Langsung ke konten utama

Find You

Kalau kau mau tahu tentang sebuah kesejatian yang saat ini telah hampir dilupakan, itu ada padaku. Aku lelaki sejati. Lelaki yang selalu menepati janji, menjaga ucapannya. Aku lelaki yang akan mencarimu jika kau menghilang. Aku lelaki yang rela menukar kebebasanku dengan keberadaanmu. Klise? Sama sekali tidak. Nyatanya aku sekarang sedang dalam pencarian. Mencarimu, untuk mengajakmu pulang.
            Kalau ada orang yang disebut paling bodoh di dunia adalah orang yang sedang jatuh pada cinta. Dan aku jatuh padamu sudah sejak lama. Sejak kau yang waktu itu kusebut gadis bodoh karena berjalan dengan tenangnya di tengah hujan deras. Kau yang menolak ketika kusodori payung sedangkan aku rela berbasah-basah. Juga kau yang tiba-tiba menatapku dengan pandangan penuh rasa sakit dan serta-merta memeluk diriku tanpa ampun dengan tubuh basah kuyupmu yang menggigil.
            Apa kau masih ingat kala itu?
            Aku tengah mengutuki hujan yang mengguyur tiba-tiba ketika aku sedang dalam perjalanan pulang. Sungguh tidak lucu langit menghadiahiku hujan sementara aku baru saja dipecat. Buru-buru aku membuka payung lipat hitam yang selalu kuselipkan di ranselku. Sesungguhnya aku paling benci menggunakan payung. Itu membuatku sama sekali tidak keren. Tapi karena aku hidup sendiri, lebih baik aku tidak terkena flu atau bahkan sakit yang lebih parah.
            Kulihat beberapa langkah di hadapanku, seorang gadis bergaun jingga selutut menengadah. Tangannya terbuka ke arah langit. Sepertinya ia begitu menyukuri hujan. Aku menggelengkan kepala. Segera kuhampiri gadis itu. Kuberikan payungku. Dan ia menolak dengan gelengan kepala serta tatapan yang bahkan aku bisa menyesap rasa tersiksa itu. Ya, gadis itu adalah kau. Seorang gadis aneh yang kemudian kukenal sebagai Saura. Sauraku.
            Kau menghambur ke arahku. Sungguh itu adalah pelukan yang teramat asing. Kau seolah mau mentransfer rasa apa pun yang sialan itu padaku. Pada orang asing ini, yang baru saja kau temui di tengah jalan saat hujan memukuli tubuh kita hingga letih.
            Payung di tanganku lepas dari genggaman. Benda malang itu terbawa angin beberapa meter jauhnya. Rusak parah. Dan aku tidak mau repot-repot memungutnya kembali. Kini perhatianku sepenuhnya tertuju pada si gadis asing di pelukanku. Yang aku sama sekali ragu untuk sekadar menyentuh punggungnya. Aku hanya menunggu sampai ia bosan. Sampai ia sadar.
            Awalnya ia bersenandung, tapi kemudian tubuhnya terguncang. Ia menangis? Aku berpikir keras harus melakukan apa. Kemudian aku memutuskan untuk membuka percakapan.
            “Hey-hey…” kutepuk pelan bahu belakangnya. “Kau, kenapa?”
            Lama sekali gadis itu baru menjawab seraya melepas pelukan. “Aku… aku Saura. Tolong izinkan aku seperti ini sebentar lagi.” Ia kembali menatapku dengan pandangan penuh rasa sakit yang sama. Dipeluknya sekali lagi tubuhku yang telah sempurna kuyup. Dan lagi-lagi aku membiarkan. Cukup lama. Sampai kilatan cahaya membelah langit dan satu kali suara guntur menggelegar.
            “Apa tidak bisa kita berteduh dulu?” tawarku. Sekarang aku mengutuki fobiaku terhadap bunyi mengerikan itu dalam hati.
            “Kalau kita berteduh orang-orang akan tahu bahwa aku sedang menangis. Aku tidak mau terlihat tolol.”
            “Tapi kau menangis di hadapanku. Di…”
            “Please..!”
            Aku bungkam. Baru kemudian melanjutkan. “Baiklah. Menangislah sampai puas.” Memangnya aku punya pilihan?
            Gadis itu mendongak, menatapku lagi. Matanya menjadi merah. Sungguh memilukan! Apa dia tidak sadar bahwa aku ini lelaki normal? Dan sebagai lelaki normal, aku akan sangat lemah menghadapi tangis perempuan. Saura mengurai pelukannya. Belasan menit kemudian. Ketika hujan bahkan sudah berubah menjadi rintik. Ia berusaha mengukir senyum. Aku tahu itu sebuah senyum yang getir. Seharusnya tidak ada satu gadis pun yang harus memaksakan sebuah senyuman kepadaku.
            “Terima kasih. Kau baik sekali.” Gadis itu melangkah pergi. Meninggalkanku yang terpaku di atas aspal yang masih tergenang air. Gadis itu kau, Saura.
***
            Aku sedang cukup sibuk untuk ukuran seorang pengangguran. Duduk di taman. Di atas bangku berwarna putih dengan ujung-ujungnya yang melingkar-lingkar. Menyilangkan kaki. Membuka koran dengan spidol di tangan. Tutup spidol itu sedang kugigit. Bukankah aku bersikap layaknya pengangguran yang beradab? Haha!
            Langit cerah. Udara kota yang kotor terasa lebih jernih karena aku menghirupnya di sebuah taman. Perhatianku tertuju pada halaman koran yang memuat sebuah iklan sabun mandi. Seorang gadis bergaun jingga. Aku langsung teringat padanya, pada Saura.
            Sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi melihat sosoknya. Hanya sekali itu kami bertemu. Mungkin itu hanya persimpangan. Mungkin semesta hanya sedang berlatih cara mempertemukan dua anak manusia. Segala kemungkinan akan menjadi mungkin terjadi, kan?
            Perut tidak tahu diriku berbunyi. Ini baru pukul delapan dan aku sudah seperti kucing kelaparan. Kuedarkan pandangan ke segala penjuru. Di seberang jalan, mataku menangkap gambar sepotong paha ayam. Aku bergegas ke sana.
            Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di salah satu meja. Sepotong ayam goreng lengkap dengan nasi dan Pepsi Blue terhidang di hadapanku. Aku adalah pengangguran yang beruntung karena ada cukup uang di rekeningku. Kunikmati sarapan itu sendirian.
            “Hai…” Seseorang menyapa. Ia kemudian duduk di salah satu kursi di meja yang sama. Diletakkannya sepiring pancake.
            “Saura??” Aku terbelalak.
            “Hai! Mari sarapan!” Ia memotong pancake-nya lalu menyuapkannya ke mulutnya sendiri.
            Sementara aku masih tercengang. “Ini kau, Saura?”
            Ia diam sejenak. Baru kemudian bicara. “Kau mengingat namaku?” Diletakkannya garpu ke piring.
            “Tentu saja!”
            “Bagaimana caranya? Aku hanya memberitahumu sekali dan kita hanya bertemu sekali.” Kini Saura menyangga dagunya dengan kedua tangan.
            “Tapi kau memelukku dan menangis di sana. Aku yang orang asing bagimu. Bagaimana aku bahkan bisa lupa?”
            Ada rona merah di pipi Saura. “Maafkan aku…”
            “Maaf untuk apa?” Aku sudah selesai dengan sarapanku. Kini aku fokus pada obrolan ini.
            “Waktu itu kau pasti kebingungan…” Alih-alih mengkhawatirkan dirinya sendiri, ia justru memikirkanku.
            “Tentu saja! Tapi tidak apa-apa karena kau tidak sampai tiba-tiba menodongkan pisau padaku.”
            “Kau kira aku penjahat!” Saura melipat lengan di dada.
            “Haha! Aku cuma bercanda,” sergahku.
            “Pokoknya aku minta maaf.”
            “Dimaafkan,” ujarku singkat. Kulihat ada gurat senyum di wajah beningnya.
            “Apa kau tidak penasaran alasan kenapa aku menangis dan minta sebuah pelukan?”
            “Kau tidak meminta,” sanggahku.
            “Oh, yeah! Aku mencurinya.” Ia memutar mata.
            “Memaksa lebih tepatnya.” Aku masih tidak mau kalah.
            “Baiklah…”
            “Lalu? Apa alasannya?”
            “Dulu sekali, pernah ada seseorang yang sanggup menjamin kebahagiaanku. Memang itu terjadi. Aku tidak pernah tidak bahagia ketika bersamanya. Tapi… takdir bernama kematian merenggutnya dari sisiku.” Setitik bening meluncur mulus, jatuh tergelincir.
            “Sudah cukup. Tamatkan ceritamu. Aku tidak mau dengar lagi.” Aku berpaling ke arah lain.
            Kudengar isak tangis gadis di hadapanku. Sungguh pilu. Aku bisa merasakan luka yang sama. Luka itu, yang sampai kapan pun tidak akan pernah pulih. Luka yang tidak disengaja. Yang justru akan membekas.
            “Bawa aku keluar dari sini. Orang-orang pasti sedang menatapku dengan bodoh.” Saura menunduk. Sebagian rambutnya yang lurus menutupi wajah bening yang selalu ingin kupandang.
            “Baiklah. Tapi kau mau ke mana?”
            “Perpustakaan kota.” Sepertinya ia mengatakan yang barusan tanpa berpikir lagi. Seolah sejak awal memang dia sudah berniat ke tempat penuh buku kuno itu.
            Aku kemudian membawa gadis itu ke perpustakaan kota. Tidak banyak kalimat yang bisa kulemparkan untuk memancing sebuah obrolan sepanjang perjalanan. Sepertinya ia justru tengah asyik memikirkan entah apa. Aku hanya sesekali bersenandung sambil mengingat-ingat rasa pelukannya di lenganku.
            Kami sampai di perpustakaan kota setelah melewati sebuah hotel dan barisan pertokoan. Ia mengajakku ke bagian sastra abad pertengahan. Ternyata Saura adalah pelahap buku-buku tebal. Tapi aku patut bersyukur meski dilanda kebosanan. Setidaknya ia tidak lagi menangis. Ia begitu kusyuk membaca sebuah buku di hadapannya.
            Aku? Apa yang kulakukan? Tentu saja aku hanya memandangi dia. Apa lagi yang bisa kulakukan ketika seorang gadis tiba-tiba kehilangan kesedihannya hanya dengan tenggelam dengan sebuah buku? Gadis yang ternyata begitu memesona ketika sedang tidak menangis. Betapa beruntungnya aku ini.
            Sejak itu, setiap akhir pekan aku selalu menemani Saura ke perpustakaan kota. Dan entah sejak minggu keberapa kegiatan itu berubah menjadi sebuah kencan. Gadis bergaun jingga itu, kau, Sauraku.
***
Aku masih terus mencarimu. Kini aku berada pada satu misi perjalanan yang aku sendiri tak tahu akan sampai kapan. Sungguh aku menyesali pertengkaran kita malam itu. Pertengkaran pertama kita. Yang justru membuatmu menghilang hingga detik ini. Jika aku bisa kembali ke waktu yang telah lalu seperti pada film About Time, kau mungkin masih ada di sini. Di sisiku.
Malam itu kita terlalu lelah menghabiskan waktu di pasar malam. Kau dan aku berubah seperti bocah yang tidak kenal beban. Kita menaiki wahana-wahana permainan, memakan gula kapas, meniup gelembung-gelembung sabun. Kita berada pada level tertinggi kebahagiaan sepanjang usia hubungan. Tapi ketika berjalan pulang kau kemudian menuntut sesuatu yang bahkan aku sendiri belum pernah membayangkannya. Belum pernah. Sebuah pernikahan.
“Jun, kapan kau akan mengajakku menikah?” selorohmu ketika kita melewati sebuah lorong untuk mengantarmu pulang.
“Menikah?”
“Ya.”
“Aku… belum tahu, Saura.” Pandangan mataku menerawang ke langit-langit lorong.
Kau mendengus. “Menyebalkan!” Terurailah pelukanmu pada lenganku. Kau berjalan mendahuluiku.
Aku berusaha mengejar. Kugapai lenganmu dalam beberapa langkah panjang. “Hey… ngambek?”
Kau berusaha melepas genggamanku. Aku tidak suka.
“Kau ini kenapa, sih?” cecarku.
“Aku ini gadis dua puluh lima tahun, Jun!” sahutmu sambil menunjuk ke dada. “Semua gadis seusiaku memimpikan pernikahan! Dengan lelaki yang dicintainya!” Urat-uratmu menonjol. Kau sangat-sangat marah.
“Maafkan aku, Saura. Tapi aku belum pernah memikirkannya.” Harus bagaimana lagi? Memang itu kenyataannya. Aku tidak pernah memikirkan pernikahan. Meski aku telah punya pekerjaan lagi yang lebih baik dari sebelumnya. Meski aku pasti sanggup menghidupi perempuan ini. Aku merasa nyaman dengan hubungan yang sedang berjalan tanpa harus memikirkan pernikahan.
“Kau ini bodoh atau bagaimana? Lalu apa maksudmu dengan semua ini?” Nada suaramu kian meninggi. Kau meledak-ledak.
“Maaf…” Hanya kata itu yang mampu kuucapkan.
“Aku menyerah!” Dua kata terakhir yang kau ucapkan sebelum meninggalkanku yang terdiam seperti patung.
***
Saura, kau telah menghilang sepanjang kemarau ini. Meski aku tidak begitu suka fakta ini, tapi kau dan hujan adalah komposisi yang pas untuk menemaniku. Kini kau menghilang, bersama hujan yang juga kering. Kau membuatku mati dalam tubuh ini.
Aku sudah mencarimu ke semua tempat yang mungkin kau tuju. Tapi kau tidak ada di mana-mana. Kemarau hampir berakhir. Aku haus temu, batinku kerontang. Jika saja kau saat ini muncul di hadapanku, aku akan menikahimu tanpa perlu kau minta lagi. Jika itu bisa membuatmu selamanya di sisiku.
Sungguh tolol! Aku baru memahami semuanya ketika kau sudah terlanjur menghilang. Kini aku benar-benar paham bagaimana arti sebuah pernikahan untuk seorang perempuan. Seharusnya aku menemukanmu dan meminta ampunmu. Seharusnya aku melamarmu segera dengan cara yang paling romantis.
Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan yang sedang kulakukan. Pikiranku telah seluruhnya tersita pada sosokmu. Lembaran Microsoft Word di hadapanku masih putih bersih. Nova, forecaster yang juga menjadi rekan kerjaku di harian yang sama, menyenggol lenganku. Entah sejak kapan ia menggeser kursinya ke dekatku.
Aku menoleh. “Kenapa?”
“Banyak pikiran, heh?” selidiknya.
“Begitulah,” ujarku sambil mengembuskan napas dengan berat.
“Masih soal gadis yang sama?” Ia kemudian memandang ke sebuah foto yang kutempelkan di meja kerjaku. Satu-satunya potret dirimu yang kumiliki.
Aku menunduk. Tersenyum kecut. “Ya.”
“Sampai kapan, Jun? Kau tahu? Ada banyak gadis di luar sana yang bisa kaujadikan kekasih.” Nova menepuk pundakku.
Aku menggeleng. “Aku tidak perlu kekasih, Nov. Aku hanya ingin Saura.”
“Memang susah ya, kalau sudah menyoal cinta!”
“Haha! Sudah sana! Lakukan pekerjaanmu!” Aku mengusir Nova dengan gaya bercanda.
“Aku sih sudah selesai. Aku mau pulang!” Ia tersenyum lebar.
“Lalu apa kata ramalan cuaca besok?”
“Besok hujan pertama diperkirakan turun.”
“Hujan pertama?”
“Yup!” Ia memeriksa jam tangannya. “Sudah, ya! Aku pulang dulu!” Ia kembali menggeser kursinya, berdiri, menyambar tas kerjanya lalu pergi.
“Hujan pertama…”
Saura, apa aku harus benar-benar menyerah sekarang? Kemarau akan benar-benar berakhir besok. Tapi jika aku tidak bisa menemukanmu, aku akan menjadi lelaki yang hina. Aku tidak akan punya harga diri lagi.
Kuputuskan untuk pulang. Biarlah kubawa pekerjaanku ini sampai di rumah. Karena aku sudah benar-benar tidak bisa berpikir. Segalanya menjadi sangat tidak normal. Sepanjang jalan pulang, batinku mengawini penyesalan.
Aku membuka pintu pagar yang berderit menjengkelkan. Tapi sejenak kemudian aku berhenti. Sesuatu yang kuabaikan sejak lama kini memerangkap penglihatanku. Sebuah kota surat. Aku berjalan ke arahnya. Kubuka pintu kecil kotak itu yang juga berderit. Sebuah amplop cokelat tergeletak di sana.
Sampul depan surat yang kini kupegang menunjukkan sebuah alamat di Lombok. Lombok? Kubuka amplop itu dengan tergesa. Sebuah undangan penikahan. Nama Saura & Nicolas tercetak di sampulnya.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah