Aku baru saja
tiba di bandara Incheon. Sudah pukul tujuh malam di Korea. Tubuhku terasa
sangat lelah setelah menempuh perjalanan menyeberangi dua benua. Untunglah
Incheon yang bersih dan nyaman tidak menambah penatku, meskipun troli yang
kudorong serasa begitu berat. Aku hanya berjalan pelan sambil mencari tulisan
namaku di antara barisan penjemput. Hawa kantuk masih mendekap ragaku.
“Jung
Soon-ae!” Seseorang memanggilku.
Aku
menoleh ke arah suara itu. Sekira lima meter di depanku seorang lelaki bertubuh
tegap yang tampan dan keren membuka kedua tangannya seolah akan memeluk.
Wajahku langsung berubah bersemangat, hilang sudah lelah dan kantuk yang sedari
tadi melanda. Aku melepaskan troliku kemudian berlari dan mendarat di pelukan
lelaki itu. Kurasakan hangatnya pelukan orang yang paling kurindukan di Korea
ini. Demi dia aku rela terbang jauh dari Paris hanya untuk menuruti
permintaannya.
“Sudah
lama menunggu?” aku bertanya sambil masih dalam pelukannya.
“Seharian
pun akan kukatakan tidak lama jika untuk menunggumu, Nuna,” jawabnya sambil memperlihatkan cengiran khas yang membuat
siapa saja terpikat.
“Aku
lelah sekali, harus tidur di mana aku malam ini?” tanyaku sembari melepaskan
diri dari pelukannya. Dongsaeng-ku
sudah menjadi seorang lelaki sekarang. Tingginya melebihi aku yang tengah
memakai boots. Aku berani bertaruh
pasti banyak perempuan Korea menyukainya.
“Kau
bercanda, Nuna. Tentu kau akan pulang
ke apartemenmu.”
“Oh,
masih kau rawat tempat itu, Jung Soon-ho? Kukira kau menyewakannya seperti
saranku. Selama ini bukankah kau tinggal di dorm?”
aku bertanya pada adik lelakiku satu-satunya. Kupandangi wajahnya yang segar
dan manis. Garis wajahnya kini tegas dan terkesan dewasa.
“Aku
sudah kembali dari sana sejak sebulan yang lalu, setelah sidang skripsi
tepatnya. Aku bosan berada di dorm
dengan gadis-gadis genitnya. Hahaha!”
“Sebegitu
dipujakah kau di college?”
“Kau
tak lihat dongsaeng-mu ini setampan
apa?” ia berkata sambil pura-pura merapikan rambutnya.
Aku
menertawainya dan mengatakan, “Hey, Jung Soon-ho, bagiku kau tetap saja bocah
lelaki manja dan cengeng. Haha!” Aku teringat bagaimana seorang Soon-ho remaja
terlalu sering menangis karena perempuan.
“I’m not a boy anymore, Nuna. I’m a man you
know?!”
“Ok! Ok! Terserah kau sajalah. Aku lelah,
ingin cepat sampai di rumah dan memakan kimchi
buatan Ahjumma. Bawakan troliku ya dongsaeng-ku tersayang!”
“Sekarang
kau tahu siapa yang manja dan merepotkan, Nuna?”
dia mengolok-olokku.
“Hmm,
baiklah akan kubawa kembali barang-barangku ke Paris,” ucapku sambil
berpura-pura merajuk, melipat kedua tangan di dada. Jung Soon-ho hanya
tertawa-tawa sambil menghampiri troli dan menggandengku ke lobi bandara.
***
Mazda
hijau metalik yang kunaiki bersama Jung Soon-ho membelah jalanan kota Seoul
dengan kecepatan sedang. Aku menikmati wangi kota ini dengan membuka sedikit
kaca mobil. Sudah tiga tahun lebih aku tidak pulang. Udara malam Seoul masih
tetap sama kurasakan. Kulirik Jung Soon-ho mengemudi dengan tenang di
sampingku. Syukurlah ia bisa tumbuh dengan baik sampai detik ini, meski tanpa
orang tua. Hanya akulah orang tua baginya. Aku menepuk-nepuk pundak dongsaeng-ku dengan sayang.
“Istirahatlah,
Nuna. Aku akan menyetir pelan-pelan,”
saran Jung Soon-ho.
Aku
sedikit merebahkan sandaran jok, masih sambil menikmati gemerlap kota Seoul
yang tidak kalah dengan Paris. “Kau mengemudi saja sesukamu. Selama di Paris
aku sudah terbiasa untuk tidak mengemudi lambat. Haha!”
“Sebegitukah
Paris mengubahmu, Nuna? Paris juga
membuatmu semakin cantik,” puji Jung Soon-ho.
“Jadi
selama kutinggal kau hanya belajar banyak-banyak cara merayu perempuan, ya?”
tanyaku sambil memejamkan mata sejenak.
“Hahaha…
ampun Nuna!” Jung Soon-ho terdiam
sejenak lalu melanjutkan, “Kau bahagia di sana, Nuna? Kau tidak apa-apa kembali ke Seoul?” ada keraguan dalam tanya
adikku.
Aku
menghela napas. Mataku mengerjap beberapa kali. Kutatap ia. Pancaran mata Jung
Soon-ho menuntutku untuk menjawab. Ia memang lebih mengenal diriku lebih dari
siapa pun di dunia ini. Ia pun tahu aku pergi ke Paris bukan hanya karena
beasiswa kuliah fashion design yang
kudapatkan. Ia tahu aku kabur ke Paris membawa hati yang pecah berjuta serpih.
Meski aku mengatakan bahwa aku bahagia, tapi Jung Soon-ho tahu benar ada sesak
dalam dadaku ketika kembali ke tempat ini. Ratusan waktu indah yang pernah
kulewati dulu, kini berubah menjadi kenangan yang sebisa mungkin ingin
kulupakan.
“Sorry, Nuna…” Jung Soon-ho menggenggam tanganku dengan satu tangannya. Ia
menyesal menanyakan itu semua. Ia tahu stoples kenangan yang kututup
rapat-rapat itu telah dibukanya dengan paksa.
“Aku
tak apa-apa…” Sebutir bening itu jatuh di atas pangkuan.
***
Aku
menyambangi galeri kecilku di salah satu sudut lantai tujuh belas apartemen
yang kutinggali bersama dongsaeng-ku.
Meski sakit harus menghadapi sebagian kecil kenangan yang terekam pula di
galeriku ini, tapi aku masih menyimpan kecintaanku pada tempat ini. Bagaimana
pun di sini aku menemukan passion-ku
untuk pertama kalinya. Sampai akhirnya aku memilih Paris sebagai tujuanku
sekaligus pelarianku.
Masih
dua minggu sebelum acara wisuda Jung Soon-ho. Aku berniat membuatkannya setelan
jas agar lengkap kebahagiaannya di hari penting itu. Kuikat rambutku dengan
kain perca sekenanya. Aku mulai membuat sketsa. Kemampuan desainku sudah tidak
diragukan lagi. Tidak seperti aku yang tiga tahun lalu masih merasa minder dan
tidak mampu. Kini satu sketsaku selesai hanya dalam hitungan menit. Itu semua
karena rasanya cintaku pada pekerjaan ini.
Aku jadi ingin melihat kembali apa yang
kukerjakan tiga tahun lalu di sini, hanya sekedar ingin mengukur kemajuanku.
Aku ingin tahu seberapa banyak yang kupelajari di Paris. Kulangkahkan kakiku
menuju lemari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya ada beberapa buku tebal
tersusun rapi. Kuambil sebuah sketchbook biru
muda dari tumpukan itu. Sketchbook
pertamaku. Kubuka lembar demi lembarnya sampai halaman terakhir.
Tubuhku
terjatuh lemas. Jantungku berdetak lebih intens. Ada rasa sakit yang tiba-tiba
mencengkeramku dari segala penjuru. Sketchbook
itu terlempar dengan halaman terbuka. Dua lembar foto menyerak ke lantai.
Kututupi pandanganku dari foto itu seolah melihat hantu yang menyeramkan. Aku
berteriak histeris sampai Jung Soon-ho datang membuka paksa pintu galeri. Ia
mendapatiku hancur di lantai marmer yang dingin.
Jung
Soon-ho menyelipkan foto sepasang kekasih yang sedang mencoba gaun pengantin
dan tuxedo itu kemudian menutup kembali halaman sketchbook dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia segera membopongku
ke tempat tidur. Aku tidak meronta, telah habis kekuatanku dalam sesaat. Jung
Soon-ho memberikan pil-ku dan segelas air mineral. Perlahan-lahan aku menjadi
lebih rileks setelah meminumnya. Aku memunggungi Jung Soon-ho dan menarik
selimut sampai menutupi wajah.
***
Aku
sudah lebih segar sekarang. Kuhirup dalam-dalam udara taman yang berbau wangi
bunga-bunga. Sudah awal musim semi rupanya. Jung Soon-ho mengajakku
berjalan-jalan ke taman di depan apartemen.Tanganku tetap bergelayut pada
lengan dongsaeng-ku sementara kami
berjalan perlahan. Rasa takut sebenarnya tersebar di mana-mana, di seluruh
penjuru kota Seoul, seperti kenangan menyedihkanku dengan seseorang yang
menurut Jung Soon-ho adalah penyebab aku menjadi seperti ini. Bahkan jika aku
berusaha sekeras apapun untuk bersembunyi, sepertinya tidak ada tempat untuk
itu di negeri ini.
“Nuna, lebih baik kau kembali ke Paris
jika di sini hanya membuatmu kembali terpuruk. Aku tak mau melihat kau sakit
lagi,” ujar Jung Soon-ho tulus.
“Aku
ingin sekali menemani wisudamu. Aku berjanji akan berusaha tegar mulai saat
ini,” sahutku. Meski aku sendiri tak yakin dengan apa yang kuucapkan. Mungkin
aku bisa sedikit demi sedikit move-on
asalkan tidak menemukan orang itu lagi. Entah ini harapan dari hatiku atau
hanya pikiranku saja. Perasaan itu seperti ada bagian diriku yang berusaha
menguburnya dalam-dalam.
“Yah,
baiklah kalau kau tetap berkeras. Yang harus kau tahu, aku akan selalu
menguatkanmu, Nuna.”
“Aku
ingin makan kimchi buatan Ahjumma,” pintaku pada Jung Soon-ho,
sekaligus mengalihkan pembicaraan tidak menyenangkan itu. Yang kumaksud Ahjumma adalah bibi pemilik kedai enak
di ujung jalan kecil dekat dengan apartemen kami. Aku dan dongsaeng-ku sering makan di sana dan tidak pernah bosan dengan
kelezatannya. Menu yang paling kusuka adalah kimchi. Jung Soon-ho menggandengku ke tempat itu, meski tempat itu
juga punya kenangan menyedihkan yang sama.
Kami
berjalan menuju sisi selatan apartemen tempat kedai itu berada. Jung Soon-ho
sudah sibuk melambaikan tangan ketika Ahjumma
melihat kami dari kejauhan. Ia begitu bersemangat dengan senyum yang
mengembang. Kuhampiri Ahjumma dan
memeluknya seperti kawan lama.
“Aigoo! Soon-ae, sudah lama sekali kau
tak berkunjung ke mari! Kau begitu lama dinanti-nantikan! Semakin dewasa kau
semakin cantik, orangtuamu di surga pasti bangga denganmu.” Ada sedikit
kejanggalan dalam ucapan Ahjumma.
“Ah!” Ia melanjutkan, “kau mau makan?” tanya Ahjumma sambil memegangi kedua pipiku.
“Iya,
tolong buatkan kimchi terlezat
untukku, Ahjumma.”
“Aku
bibimbab!” pesan Jung Soon-ho.
“Baiklah-baiklah.
Masuklah dan duduk. Pilih tempat yang paling nyaman. Aku akan segera
membawakannya untukmu,” ia mencubit pelan pipi kiriku, “kau!” kemudian ia
menunjuk Jung Soon-ho, “jaga Nuna-mu
baik-baik!” perintahnya. Sementara adikku membentuk huruf O dengan jarinya, aku
hanya tersenyum.
Tak
berapa lama Ahjumma membawa semangkuk
bibimbab di atas nampan. Jung Soon-ho
tak sabar ingin segera menyantapnya.
“Soon-ae,
sebentar ya, pesananmu akan diantar oleh partnerku. Entahlah sejak beberapa
bulan lalu, semua pengunjung yang datang mengatakan kimchi buatannya lebih
lezat daripada buatanku. Kau juga harus mencobanya karena kau adalah pengunjung
teristimewa.”
“Partner?”
Aku dan adikku bertanya bersamaan. Kami saling memandang. Setahuku sejak dulu Ahjumma berjualan seorang diri.
Sementara kami penuh tanya, ia sudah berlalu untuk melayani pengunjung lain
yang datang.
Adikku
sibuk menikmati makananannya. Aku hanya memandanginya sambil bertopang dagu.
Rasanya lega melihat Jung Soon-ho makan selahap itu. Selang beberapa menit
seorang chef laki-laki menghidangkan kimchi pesananku di atas meja. Aku
mencium aroma lain selain lezatnya kimchi
di hadapanku. Aroma maskulin ketika sang chef
meletakkan mangkuk kimchi itu. Detak
jantungku berubah semakin cepat.
Aroma ini…
Aku mengingat jelas wangi parfum ini milik Lee Yun-bi. Mengucap nama itu dalam
hatiku, rasanya seakan mau meledak. Seketika waktu serasa melambat. Aku masih
menunduk, tidak berani menengadah. Memang mungkin banyak orang yang memakai
parfum yang sama dengan lelaki itu. Aku mengambil napas dalam-dalam. Kupegangi
erat salah satu sudut meja untuk menguatkan diri. Kulirik Jung Soon-ho, ia
tidak menyadari apa yang sedang kurasakan. Perlahan-lahan aku mencoba menantang
diriku untuk melihat pada wajah chef
itu.
Aku
terlonjak. Kursi yang tadi kududuki bergeser ke belakang. Jung Soon-ho sama
terkejutnya denganku. Ia menjatuhkan sumpitnya kemudian ikut berdiri, wajahnya
dipenuhi kemarahan.
“Kau…?”
Tanpa
basa-basi Jung Soon-ho menghajar wajah Lee Yun-bi beberapa kali. Aku menutup
mulutku dan menepi. Orang-orang memandang ke arah keributan itu. Ahjumma keluar dari dapur dengan wajah
khawatir.
“Cukup!”
aku berteriak, tak tahan lagi melihat saudara lelaki yang kusayangi menghajar
lelaki yang dulu menyanyangiku dengan
segenap jiwanya. Ya, mungkin.
Semua
mata memandang ke arahku. Aku lekas berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat
itu. Terik matahari menyengat punggungku ketika aku berlari, namun aku tidak
peduli.
***
Ruang galeriku di apartemen ini
menjadi satu-satunya tempatku untuk mencurahkan segala sakit yang kurasakan.
Semua kenangan seakan terputar di benakku ketika mataku bertatapan kembali
dengan mata teduh lelaki itu setelah sekian tahun. Jung Soon-ho tak berani
mengusikku. Ia hanya dua kali mengetuk pelan pintu galeri, memohon untuk masuk
tapi aku melarang.
Lee Yun-bi, lelaki mendekati
sempurna bak malaikat yang kutemui lima tahun silam, yang kemudian memintaku
menikah setelah dua tahun bersama. Ia selalu membuatku percaya diri dengan
segala cara. Karenanya juga aku berani mewujudkan cita-citaku sebagai seorang fashion designer. Ia mempunyai impian
menjadi chef terbaik di dunia. Aku
tak pernah melarang hal itu hingga kemudian impian itu yang menghancurkan
impianku sendiri untuk menikah di usia dua puluh tiga tahun dengan gaun yang
kubuat sendiri. Ia meninggalkanku dan pergi ke Sidney begitu saja demi
ambisinya menjadi seorang chef.
Ibunya yang juga seorang chef
terkenal di Korea yang memang tidak merestui hubungan kami, mengatur kepindahan
Lee Yun-bi dari sisiku. Ia mengatakan bahwa ada seorang gadis yang lebih pantas
untuknya. Sebenarnya aku tahu pasti bukan itu alasan Lee Yun-bi membatalkan
pernikahan begitu mendadak, meski aku tak tahu apa tepatnya alasan itu.
Awalnya
Lee Yun-bi mengatakan ia tidak bisa menikah karena takut tidak bisa
membahagiakanku padahal ia sendiri tahu bahwa aku bahagia hanya karena berada
di sampingnya. Ia tahu bagaimana aku mencintainya dengan sangat. Baru beberapa
bulan setelah ia pergi, ia memberikan penjelasan tentang semua itu, tentang
Ibunya, tentang sekolah chef-nya,
tapi saat itu aku sudah tidak bisa menerima penghianatannya. Saat itu bagiku,
kebohongan itu sudah membuat segalanya tidak berguna.
Kubuka lemari pakaian di sudut
ruangan. Di dalam lemari itu tergantung wedding
dress putih yang kubuat sendiri tiga tahun lalu. Tuxedo pasangan gaun itu
sudah tidak ada di sana. Aku memberikan pada Lee Yun-bi sehari sebelum
pernikahan kami. Kubelai lembut gaun berbahan organdi dan satin itu. Aku
memakainya kemudian melihat bayangan diriku di cermin besar. Gaun itu masih pas
dengan tubuhku sekarang. Tidak ada yang berubah dengan ini kecuali rencana
pernikahan dan kebohongan Lee Yun-bi. Aku terduduk lemas. Air mataku membuat
motif baru pada gaun indah itu.
Sesuatu yang baru saja kusadari
ini membuatku semakin sakit. Ternyata aku masih mencintainya. Aku masih
mengharapkannya. Pertemuan di kedai itu yang membuat aku sadar. Tatapan teduh
matanya masih sama seperti ketika dulu setiap kali ia menatapku. Keindahan itu
masih tetap membuat jantungku berdebar. Aku tak tahu apakah seperti ini bodoh
namanya. Hatiku memaksa untuk kembali memeluknya. Kemudian keraguan menelusup
ke dalam benakku. Mungkinkah dia juga
ingin kembali padaku…
***
Tok! tok! Pintu ruang galeri diketuk pelan.
“Jangan
masuk Soon-ho! Aku mohon jangan masuk!” pintaku di sela isakan tangis.
Setelah
itu tidak terdengar apa-apa lagi, mungkin ia mengerti keadaanku. Namun yang
terdengar kemudian justru langkah kaki yang semakin mendekat padaku. Langkah
itu bukan milik Soon-ho.
Langkah itu… langkah yang tenang dan ringan…
Aku
menutupi wajahku dengan punggung tangan. Jantungku berdetak sudah tak
beraturan. Ia datang. Aku tidak pernah salah mengenali langkahnya. Aku selalu
hafal ketika ia melangkah seperti itu kemudian memelukku dari belakang ketika
aku sibuk bergelut dengan pensil dan sketchbook
di masa lalu. Aku tidak mempercayai semua ini. Rasanya diriku seperti berada di
antara kenyataan dan mimpi.
“Lee
Yun-bi?”
“Jung
Soon-ae…”
Air
mataku semakin deras mendengar suara itu. Setiap bagian dari hatiku terus
meyakinkanku bahwa cinta itu masih sama. Cintaku pada Yun-bi yang begitu besar
masih sama, tidak pernah berkurang. Bahkan apa yang kurasakan kini mengalahkan
semua rasa sakitku. Aku merasa menang. Aku merasa terlepas dari sesuatu yang
menjeratku. Sesuatu itu bernama penyesalan.
Lee
Yun-bi berjongkok di hadapanku yang kini duduk bersimpuh di lantai. Aku kini
menatapnya, tanganku meraba wajahnya yang bening. Tangannya yang hangat meraih
tanganku, mengenggamnya dengan erat di dadanya. Aku kemudian terhenyak dengan
apa yang kulihat di jari manis kanannya. Sebuah cincin pasangan laki-laki.
Kusentakkan kedua tangan itu hingga terlepas dari tanganku. Aku menyingkir.
“Jung
Soon-ae, dengarkanlah semua ceritaku. Aku mohon sekali ini buka hatimu untuk
mendengarnya.”
“Kau
laki-laki pengecut!”
“Aku
tahu, aku memang bodoh karena melepasmu begitu saja. Aku terlalu menuruti
keinginan Ibu. Selain itu aku begitu dibutakan dengan kesempatan. Padahal bagiku
kaulah yang terpenting untuk aku bisa terus bernapas, Soon-ae…Seharusnya sejak
dulu aku tak peduli apakah mimpiku tercapai atau tidak. Kau yang telah
menggantikan mimpiku. Kau dengan segala sikapmu…”
Aku
hanya diam tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirku.
“Kau
boleh marah padaku. Kau boleh memaki-maki aku, menamparku. Aku sangat bersalah
padamu. Aku sangat bersalah pada rencana pernikahan kita.”
Aku
memekik tertahan mendengar bagian itu. Pernikahan, sebuah kata magis yang mampu
menyihirku menjadi semakin terpuruk.
“Aku
kini bebas memilih keinginanku, Soon-ae… Aku sudah terlepas dari tanggung
jawabku kepada Ibu. Aku punya takdirku sendiri. Kau.”
Aku
tak mengerti dengan begitu banyak penjelasan yang diberikan Yun-bi sementara
aku hanya menatap lekat-lekat cincin yang melingkar di jari manisnya.
“Lalu
apa yang bisa kau jelaskan mengenai itu!” Aku menunjuk cicin yang sejak tadi
menjadi perhatianku.
Lee
Yun-bi menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya, kebiasaan yang ia lakukan
ketika merasa gugup. Aku terus menanti-nanti jawabannya. Ia merogoh saku
kemejanya dan di depan mataku sebuah cincin berkilauan muncul dari tangannya.
Cincin itu sama dengan yang ia kenakan namun dalam ukuran lebih kecil.
Keterkejutanku semakin bertambah. Ia meraih kembali tangan kiriku.
Disematkannya cincin itu di jari manisku.
“Kembali
padaku Jung Soon-ae-ku yang manis. Aku ingin mengikatmu di sisiku selamanya…”
Ia
sanggup memelukku hanya dengan kata-kata yang baru saja meluncur dari bibirnya.
Aku tak berusaha memberontak, tak berusaha melepaskan cicin itu. Aku hanya bisa
menangis dengan perasaanku yang tak karuan. Bodohnya aku yang mau menerimanya
kembali setelah semua rasa sakit itu, tapi aku tidak peduli. Satu yang aku
yakini hingga saat ini, cinta tak pernah gagal, cinta tak pernah menyerah, ia
akan menemukan jalan untuk kembali pada tempatnya, mempersatukan sepasang hati
yang memang sudah seharusnya bersama.
***
(Dalam Antologi
Love Never Fails #3 Perorangan, nulisbuku.com, 2013 dengan perubahan).
Komentar
Posting Komentar