Langsung ke konten utama

Forever

Ontario-California, akhir musim panas. Aku tergopoh-gopoh membawa teko penyiram tanaman yang terisi penuh ke depan rumah. Tepatnya ke tempat bunga-bunga milik Granny ditanam rapi dan aku yakin lebih terawat ketimbang tanaman-tanaman di taman kota. Mataku masih setengah terbuka. Ditambah dengan hanya mencuci muka asal-asalan, jadilah tampangku ini kacau maksimal.
Kalau bukan karena permintaan Granny yang disusul teriakan stereo Mom aku tidak akan sudi melakukan semua ini. Siapa sih anak gadis yang rela jatah tidur di sisa libur musim panasnya tersita oleh kegiatan sepele seperti menyiram bunga? Dan akhirnya aku melakukannya juga sambil menggerutu bahwa Granny terlalu kuno untuk sekadar memasang penyiram otomatis di taman kesayangannya. Katanya bunga-bunga itu juga butuh kasih sayang. Apa coba?! Hello Gran! Ini California abad 21!
                Untuk mengusir kejenuhanku aku menyiram asal-asalan sambil mendengar musik dan bernyanyi-nyanyi semauku. Bahkan aku berputar-putar dan tak sengaja menyenggol salah satu pot bunga kecil Granny yang untungnya tidak pecah. Itu karena perhatianku tiba-tiba terfokus pada pemandangan di seberang jembatan yang tepat berada di depan rumah. Jembatan itu menghubungkan daratan yang terbelah oleh sungai berbatu. Tapi tidak ada masalah dengan sungai itu dan jembatannya. Persetan. Yang kulihat adalah seseorang di rumah seberang jembatan itu.
                Ini bukan pertama kalinya aku melihat cowok seksi itu. Dia sedang berolahraga di balkon rumah besar bertingkat tiga itu sambil bertelanjang dada. Satu-satunya asupan vitamin yang kudapatkan di tempat antah berantah ini hanyalah kemunculannya. Yeah, aku hidup dan besar di Indonesia bersama Dad. Aku hanya sesekali datang ke tempat Mom ketika libur. Sejak beberapa hari lalu aku diam-diam selalu memperhatikan cowok itu dari balik kaca jendela kamar rumah Granny yang kutempati selama libur musim panas ini. Dia cowok sehat yang punya hobi olahraga setiap pagi.
                Dan aku baru menyadari semenit kemudian bahwa ini sungguh bukan waktu yang tepat untuk setor tampang padanya. Aku benar-benar berantakan. Berada pada titik terendah level fashionable versiku. Oh, aku berpikir seolah-olah dia akan memperhatikanku dari jarak sejauh ini.
                Setelah kegiatan menyiram bunga setiap pagi plus menyerap asupan vitamin mata itu selesai karena si cowok seksi juga sudah menghilang di balik pintu, lagi-lagi teriakan Mom mengusikku.
                “Apa lagi sih, Mom? Tidak bisakah kita benar-benar berlibur?” seruku seraya membawa teko penyiram bunga ke dalam rumah. Kuletakkan teko itu di salah satu sudut begitu saja.
                “Aku hanya ingin kau mencicipi pai lemon buatanku, Sayang,” ujar Mom sambil membawa seloyang pai yang agak gosong dan berasap.
                “Oh, please, Mom kau benar-benar akan membunuhku!” Aku selalu tidak suka dengan acara praktik membuat kue yang terlihat seperti eksperimen berantakan itu. Apa untungnya susah-susah membuat kue kalau beli saja gampang? Andai Mom tahu tidak akan apa-apa kalau ia tak bisa membuat kue. Toh kecantikannya yang seolah abadi itu bisa selalu menjadi kelebihannya di mata orang-orang.
                “Ayolah, Emma. Makan sedikit tidak akan membuatmu mati,” Granny menimpali.
                “Tidak, Mom. Kalau mau Granny saja. Aku tidak mau gendut karena makanan seperti itu pagi-pagi begini.” Aku menolak.
                Tapi Granny yang entah bagaimana masih gesit menangkapku dan Mom yang memang selalu cekatan menyumpalkan sepotong besar pai yang masih kelewat hangat itu ke dalam mulutku.
                Aku hanya memutar mata sambil mengeloyor pergi.
                “Bagaimana, Sweety?”
                Kuacungkan jempol tangan kananku ke udara seraya menaiki tangga menuju kamar untuk kembali molor.
***
                “Oh, ya. Granny ada permintaan khusus padamu,” ujar Granny ketika makan malam baru saja usai.
“Apa lagi, Gran?” tanyaku dengan malas.
“Aku ingin kau antarkan pai lemon untuk temanku. Rumahnya tidak jauh. Dia tinggal tepat di seberang jembatan itu.”
                What??? Aku disuruh mengantar sepiring kue ke rumah cowok itu? Aku tidak percaya dengan yang barusan.
                “Em? Kau keberatan?”
                “Tidak. Tidak! Sama sekali tidak. Hanya saja… bukan kue buatan Mom yang tadi pagi kan?” Aku berkata sambil melirik Mom yang kemudian memasang tampang galak.
                “Hahaha! Tenang saja. Yang ingin  kuberikan adalah buatanku sendiri,” sahut Granny.
                “Nah. Kalau begitu tidak masalah,” kataku.
                Kulihat wajah Mom semakin seram. Dan itu justru membuatku tertawa terbahak-bahak.
                “Sudah makan saja dan berdoalah supaya tidak gendut,” potong Mom.
                Aku memutar mata.
***
                Tok! Tok!
“Permisi!” Aku mengetuk pintu rumah seberang jembatan. Bahkan aku sendiri masih tak percaya bahwa aku benar-benar ada di sana.
Seseorang membukakan pintu. Dan ketika itu terjadi aku hanya berdoa dalam hati. Jangan pingsan! Jangan pingsan!
                “Hallo!” sapa cowok itu dengan wajah penuh tanya.
                Seketika itu aroma maskulinnya menyeruak ke dalam rongga pernapasanku. Matanya membuatku sulit untuk tidak menatap. Sulit untuk tidak salah tingkah. Sulit juga untuk menyembunyikan pipiku yang pasti sudah berwarna merah. Untunglah lampu depan yang tidak terlalu terang membantuku menyembunyikannya. Meski begitu, bagiku sulit untuk menguasai diri. Ada rasa yang aneh dengan suasana ini. Aku merasa pernah mengalaminya, seperti deja vu.
                “H-hai!” Sepertinya aku baru saja kelewat semangat. Oh, God! Aku meledak-ledak. Hampir saja pai yang ada di tanganku jatuh ke lantai.
                “Ya? Kau… cari siapa?” tanya kembaran Zac Efron di depanku ini.
                “A-aku mencari Maggy. Granny-ku menyuruh untuk mengantarkan pai ini padanya.” Akhirnya aku bisa mengucapkan kata-kata dengan lebih baik.
                “Oh, nenekku sedang tidak ada. Dia sedang keluar. Ada latihan dansa rutin setiap Sabtu malam,” jelasnya dengan mata tersenyum.
                Bisa tidak sih orang ini tidak menatap mataku? Aku kan jadi tambah meleleh.
“Hey!” Sapanya. Dan itu menyentakku.
                “Ah. Kalau begitu ini kutitipkan padamu saja ya. Tolong bilang pada Maggy ini dari Granny Ally.” Kuserahkan nampan pai itu kepadanya.         
                “Thanks! Akan kusampaikan,” ujarnya setelah menerima nampan itu dengan satu tangan.
                “Ya sudah. Begitu saja. A-aku…”
                “Hey, kau tidak mau mampir dulu?”
                Astaga! Kembaran Zac Efron memintaku mampir? Sepertinya wajar kalau sekarang aku benar-benar pingsan.
                “Bagaimana? Kenapa kau sering sekali melamun? Hey!” Dia mengibaskan tangannya ke depan wajahku.
                “Ahaha! Sorry,” aku terdiam sejenak. Kuremas-remas bagian samping t-shirt putihku. “Aku baru sekali ini ke mari. Memangnya aku tidak sedang mengganggumu?”
                “Santai saja. Ayo masuklah!” ujarnya sambil membuka pintu lebar-lebar.
                “O-oke. Memangnya kau sedang apa?” Aku melangkah masuk lalu mengikutinya yang berjalan ke arah monitor televisi.
                “Oh, aku sedang main games. Terlalu sepi di sini. Aku bosan. Kau mau melawanku?”
                “Tidak. Tidak. Aku tidak jago urusan seperti ini.” Aku berbohong. Sebenarnya aku juga seorang gammer. Itu karena Daddy yang sering memintaku menjadi lawan mainnya. Dan ya, sungguh aku tidak mau terlihat konyol di depan pujaanku. Mana ada seorang cowok tertarik pada cewek penggila games.
                Satu-dua-sepuluh-lima belas menit aku duduk di sana dalam diam. Sementara si cowok di sebelahku begitu asyik dengan games-nya. Ia hanya sesekali menoleh dan tersenyum. Awalnya aku tidak keberatan karena meski ditinggal asyik sendiri aku bisa berlama-lama dekat dengannya. Tapi sejenak kemudian aku jadi merasa sangat murahan.
                “Ma-maaf!” Aku berkata sambil berdiri dari sofa cepat-cepat. “Aku harus pergi! Granny dan Mom pasti sudah menungguku. Bye!” Aku beranjak ke arah pintu. Cowok itu terlihat kebingungan. Kulambaikan tangan sekilas lalu pergi ke luar pintu dan menutupnya dengan cepat. Bodohnya aku tidak segera pergi. Aku masih terdiam di pintu pagar beberapa saat sampai sapaan si cowok yang tanpa kusadari sudah berdiri di depan pintu menyentakku sekali lagi.
                “Hey!”
                Aku berbalik. “Y-ya?”
                “Kau siapa? Ma-maksudku aku harus memanggilmu siapa?” tanyanya.
                “Oh, aku Emma.”
                “Oke, Emma. Thanks ya sudah mampir! Namaku Alvaro.”
                Alvaro. Alvaro. Alvaro. Aku terus mengingatnya sambil berjalan kembali menuju rumah Granny dengan sesuatu yang menggelitiki perutku.
***
                Aku terbangun dan mendapati Mom sedang membuka jendela kamarku lebar-lebar. Aku menghambur ke sana, memusatkan pandangan pada rumah di seberang jembatan. Yang kurasakan kemudian adalah kekecewaan. Dia tidak di sana. Aku mengusap pelan bibirku karena tiba-tiba teringat mimpi semalam. Aku mencium Alvaro di dalam mimpiku. Susah sekali untuk tidak memikirkan mimpi ciuman dengan cowok seksi macam dia. Dan karena aku nyengir-nyengir seperti orang tidak waras, Mom yang aku lupa  jika masih berdiri di sana memandangiku dengan bodoh.
                “Mom! Jangan  melihatku seperti itu.”
                “Kau kenapa, Sweety?”
                “A-aku hanya… Aku…”
                “Aku tahu jawabannya!” Suara Granny di pintu kamar membuat kami seketika menoleh. Ia membawa nampan berisi segelas susu. Tumben-tumbenan Granny tidak marah padaku karena aku bangun telat dan tidak melaksanakan tugas rutin menyiram bunga. Dan sungguh keajaiban ia justru membuatkanku segelas susu. Ini pertama kalinya sejak aku berada di sini.
                “Apa itu?” tanya Mom yang selalu ingin tahu semua hal tapi tidak bisa menerka sesuatu dengan tepat. Yeah, itulah kelemahan Mom yang lain selain memasak.
                “Anakmu sedang jatuh cinta,” ujarnya seraya meletakkan gelas susu di meja.
                “Apa-apaan sih, Granny ini! Aku tidak…”
                “Jangan mengelak. Tampangmu sekarang berwarna pink tahu!”
                “Omong kosong.” Aku memalingkan muka.
                “Aneh. Harusnya kau memang tertarik dengan cucu Maggy itu meski sedikit. Apa aku salah?”
                Aku melirik sekilas ke cermin. Pink? Kalau benar aku jatuh cinta, ini bisa gawat. Kata orang cinta pertama tidak akan pernah berhasil. Apalagi cinta pada pandangan pertama.
                “Aku ingin mandi saja,” kataku sambil menyambar handuk lalu melesat ke kamar mandi menghindari kedua perempuan bawel itu.
                “Aneh. Harusnya kau ingat sesuatu, Em! Kau kan pernah menciumnya dulu waktu masih balita!” teriak Granny dari kamarku.
***
                Ini hari terakhir aku berada di rumah Granny. Sepanjang siang aku hanya duduk-duduk tanpa melakukan apa pun. Dan hari ini hampir berakhir. Aku ingin sekali lagi melihat cowok itu hanya untuk memastikan perasaanku. Memang sih rasanya ada sesuatu yang asing, baru sekali ini kurasakan. Entah apa namanya. Dan teriakan Granny tadi pagi benar-benar membuatku berpikir keras. Benarkah aku dulu pernah menciumnya? Kenapa aku tidak mengingat apa pun? Apa karena waktu itu aku masih terlalu kecil?
                Kupilih kemeja terbaikku. Kurasa tubuh tidak proporsionalku akan selalu baik-baik saja dengan kemeja. Aku sudah ada di depan pintu rumah Maggy ketika menilik sekali lagi penampilanku. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul tujuh. Aku baru akan mengetuk ketika seseorang sudah membukanya. Sepertinya ia Maggy.
“Hai!” sapanya dengan wajah tua yang tersenyum.
                “H-hai!”
                “Cari siapa? Oh, ya. Kau siapa? Aku belum pernah melihatmu di sekitar sini.”
                “A-aku Emma. Kau pasti Maggy? Aku cucu Granny Ally.”
                “Oh! Mari masuk! Silakan!” ajaknya sambil merangkul pinggangku dengan satu tangan.
                “Ah. Terima kasih. Aku hanya ingin bertemu dengan Al-Alvaro.”
                “Wah. Kalian sudah kembali akrab rupanya? Tapi sayang sekali cucuku baru keluar. Katanya tidak mau ketinggalan momen langka,” ujarnya dengan wajah bingung.
                Momen langka?Jangan-jangan… Ah! Aku tidak pernah berpikir kalau Alvaro mungkin sudah punya pacar. Ini kan Sabtu malam.
                “Oh. Kalau begitu aku permisi. Mungkin lain kali saja. Permisi, Maggy! Senang berkenalan denganmu,” kataku dengan cepat.
                “Ah, ya, ya! Aku juga. Sampaikan salamku untuk Ally, ya!”
                “Pasti,” kataku kemudian membalik badan dengan lemas.
                Kesempatan terakhirku lenyap sudah. Aku berjalan gontai dan berhenti tepat di tengah jembatan. Sinar bulan membuat air sungai menjadi keemasan. Aku melihat ke langit dan seolah lagu Talking to The Moon tiba-tiba mengalun menjadi soundtrack kisah drama super singkatku yang menyedihkan.
                “Kau melewatkan sesuatu ya?” Suara seseorang membuatku menoleh.
                “Al-Alvaro?!” Aku bereaksi terlalu gembira.
                “Yeah. Ini aku. Kau sedang apa? Menyesal karena momen barusan sudah lewat?” Ia berdiri di sana. Di ujung jembatan.
                “Hah? Memangnya apa?” tanyaku bingung.
                “Supermoon. Sekarang bulannya sudah meninggi. Tidak terlihat sebesar satu-dua jam lalu,” ujarnya ketika berjalan mendekat.
                “Oh, supermoon,” kataku datar.
                “Kau tidak tertarik?”
                Aku lebih tertarik padamu kurasa. Ingin aku mengatakannya jika mampu.
                “Aku bisa melihat nanti di Youtube. Tapi yang sekarang ini tidak kalah cantik kok,” ujarku sambil menatap bulan yang ada di atas kepalanya.
                “Ya. Kau benar. Bulannya cantik sepertimu.”
                “Hah?” Aku pura-pura tuli.
                “Kau cantik, Emma. Iya. Kau bahkan lebih cantik dari bulan itu.”
                “Apa sih!” Aku tak bisa menahan panas yang tiba-tiba merambat ke pipiku. Sekujur punggungku dirayapi oleh rasa aneh.
Nggg… bagaimana ya… Mungkin, mungkin ini terdengar gila. Tapi aku suka padamu. Bukan. Aku mencintaimu sejak kau bawa seloyang pai lemon ke rumah Maggy. Dan aku lebih mencintaimu lagi sejak kau menutup pintu untuk berpamitan dengan tergesa-gesa dan membuat aku kebingungan. Sejak malam itu aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Apa... kau tak ingat masa kecil kita sama sekali? Waktu itu...”
“Stop! Please jangan katakan kalau dulu kita pernah berciuman!” Ah! Ingin kusumpal mulutku yang seenaknya bicara ini. Bodoh!
                “Kau salah, Em. Kau duluan yang menubrukku kemudian menciumku di depan semua keluarga saat thanksgiving dengan bibir berlumuran cokelat.”
“Haha!” Aku hanya bisa tertawa setelah mulutku menganga beberapa saat mendengar pengakuan Alvaro. Itu sungguh membuatku malu dan ingin terjun ke sungai. Aku sendiri memang benar-benar tidak ingat kejadian itu.
So...?” Dia bertanya seolah menunggu sebuah jawaban. Butuh beberapa saat bagiku untuk kembali menguasai situasi.
“Aneh ya? Ini pertemuan kedua kita dan kau sudah begitu yakin dengan perasaanmu,” kataku sambil bersandar pada sisi dalam pagar jembatan. Aku hanya ingin mendengar pendapatnya.
                “Jangan salahkan aku. Kau yang membuatku teramat yakin. Selama ini aku jarang memikirkan cewek. Hampir tidak pernah. Bahkan aku masih ingat ciumanmu yang berantakan itu.” Kulihat wajahnya sedikit memerah ketika mengatakannya.
                “Kau seyakin itu?” Aku benar-benar tidak bisa melewatkan kesempatan.
                Alvaro mengangguk.
                “Aku tidak tahu. Aku belum pernah jatuh cinta,” ujarku polos. Kali ini aku jujur. Di Indonesia, aku hanya kuliah dan main tanpa memikirkan punya pacar. Itu karen Daddy yang terlalu protektif hingga tidak ada lelaki yang berani mendekatiku.
                “Mungkin kita butuh waktu. Kau butuh waktu lebih banyak untuk memastikan.”
                “Tapi sayangnya aku besok sudah kembali ke Indonesia. Ini hari terakhirku di sini.”
                Ah, sepertinya memang benar cinta pertama atau cinta pada pandangan pertama atau kombinasi keduanya tidak akan pernah berhasil.
                “Jangan kau buat ini jadi sulit, Em,” Alvaro berkata sambil mengenggam tanganku.
                Aku melihat lurus ke dalam matanya. “Terus aku harus bagaimana?”
                “Aku akan menunggumu tahun depan. Meski tidak ada yang bisa menjamin bagaimana perasaanmu nantinya, aku akan tetap menunggumu.”
                “Tidak ada yang bisa menjamin juga apa yang kau rasakan padaku tidak berubah.”
                “Hahaha!” Ia justru tertawa.
***
“Hahaha!”
Itu tadi Alvaro yang tertawa di sampingku setelah selesai kuceritakan kisah lama itu padanya. Tentang pertemuan dan cinta yang tiba-tiba. Yang justru sampai sekarang masih terjaga dengan baik dan semakin kuat. Ia kini menua di sisiku. Aku menua di sisinya. Aku bahagia dengan kebersamaan kami, meski Alv telah sedikit pikun dan aku harus mengingatkannya setiap hari tentang kisah itu.
“Si Emma benar-benar mencintaimu, Alv,” kataku sambil mempererat pelukanku.
“Untung aku masih menunggumu sampai musim panas berikutnya datang,” katanya yang sedang menatap langit di atas kepala kami.
“Untung juga aku segera menyadari bahwa perasaan itu memang benar…”
“Yeah. Cinta!”

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Seoul-mate!

Sial! Tinta dari pulpen yang kupegang menetes mengotori kertas catatan dan tangan kananku. Aku baru saja ingin mulai menulis dan tinta pulpenku bocor. Untuk beberapa saat aku sibuk membersihkan tinta yang menetes tadi dengan selembar kertas bekas yang kurobek dari halaman terakhir buku catatanku. Sekilas aku melirik sekeliling, untunglah tak ada yang memperhatikan kekonyolanku. Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Pikiranku langsung terhubung pada satu kenangan. Saat ketika kau merelakan seragam olahragamu untuk mengelap cat tembok basah yang tidak sengaja kusandari. Dulu momen itu tak berarti apa-apa tapi kini sakitnya luar biasa. Dan saat aku merobek-robek buku catatan lucuku karena kau menggambar aku dengan muka cemberut ketika aku sedang marah padamu tiga tahun lalu. Kini rasanya aku ingin menyatukan kembali robek-robekan itu.             Jumat siang, pukul setengah dua belas. Para lelaki muslim berjamaah menuju masjid kampus. Mereka lewat lobi perpustak