pergi,” kataku. “Butuh waktu
bertahun-tahun untuk bisa merelakan kepergian Max. Sampai saat kehadiranmu dan
ceritamu tentang Lily yang membuka mataku. Aku tahu saat ini pasti akan
datang.”
“Sebenarnya
aku sudah berusaha untuk melupakan Lily. Tapi aku tidak bisa. Jika aku ingin
melupakan Lily itu berarti aku juga harus meninggalkan pianoku. Tidak. Aku
tidak bisa.” Ia menggeleng.
“Kalau
begitu teruslah mengingat Lily. Ingat dia dengan kenangan yang baik. Teruslah
bermain piano. Kita memang tidak seharusnya melupakan seseorang yang telah
mati. Karena ia hanya bisa hidup dalam kenangan kita.”
“Kau
benar… Oh, ya. Boleh aku tahu namamu?” Ia mengulurkan tangan, ingin menjabat
tanganku. “Aku Calvin.”
Aku
tidak menjabat tangannya. Tapi memeluknya sekilas. “Aku Julie. Dan kuberi tahu
satu rahasia, Calvin. Pelukan adalah jabat tangan dari hati. Ini
ucapan selamat datang dariku
untuk kehidupanmu yang baru!”
Jantung Max di dalam tubuhku berdetak begitu intens saat mengatakannya.
“Julie…”
“Ya?” Aku melepas pelukanku.
“Bisakah kau dan aku menjadi
kita?”
***
(Pernah dimuat di hmiksui.org).
Komentar
Posting Komentar