Langsung ke konten utama

Cinta Dalam Semangkuk Kimchi

Aku baru saja tiba di bandara Incheon. Sudah pukul tujuh malam di Korea. Tubuhku terasa sangat lelah setelah menempuh perjalanan menyeberangi dua benua. Untunglah Incheon yang bersih dan nyaman tidak menambah penatku, meskipun troli yang kudorong serasa begitu berat. Aku hanya berjalan pelan sambil mencari tulisan namaku di antara barisan penjemput. Hawa kantuk masih mendekap ragaku.
“Jung Soon-ae!” Seseorang memanggilku.
Aku menoleh ke arah suara itu. Sekira lima meter di depanku seorang lelaki bertubuh tegap yang tampan dan keren membuka kedua tangannya seolah akan memeluk. Wajahku langsung berubah bersemangat, hilang sudah lelah dan kantuk yang sedari tadi melanda. Aku melepaskan troliku kemudian berlari dan mendarat di pelukan lelaki itu. Kurasakan hangatnya pelukan orang yang paling kurindukan di Korea ini. Demi dia aku rela terbang jauh dari Paris hanya untuk menuruti permintaannya.
“Sudah lama menunggu?” aku bertanya sambil masih dalam pelukannya.
“Seharian pun akan kukatakan tidak lama jika untuk menunggumu, Nuna,” jawabnya sambil memperlihatkan cengiran khas yang membuat siapa saja terpikat.
“Aku lelah sekali, harus tidur di mana aku malam ini?” tanyaku sembari melepaskan diri dari pelukannya. Dongsaeng-ku sudah menjadi seorang lelaki sekarang. Tingginya melebihi aku yang tengah memakai boots. Aku berani bertaruh pasti banyak perempuan Korea menyukainya.
“Kau bercanda, Nuna. Tentu kau akan pulang ke apartemenmu.”
“Oh, masih kau rawat tempat itu, Jung Soon-ho? Kukira kau menyewakannya seperti saranku. Selama ini bukankah kau tinggal di dorm?” aku bertanya pada adik lelakiku satu-satunya. Kupandangi wajahnya yang segar dan manis. Garis wajahnya kini tegas dan terkesan dewasa.
“Aku sudah kembali dari sana sejak sebulan yang lalu, setelah sidang skripsi tepatnya. Aku bosan berada di dorm dengan gadis-gadis genitnya. Hahaha!”
“Sebegitu dipujakah kau di college?”
“Kau tak lihat dongsaeng-mu ini setampan apa?” ia berkata sambil pura-pura merapikan rambutnya.
Aku menertawainya dan mengatakan, “Hey, Jung Soon-ho, bagiku kau tetap saja bocah lelaki manja dan cengeng. Haha!” Aku teringat bagaimana seorang Soon-ho remaja terlalu sering menangis karena perempuan.
I’m not a boy anymore, Nuna. I’m a man you know?!”
Ok! Ok! Terserah kau sajalah. Aku lelah, ingin cepat sampai di rumah dan memakan kimchi buatan Ahjumma. Bawakan troliku ya dongsaeng-ku tersayang!”
“Sekarang kau tahu siapa yang manja dan merepotkan, Nuna?” dia mengolok-olokku.
“Hmm, baiklah akan kubawa kembali barang-barangku ke Paris,” ucapku sambil berpura-pura merajuk, melipat kedua tangan di dada. Jung Soon-ho hanya tertawa-tawa sambil menghampiri troli dan menggandengku ke lobi bandara.
***
Mazda hijau metalik yang kunaiki bersama Jung Soon-ho membelah jalanan kota Seoul dengan kecepatan sedang. Aku menikmati wangi kota ini dengan membuka sedikit kaca mobil. Sudah tiga tahun lebih aku tidak pulang. Udara malam Seoul masih tetap sama kurasakan. Kulirik Jung Soon-ho mengemudi dengan tenang di sampingku. Syukurlah ia bisa tumbuh dengan baik sampai detik ini, meski tanpa orang tua. Hanya akulah orang tua baginya. Aku menepuk-nepuk pundak dongsaeng-ku dengan sayang.
“Istirahatlah, Nuna. Aku akan menyetir pelan-pelan,” saran Jung Soon-ho.
Aku sedikit merebahkan sandaran jok, masih sambil menikmati gemerlap kota Seoul yang tidak kalah dengan Paris. “Kau mengemudi saja sesukamu. Selama di Paris aku sudah terbiasa untuk tidak mengemudi lambat. Haha!”
“Sebegitukah Paris mengubahmu, Nuna? Paris juga membuatmu semakin cantik,” puji Jung Soon-ho.
“Jadi selama kutinggal kau hanya belajar banyak-banyak cara merayu perempuan, ya?” tanyaku sambil memejamkan mata sejenak.
“Hahaha… ampun Nuna!” Jung Soon-ho terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kau bahagia di sana, Nuna? Kau tidak apa-apa kembali ke Seoul?” ada keraguan dalam tanya adikku.
Aku menghela napas. Mataku mengerjap beberapa kali. Kutatap ia. Pancaran mata Jung Soon-ho menuntutku untuk menjawab. Ia memang lebih mengenal diriku lebih dari siapa pun di dunia ini. Ia pun tahu aku pergi ke Paris bukan hanya karena beasiswa kuliah fashion design yang kudapatkan. Ia tahu aku kabur ke Paris membawa hati yang pecah berjuta serpih. Meski aku mengatakan bahwa aku bahagia, tapi Jung Soon-ho tahu benar ada sesak dalam dadaku ketika kembali ke tempat ini. Ratusan waktu indah yang pernah kulewati dulu, kini berubah menjadi kenangan yang sebisa mungkin ingin kulupakan.
Sorry, Nuna…” Jung Soon-ho menggenggam tanganku dengan satu tangannya. Ia menyesal menanyakan itu semua. Ia tahu stoples kenangan yang kututup rapat-rapat itu telah dibukanya dengan paksa.
“Aku tak apa-apa…” Sebutir bening itu jatuh di atas pangkuan.
***
Aku menyambangi galeri kecilku di salah satu sudut lantai tujuh belas apartemen yang kutinggali bersama dongsaeng-ku. Meski sakit harus menghadapi sebagian kecil kenangan yang terekam pula di galeriku ini, tapi aku masih menyimpan kecintaanku pada tempat ini. Bagaimana pun di sini aku menemukan passion-ku untuk pertama kalinya. Sampai akhirnya aku memilih Paris sebagai tujuanku sekaligus pelarianku.
Masih dua minggu sebelum acara wisuda Jung Soon-ho. Aku berniat membuatkannya setelan jas agar lengkap kebahagiaannya di hari penting itu. Kuikat rambutku dengan kain perca sekenanya. Aku mulai membuat sketsa. Kemampuan desainku sudah tidak diragukan lagi. Tidak seperti aku yang tiga tahun lalu masih merasa minder dan tidak mampu. Kini satu sketsaku selesai hanya dalam hitungan menit. Itu semua karena rasanya cintaku pada pekerjaan ini.
 Aku jadi ingin melihat kembali apa yang kukerjakan tiga tahun lalu di sini, hanya sekedar ingin mengukur kemajuanku. Aku ingin tahu seberapa banyak yang kupelajari di Paris. Kulangkahkan kakiku menuju lemari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya ada beberapa buku tebal tersusun rapi. Kuambil sebuah sketchbook biru muda dari tumpukan itu. Sketchbook pertamaku. Kubuka lembar demi lembarnya sampai halaman terakhir.
Tubuhku terjatuh lemas. Jantungku berdetak lebih intens. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mencengkeramku dari segala penjuru. Sketchbook itu terlempar dengan halaman terbuka. Dua lembar foto menyerak ke lantai. Kututupi pandanganku dari foto itu seolah melihat hantu yang menyeramkan. Aku berteriak histeris sampai Jung Soon-ho datang membuka paksa pintu galeri. Ia mendapatiku hancur di lantai marmer yang dingin.
Jung Soon-ho menyelipkan foto sepasang kekasih yang sedang mencoba gaun pengantin dan tuxedo itu kemudian menutup kembali halaman sketchbook dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia segera membopongku ke tempat tidur. Aku tidak meronta, telah habis kekuatanku dalam sesaat. Jung Soon-ho memberikan pil-ku dan segelas air mineral. Perlahan-lahan aku menjadi lebih rileks setelah meminumnya. Aku memunggungi Jung Soon-ho dan menarik selimut sampai menutupi wajah.
***
Aku sudah lebih segar sekarang. Kuhirup dalam-dalam udara taman yang berbau wangi bunga-bunga. Sudah awal musim semi rupanya. Jung Soon-ho mengajakku berjalan-jalan ke taman di depan apartemen.Tanganku tetap bergelayut pada lengan dongsaeng-ku sementara kami berjalan perlahan. Rasa takut sebenarnya tersebar di mana-mana, di seluruh penjuru kota Seoul, seperti kenangan menyedihkanku dengan seseorang yang menurut Jung Soon-ho adalah penyebab aku menjadi seperti ini. Bahkan jika aku berusaha sekeras apapun untuk bersembunyi, sepertinya tidak ada tempat untuk itu di negeri ini.
Nuna, lebih baik kau kembali ke Paris jika di sini hanya membuatmu kembali terpuruk. Aku tak mau melihat kau sakit lagi,” ujar Jung Soon-ho tulus.
“Aku ingin sekali menemani wisudamu. Aku berjanji akan berusaha tegar mulai saat ini,” sahutku. Meski aku sendiri tak yakin dengan apa yang kuucapkan. Mungkin aku bisa sedikit demi sedikit move-on asalkan tidak menemukan orang itu lagi. Entah ini harapan dari hatiku atau hanya pikiranku saja. Perasaan itu seperti ada bagian diriku yang berusaha menguburnya dalam-dalam.
“Yah, baiklah kalau kau tetap berkeras. Yang harus kau tahu, aku akan selalu menguatkanmu, Nuna.”
“Aku ingin makan kimchi buatan Ahjumma,” pintaku pada Jung Soon-ho, sekaligus mengalihkan pembicaraan tidak menyenangkan itu. Yang kumaksud Ahjumma adalah bibi pemilik kedai enak di ujung jalan kecil dekat dengan apartemen kami. Aku dan dongsaeng-ku sering makan di sana dan tidak pernah bosan dengan kelezatannya. Menu yang paling kusuka adalah kimchi. Jung Soon-ho menggandengku ke tempat itu, meski tempat itu juga punya kenangan menyedihkan yang sama.
Kami berjalan menuju sisi selatan apartemen tempat kedai itu berada. Jung Soon-ho sudah sibuk melambaikan tangan ketika Ahjumma melihat kami dari kejauhan. Ia begitu bersemangat dengan senyum yang mengembang. Kuhampiri Ahjumma dan memeluknya seperti kawan lama.
Aigoo! Soon-ae, sudah lama sekali kau tak berkunjung ke mari! Kau begitu lama dinanti-nantikan! Semakin dewasa kau semakin cantik, orangtuamu di surga pasti bangga denganmu.” Ada sedikit kejanggalan dalam ucapan Ahjumma. “Ah!” Ia melanjutkan, “kau mau makan?” tanya Ahjumma sambil memegangi kedua pipiku.
“Iya, tolong buatkan kimchi terlezat untukku, Ahjumma.”
“Aku bibimbab!” pesan Jung Soon-ho.
“Baiklah-baiklah. Masuklah dan duduk. Pilih tempat yang paling nyaman. Aku akan segera membawakannya untukmu,” ia mencubit pelan pipi kiriku, “kau!” kemudian ia menunjuk Jung Soon-ho, “jaga Nuna-mu baik-baik!” perintahnya. Sementara adikku membentuk huruf O dengan jarinya, aku hanya tersenyum.
Tak berapa lama Ahjumma membawa semangkuk bibimbab di atas nampan. Jung Soon-ho tak sabar ingin segera menyantapnya.
“Soon-ae, sebentar ya, pesananmu akan diantar oleh partnerku. Entahlah sejak beberapa bulan lalu, semua pengunjung yang datang mengatakan kimchi buatannya lebih lezat daripada buatanku. Kau juga harus mencobanya karena kau adalah pengunjung teristimewa.”
“Partner?” Aku dan adikku bertanya bersamaan. Kami saling memandang. Setahuku sejak dulu Ahjumma berjualan seorang diri. Sementara kami penuh tanya, ia sudah berlalu untuk melayani pengunjung lain yang datang.
Adikku sibuk menikmati makananannya. Aku hanya memandanginya sambil bertopang dagu. Rasanya lega melihat Jung Soon-ho makan selahap itu. Selang beberapa menit seorang chef laki-laki menghidangkan kimchi pesananku di atas meja. Aku mencium aroma lain selain lezatnya kimchi di hadapanku. Aroma maskulin ketika sang chef meletakkan mangkuk kimchi itu. Detak jantungku berubah semakin cepat.
Aroma ini… Aku mengingat jelas wangi parfum ini milik Lee Yun-bi. Mengucap nama itu dalam hatiku, rasanya seakan mau meledak. Seketika waktu serasa melambat. Aku masih menunduk, tidak berani menengadah. Memang mungkin banyak orang yang memakai parfum yang sama dengan lelaki itu. Aku mengambil napas dalam-dalam. Kupegangi erat salah satu sudut meja untuk menguatkan diri. Kulirik Jung Soon-ho, ia tidak menyadari apa yang sedang kurasakan. Perlahan-lahan aku mencoba menantang diriku untuk melihat pada wajah chef itu.
Aku terlonjak. Kursi yang tadi kududuki bergeser ke belakang. Jung Soon-ho sama terkejutnya denganku. Ia menjatuhkan sumpitnya kemudian ikut berdiri, wajahnya dipenuhi kemarahan.
“Kau…?”
Tanpa basa-basi Jung Soon-ho menghajar wajah Lee Yun-bi beberapa kali. Aku menutup mulutku dan menepi. Orang-orang memandang ke arah keributan itu. Ahjumma keluar dari dapur dengan wajah khawatir.
“Cukup!” aku berteriak, tak tahan lagi melihat saudara lelaki yang kusayangi menghajar lelaki yang dulu menyanyangiku dengan segenap jiwanya. Ya, mungkin.
Semua mata memandang ke arahku. Aku lekas berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu. Terik matahari menyengat punggungku ketika aku berlari, namun aku tidak peduli.
***
                Ruang galeriku di apartemen ini menjadi satu-satunya tempatku untuk mencurahkan segala sakit yang kurasakan. Semua kenangan seakan terputar di benakku ketika mataku bertatapan kembali dengan mata teduh lelaki itu setelah sekian tahun. Jung Soon-ho tak berani mengusikku. Ia hanya dua kali mengetuk pelan pintu galeri, memohon untuk masuk tapi aku melarang.          
                Lee Yun-bi, lelaki mendekati sempurna bak malaikat yang kutemui lima tahun silam, yang kemudian memintaku menikah setelah dua tahun bersama. Ia selalu membuatku percaya diri dengan segala cara. Karenanya juga aku berani mewujudkan cita-citaku sebagai seorang fashion designer. Ia mempunyai impian menjadi chef terbaik di dunia. Aku tak pernah melarang hal itu hingga kemudian impian itu yang menghancurkan impianku sendiri untuk menikah di usia dua puluh tiga tahun dengan gaun yang kubuat sendiri. Ia meninggalkanku dan pergi ke Sidney begitu saja demi ambisinya menjadi seorang chef. Ibunya yang juga seorang chef terkenal di Korea yang memang tidak merestui hubungan kami, mengatur kepindahan Lee Yun-bi dari sisiku. Ia mengatakan bahwa ada seorang gadis yang lebih pantas untuknya. Sebenarnya aku tahu pasti bukan itu alasan Lee Yun-bi membatalkan pernikahan begitu mendadak, meski aku tak tahu apa tepatnya alasan itu.
Awalnya Lee Yun-bi mengatakan ia tidak bisa menikah karena takut tidak bisa membahagiakanku padahal ia sendiri tahu bahwa aku bahagia hanya karena berada di sampingnya. Ia tahu bagaimana aku mencintainya dengan sangat. Baru beberapa bulan setelah ia pergi, ia memberikan penjelasan tentang semua itu, tentang Ibunya, tentang sekolah chef-nya, tapi saat itu aku sudah tidak bisa menerima penghianatannya. Saat itu bagiku, kebohongan itu sudah membuat segalanya tidak berguna.
                Kubuka lemari pakaian di sudut ruangan. Di dalam lemari itu tergantung wedding dress putih yang kubuat sendiri tiga tahun lalu. Tuxedo pasangan gaun itu sudah tidak ada di sana. Aku memberikan pada Lee Yun-bi sehari sebelum pernikahan kami. Kubelai lembut gaun berbahan organdi dan satin itu. Aku memakainya kemudian melihat bayangan diriku di cermin besar. Gaun itu masih pas dengan tubuhku sekarang. Tidak ada yang berubah dengan ini kecuali rencana pernikahan dan kebohongan Lee Yun-bi. Aku terduduk lemas. Air mataku membuat motif baru pada gaun indah itu.
                Sesuatu yang baru saja kusadari ini membuatku semakin sakit. Ternyata aku masih mencintainya. Aku masih mengharapkannya. Pertemuan di kedai itu yang membuat aku sadar. Tatapan teduh matanya masih sama seperti ketika dulu setiap kali ia menatapku. Keindahan itu masih tetap membuat jantungku berdebar. Aku tak tahu apakah seperti ini bodoh namanya. Hatiku memaksa untuk kembali memeluknya. Kemudian keraguan menelusup ke dalam benakku. Mungkinkah dia juga ingin kembali padaku…
***
                Tok! tok! Pintu ruang galeri diketuk pelan.
“Jangan masuk Soon-ho! Aku mohon jangan masuk!” pintaku di sela isakan tangis.
Setelah itu tidak terdengar apa-apa lagi, mungkin ia mengerti keadaanku. Namun yang terdengar kemudian justru langkah kaki yang semakin mendekat padaku. Langkah itu bukan milik Soon-ho.
Langkah itu… langkah yang tenang dan ringan…
Aku menutupi wajahku dengan punggung tangan. Jantungku berdetak sudah tak beraturan. Ia datang. Aku tidak pernah salah mengenali langkahnya. Aku selalu hafal ketika ia melangkah seperti itu kemudian memelukku dari belakang ketika aku sibuk bergelut dengan pensil dan sketchbook di masa lalu. Aku tidak mempercayai semua ini. Rasanya diriku seperti berada di antara kenyataan dan mimpi.
“Lee Yun-bi?”
“Jung Soon-ae…”
Air mataku semakin deras mendengar suara itu. Setiap bagian dari hatiku terus meyakinkanku bahwa cinta itu masih sama. Cintaku pada Yun-bi yang begitu besar masih sama, tidak pernah berkurang. Bahkan apa yang kurasakan kini mengalahkan semua rasa sakitku. Aku merasa menang. Aku merasa terlepas dari sesuatu yang menjeratku. Sesuatu itu bernama penyesalan.
Lee Yun-bi berjongkok di hadapanku yang kini duduk bersimpuh di lantai. Aku kini menatapnya, tanganku meraba wajahnya yang bening. Tangannya yang hangat meraih tanganku, mengenggamnya dengan erat di dadanya. Aku kemudian terhenyak dengan apa yang kulihat di jari manis kanannya. Sebuah cincin pasangan laki-laki. Kusentakkan kedua tangan itu hingga terlepas dari tanganku. Aku menyingkir.
“Jung Soon-ae, dengarkanlah semua ceritaku. Aku mohon sekali ini buka hatimu untuk mendengarnya.”
“Kau laki-laki pengecut!”
“Aku tahu, aku memang bodoh karena melepasmu begitu saja. Aku terlalu menuruti keinginan Ibu. Selain itu aku begitu dibutakan dengan kesempatan. Padahal bagiku kaulah yang terpenting untuk aku bisa terus bernapas, Soon-ae…Seharusnya sejak dulu aku tak peduli apakah mimpiku tercapai atau tidak. Kau yang telah menggantikan mimpiku. Kau dengan segala sikapmu…”
Aku hanya diam tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirku.
“Kau boleh marah padaku. Kau boleh memaki-maki aku, menamparku. Aku sangat bersalah padamu. Aku sangat bersalah pada rencana pernikahan kita.”
Aku memekik tertahan mendengar bagian itu. Pernikahan, sebuah kata magis yang mampu menyihirku menjadi semakin terpuruk.
“Aku kini bebas memilih keinginanku, Soon-ae… Aku sudah terlepas dari tanggung jawabku kepada Ibu. Aku punya takdirku sendiri. Kau.”
Aku tak mengerti dengan begitu banyak penjelasan yang diberikan Yun-bi sementara aku hanya menatap lekat-lekat cincin yang melingkar di jari manisnya.
“Lalu apa yang bisa kau jelaskan mengenai itu!” Aku menunjuk cicin yang sejak tadi menjadi perhatianku.
Lee Yun-bi menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya, kebiasaan yang ia lakukan ketika merasa gugup. Aku terus menanti-nanti jawabannya. Ia merogoh saku kemejanya dan di depan mataku sebuah cincin berkilauan muncul dari tangannya. Cincin itu sama dengan yang ia kenakan namun dalam ukuran lebih kecil. Keterkejutanku semakin bertambah. Ia meraih kembali tangan kiriku. Disematkannya cincin itu di jari manisku.
“Kembali padaku Jung Soon-ae-ku yang manis. Aku ingin mengikatmu di sisiku selamanya…”
Ia sanggup memelukku hanya dengan kata-kata yang baru saja meluncur dari bibirnya. Aku tak berusaha memberontak, tak berusaha melepaskan cicin itu. Aku hanya bisa menangis dengan perasaanku yang tak karuan. Bodohnya aku yang mau menerimanya kembali setelah semua rasa sakit itu, tapi aku tidak peduli. Satu yang aku yakini hingga saat ini, cinta tak pernah gagal, cinta tak pernah menyerah, ia akan menemukan jalan untuk kembali pada tempatnya, mempersatukan sepasang hati yang memang sudah seharusnya bersama.
***
(Dalam Antologi Love Never Fails #3 Perorangan, nulisbuku.com, 2013 dengan perubahan).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah