Brakkk!!! Suara
besi yang beradu dengan tubuh seseorang sampai di telingaku dalam waktu
sepersekian detik setelah kejadian gila ini. Ada bunyi berdenging yang
menyakitkan setelahnya. Kakiku terjepit di antara jok dan dashboard. Anehnya aku tak merasakan kesakitan yang seharusnya sangat
luar biasa. Tubuh bagian bawahku seakan mati rasa. Pandangan mataku semakin
kabur. Meski begitu masih bisa kulihat di hadapanku kejadian menyesakkan itu.
Apa yang baru saja terjadi membuat tubuhku seketika mematung.
“Astaga!”
“Seseorang tolong! Cepat!”
Orang-orang
berteriak panik. Kasak-kusuk terdengar di mana-mana. Nada-nada penuh
kekhawatiran yang tidak bagus memenuhi udara. Kecemasan memakanku dengan rakus.
Beberapa menit kemudian suara sirine meraung-raung. Sebuah mobil ambulans
melaju kencang mendekat diikuti beberapa polisi lalu lintas mengendarai sepeda
motor.
Lingkaran
orang-orang yang mengelilingi tubuh lemas tak berdaya di depan mobilku
menyingkir ketika ambulans datang. Wajah-wajah mereka mengekspresikan
kengerian. Beberapa di antaranya menatap ke arahku sementara aku lemas di
tempat. Pucat. Syok. Keringat dingin seakan keluar dari setiap pori-pori.
“Tolong
beri jalan, tolong!”
“Minggir!
Minggir!”
Tiga,
oh bukan, empat orang petugas berseragam putih turun dari mobil ambulans dengan
tergesa-gesa. Mereka menarik keluar sebuah ranjang lipat dari bagian belakang
mobil kemudian mendorongnya mendekat ke tubuh yang tergeletak di tanah. Tubuh
mungil itu dengan mudah diangkat dan dibaringkan dengan hati-hati seolah sangat
rapuh. Empat orang petugas itu lalu mendorongnya ke arah pintu belakang
ambulans yang terbuka.
Saat
itulah aku melihat darah mengucur dari pelipis gadis tak berdaya itu. Matanya
terpejam hampir seperti orang mati. Aku bisa memastikan siapa dia sekarang.
Memang benar aku tak sedang berhalusinasi. Semua ini benar-benar terjadi. Gadis
itu menabrakkan diri ke depan mobilku yang menuju ke bandara. Mobil yang selalu
ditumpanginya di samping bangku kemudi dua tahun terakhir. Tak mungkin ia tak
mengenali mobil ini. Jadi kusimpulkan ia sengaja melakukannya dan ini semua
berhubungan dengan kepergianku.
Tubuh
itu milik gadis yang tak akan kubiarkan begitu saja kabur dengan semua
kerumitan yang terjadi. Dengan alasan yang kupunya aku pasti bisa
meyakinkannya. Bahkan aku bisa membawa pergi Valery bersamaku kalau ia mau.
Selesai masalah. Semuanya masih bisa diperbaiki jika ini tidak terjadi.
Pintu
ambulans ditutup. Suara sirine terdengar perlahan semakin menjauh lalu hilang
sama sekali. Tubuh Valery berada di dalamnya. Valeryku tersayang yang masih menyimpan
sejuta kesal di benaknya.
Ketakutan
seketika mencengkeramku. Bukan karena kakiku yang sedang terjepit dasboard dan mati rasa itu, tapi segala
pikiran kacau tentang Valery. Rasa sakit seolah menyeruak dari dalam tubuhku,
menjalar sampai ke kepala. Aku terkurung penyesalan atas tindakan bodohku
sendiri. Kupegangi kepalaku dengan kedua tangan. Sakit itu benar-benar tak bisa
kutahan lagi. Sebaris doa sederhana kurapalkan untuknya. Tuhan, selamatkan kekasihku. Bersamaan dengan selesainya doaku,
kesadaranku menguap lalu lenyap di udara. Gelap.
***
Malam
terakhir sebelum kecelakaan. Aku mengejar langkah Valery yang berkecipak di
tengah hujan. Pakaian kami basah. Jalanan tergenang air sampai ke mata kaki.
“Val!” Kupanggil ia.
Valery berbalik ke arahku lalu
diam di tempatnya. Ia menatapku seolah aku musuh besarnya. “Apa?!”
“Maafkan aku, Val. Maafkan aku.”
“Jadi selama ini apa? Kau
pembohong! Katanya kau tak akan meninggalkanku! Katanya kau tak akan pergi ke
mana pun!”
“Bukan aku yang mau, Val.”
“Lalu siapa? Kau bilang kau
betah di Indonesia! Tapi sekarang kau mau menyusul keluargamu ke Inggris! Apa
sih sebenarnya maumu?”
“Jangan salah paham, Val. Aku
tak mau menyusul mereka. Aku senang di sini karena bisa bersamamu.”
“Lalu apa? Kau tetap akan
pergi!”
“Royal Academy of Music. Aku mendapat beasiswa penuh di sana, Val.
Kau ingat tentang impian terbesar?”
Valery membeku.
***
Kesadaran kembali menghinggapi
ragaku. Bunyi roda ranjang dorong yang disurukkan secara tergesa-gesa beradu
dengan lantai. Bau obat-obatan, alkohol dan segala benda berbau kimia lainnya
yang menusuk. Lorong dengan lampu-lampu yang terang. Ruangan yang terdominasi
warna putih dengan tirai hijau toska. Rumah sakit. Seseorang mengatakan,
“Sebelah sini, Dokter!” Tubuh lemasku terguncang-guncang pasrah di atas ranjang
yang tengah didorong masuk ke sebuah ruangan penuh peralatan medis.
Seorang dokter muda melakukan
sesuatu dengan tubuhku. Ia membisikkan sederetan kalimat yang tak kupahami
kepada perawat yang dengan segera mencatatnya. Mereka berdua pergi sementara
seorang perawat laki-laki mengganti pakaianku dengan pakaian pasien. Keduanya
datang kembali dengan serombongan orang-orang bermantel, bertudung, dan
bersarung tangan toska. Sial! Sang perawat juga memasang infus di pergelangan
tanganku. Aku belum sempat mengatakan apa-apa ketika nyala lampu yang sangat
menyilaukan menerkam pandanganku dalam sekejap. Kantuk yang tak tertahankan
menyergapku. Semua kembali gelap. Kurasa setelahnya aku bermimpi.
***
“Val,
kau percaya impian?”
“Ya…”
“Apa impian terbesarmu, Val?”
“Tidak ada.”
“Mengapa?”
“Lan, mulai saat kau menggandeng
tanganku untuk pertama kalinya, sepenuh hidupku adalah tentang kau.”
“Jadi?”
“Jadi untuk seterusnya impian
terbesar itu adalah tentang kebersamaan kita.”
“Tapi apakah aku masih boleh
mengatakan impian terbesarku padamu, Val? Secara pribadi.”
“Silakan saja.”
“Hmm... Menjadi bayangan terus
menerus terkadang melelahkan. Aku ingin bersekolah di sekolah musik terbaik,
Val. Aku ingin menjadi maestro kebanggaan Indonesia suatu saat nanti. Kelana
Pangestu, pianis terbaik dunia!”
Hanya bunyi detik jam yang
kemudian mengiringi kesunyian di antara kami. Tik! Tik! Tik!
***
Mataku membuka. Aku melirik jam
digital di atas meja yang dilengkapi dengan kalender. 17 Mei 2014 pukul lima
pagi. Aku sudah tak sadarkan diri selama lima hari. Tubuhku masih lemas namun
aku harus menghubungi seseorang. Aku berusaha meraih ponsel yang ada di atas
meja. Tapi apa, apa ini? Kenapa! Kenapa kakiku tak bergerak sama sekali?
Napasku memburu. Aku sepenuhnya dilanda kepanikan. Ya Tuhan!
“Dokter! Suster! Tolong!” Aku
berteriak-teriak kesetanan. Kutekan-tekan tombol emergency dengan jari-jariku yang gemetar, mengharapkan dokter atau
siapa pun segera datang untuk menjelaskan semua ini.
“Dokter! Dokter!” Teriakanku
benar-benar menguras tenaga. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Kudengar
langkah-langkah berderap di koridor. Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter
laki-laki dan seorang perawat masuk dengan wajah-wajah serius mereka. Mereka
semua berusaha menenangkanku dengan berbagai cara. Sementara aku justru semakin
menjadi-jadi.
“Kenapa, Dok? Kenapa kakiku mati
rasa? Kakiku nggak bisa gerak, Dok!”
Dokter dan suster sibuk
melakukan serangkaian pemeriksaan yang lagi-lagi membuatku tak mengerti.
Sementara itu aku menanti mereka berbicara dengan tidak sabar. Mereka selesai
memeriksa akhirnya. Kedua orang berseragam putih itu mamandangku dalam diam.
Aku ganti menatap mereka dengan ekspresi bagaikan zombie.
“Kenapa aku sebenarnya, Dok!
Jangan bilang aku lumpuh, Dok! Katakan Dokter, katakan!”
Sang dokter menarik napas
panjang. Ia mulai berbicara. “Kelana, maaf sekali saya harus mengatakan ini.
Tapi kami masih harus melakukan pemeriksaan selanjutnya untuk mengetahui lebih
jauh lagi. Kami harap anda mau bersabar dan terus berdoa untuk hasil terbaik.”
“Jadi aku benar-benar lumpuh,
Dok?”
Dokter mengangguk ragu lalu
melangkah keluar. Suster merapikan alat-alat yang terserak di atas meja
kemudian menyusul langkah sang dokter di depannya meninggalkanku sendirian dengan
tangis tertahan.
Valery…
***
“Lan…”
“Ya, Val?”
“Bagaimana jika satu saat nanti
aku buta?”
“Kau ini ngomong apa, sih!
jangan ngaco!”
“Sudah jawab saja.”
“Lalu bagaimana jika suatu saat
aku lumpuh?”
“Kenapa kau balik bertanya? Kau
curang!”
“Jawab saja.”
“Kau duluan. Adil dong!”
“Baiklah. Aku tidak akan
membiarkan kau menjadi buta, Sayang. Dengan cara apa pun.”
“Lan, kau mau aku tetap menjawab
pertanyaanmu?”
“Ya.”
“Aku akan menjadi kedua kakimu
jika kau lumpuh.”
***
Suara langkah kaki menyadarkanku
kembali ke kamar rawat memuakkan ini. Lagi-lagi dokter dan suster yang sama.
Mereka memeriksaku lagi dan mencatatnya seolah ada yang berubah pada keadaanku.
Padahal aku sama saja dengan tiga hari lalu.
“Dok,
apa kau juga menangani seorang gadis bernama Valery? Gadis yang juga ada dalam
kecelakaanku?” tanyaku pada dokter.
“Mmm… ya,” jawabnya ragu.
“Bagaimana dia, Dok? Dia selamat
kan? Katakan, Dokter!” tuntutku.
“Kelana, lebih baik kau banyak
istirahat agar bisa cepat menjenguknya.”
“Jadi, jadi dia selamat? Aku
ingin menemuinya sekarang, Dok! Bawa aku ke sana! Please…” aku memohon.
“Lusa kau baru bisa menemuinya.
Saat ini dia masih tidur setelah operasi yang melelahkan. Kuharap kau mau
mengerti,” ungkapnya.
“Operasi? Operasi apa? Apakah
separah itu?” aku terhenyak.
“Bersabarlah, Kelana. Kau akan
punya sepanjang hari untuk menemuinya lusa.” Ia menepuk pundakku lalu melangkah
pergi.
Aku memandang kosong pada
jendela yang terang. Sebersit kelegaan merayap ke permukaan. Valery-ku hidup,
ia selamat atas perbuatan tak sengajaku yang kelewat batas. Batinku amat lega
mendengarnya. Kini aku tak peduli lagi jika kaki ini tak mampu melangkah. Aku
menerima keadaanku. Dan aku yakin ia juga akan menerimanya. Sekarang ini aku
hanya ingin menemui kekasihku untuk menjelaskan semuanya.
***
Aku
tak bisa lagi mengharapkan perempuan lain yang bisa melebihi Valery. Karena
sepertinya, bagaimana pun itu tak mungkin. Ialah sosok perempuan satu-satunya
yang mendekati sempurna. Berbeda sekali denganku memang. Valery seorang supermodel.
Aku seorang pianis bayangan. Valery bersinar di tengah panggung megah yang
gemerlap. Aku berselubung jubah di sudut panggung yang gelap. Valery berusaha
dengan segenap kekuatannya untuk memastikan seluruh perhatian tertuju padanya.
Aku mengerahkan seluruh kemampuan sambil memastikan benar-benar tak terlihat.
Aku yang biasa, bahkan cenderung aneh. Valery yang selalu ingin serbasempurna.
Tak serasi memang.
***
Inilah
waktu yang dijanjikan. Aku bisa menemui kekasihku. Seorang perawat membantuku
berpindah ke kursi roda. Kuminta ia mengantarku ke ruang rawat Valery. Dan kini
aku telah sampai di depan pintu kamar nomor 26 bangsal Freesia. Dadaku naik
turun. Rasanya lebih mendebarkan daripada ketika kau akan memulai resital piano
pertamamu di Istana Negara.
“Kau
bisa meninggalkanku sekarang,” kataku pada perawat itu.
Aku
menarik napas panjang kemudian menggeser pintu hingga terbuka.
Valery
ada di sana. Ia menengok, membuat jantungku terpacu semakin tak karuan. Ia
tetap saja cantik dengan pakaian pasiennya. Namun ada yang janggal padanya. Ia
tak segera menyambutku dengan cara apa pun, aku yang tengah memandanginya
dengan senyum terkembang di depan pintu.
“Suster,
kaukah itu?” Valery menajamkan telinga dengan tetap tak melihat padaku.
Senyumku
lenyap. Kutekan tombol pada kursi rodaku. Aku bergerak mendekati Valery yang
duduk di atas ranjang. Aku membisu. Lidahku justru semakin kelu.
“Sus,
kebetulan kau datang. Aku ingin minum. Haus,” kata Valery.
Aku
meraih segelas air di atas meja. Kusentuhkan sisi gelas itu pada tangannya.
Sementara ia minum, aku mengibaskan tanganku ke depan matanya dengan sangat
hati-hati. Mata Valery bergeming tak berkedip sekali pun. Tapi kemudian
tangannya tak sengaja menyentuk tanganku, membuatku terlonjak. Ia meraba
tanganku.
“Kau
bukan suster? Kau… Kelana?” ia menebak dengan tepat. Ya, ia terlalu mengenalku.
Ia selalu bisa menebak ketika kututup matanya dari belakang. Bahkan ia
mengenalku meski hanya dari deru napas.
“Benarkah
ini kau, Lan?” Kini Valery menggenggam tanganku sangat erat seakan aku ini
tawanan yang tak mau dilepasnya.
Aku
bingung. Tubuhku bergetar gugup.
“Lan,
Kelana?” Ia menarik tanganku seakan berharap untuk mendekat padanya,
memeluknya. “Maafkan aku, Lan. Maafkan aku! Aku memang bodoh!”
Sreeeeeet! Dreeeeeet! Aku terjatuh di lantai tanpa bisa berbuat apa-apa. Kaki sialan tak berguna! Aku mengumpat
dalam hati.
“Lan,
kau tak apa-apa?” Nada suara Valery berubah panik dan bingung. Ia bergerak
turun dari ranjang dengan meraba-raba. Tangannya berhasil menemukanku dengan
cepat. Disentuhnya kedua pipiku dengan tangannya yang dingin.
Aku
sudah tak mampu menahan perasaanku lagi detik berikutnya. Kupeluk erat
Valeryku. Tangisku tak terbendung. “Huhuhu,” aku tergugu. “Maafkan aku, Val.
Maafkan aku, Sayang!” bisikku di sela-sela tangis.
“Kau
masih sayang padaku, Lan? Aku bersalah. Aku sengaja melakukannya agar kau tidak
jadi pergi. Kau pasti sangat membenciku.”
“Kau
salah, Val. Aku masih sayang padamu. Sangat, Val! Sangat!”
“Tapi
mataku buta, Lan…”
Aku
membisu, tak mampu berkata sepatah pun. Jika mampu ingin aku membalas ucapan
Valery. “Tapi aku lumpuh, Val!” Tapi butir-butir air mata yang kubenci jatuh
susul-menyusul. Tentu aku semakin tak bisa berkata-kata dengan isakan seperti
ini. Tak pernah aku menyangka akan begini jadinya. Kini aku dan kekasihku
begitu serasi. Si buta dan si lumpuh. Mungkinkah aku akan menjadi matanya dan
ia menjadi kakiku? Aku tak bisa meski hanya memikirkannya.
***
Sejak
pertemuan pertama setelah kecelakaan itu, aku selalu bersikap seolah bukanlah
seseorang yang lumpuh. Aku selalu bersikap senormal mungkin dengan segala cara.
Aku ingin menjadi yang terbaik untuk Valery, menemani hari-harinya yang gelap
dengan segala kemampuan yang kupunya. Tapi detik ini aku teringat kembali pada
suatu percakapan kami tentang “bagaimana jika kau buta dan aku lumpuh” itu.
Aku
sudah terlanjur berjanji pada Valery untuk bagaimana pun tidak membuatnya buta.
Jalan satu-satunya adalah Valery mendapatkan donor kornea mata yang entah kapan
akan didapatkannya. Dan aku tahu Valery tidak akan sanggup menunggu hingga saat
itu. Aku takut Valery akan mencoba mengakhiri hidupnya lagi seperti sesaat
setelah ia tahu bahwa dirinya buta. Dokter yang menceritakan itu padaku. Dan
hal itu membuatku semakin terpukul. Akulah yang sepenuhnya bersalah pada
Valery.
Valery
adalah supermodel yang sedang bersinar. Mana mungkin ia bisa meneruskan itu
dengan mata buta? Aku tak ingin menghancurkan kariernya. Aku harus membantu
Valery. Keputusan sudah dibuat. Aku menulis surat pernyataan untuk mendonorkan
mataku jika aku telah mati. Kuserahkan surat itu pada dokter yang menangani
kami. Dokter hanya menatapku dengan sorot mata tak mengerti.
Hari
ini aku mengunjungi Valery. Aku berada di sisinya sepanjang hari. Dan aku tetap
tak mengatakan apa pun tentang keputusan besarku. Kulakukan apa saja yang
menjadi permintaan Valery. Aku memainkan puluhan lagu dengan aplikasi piano di iPad-nya. Aku mengiringinya bernyanyi
dengan suara yang sangat merdu sama seperti hari-hari sebelum kecelakaan.
Seolah kami adalah pasangan normal yang bisa berjalan dan bisa melihat. Aku
tahu Valery menemukan kembali kebahagiaannya saat itu. Dan ini adalah waktu
yang tepat.
“Sayang,
aku ingin memberitahumu kabar baik,” bisikku pada Valery.
“Apa
itu, Lan? Kita merayakan ulang tahunku?” Valery mendengarkan dengan antusias.
“Pasti
itu, tapi nanti setelahnya. Setelah kau mendapatkan kado istimewa untuk ulang
tahunmu kali ini.
“Kado
istimewa? Apa itu, Lan?”
“Emm...
Kata dokter kau akan segera mendapat donor kornea!”
“Serius,
Lan? Kapan? Kapan itu?” Ia mengguncang lenganku.
“Besok
pagi kau akan menjalani operasi.” Aku mengatakannya dengan air mata bercucuran.
Namun aku bersikap senormal mungkin. Aku berusaha tertawa tapi justru terdengar
aneh.
“Lan?
Kau menangis?”
“Haha!
Aku begitu terharu, Val. Aku turut bahagia mendengarnya!” Aku berkelit.
“Uh,
terima kasih, Lan. Kau ternyata menepati janjimu. Kau tidak pernah pergi meski
mataku buta. Terima kasih, Lan. I love
you.”
“I, I love you too, Valery. Emm.. sudah
malam, Val. Kau sebaiknya istirahat. Lagipula kau besok harus menjalani
operasimu.”
Aku
mengecup Valery dengan sepenuh hati. Kutinggalkan ia di sana. Aku tak lagi
menengok ke belakang. Mungkin ia kebingungan dengan sikapku barusan. Tapi aku
memacu kursi rodaku sekencang mungkin meninggalkan bangsal itu lalu berbelok ke
ruang penyimpanan obat-obatan.
Kini
aku telah sampai di sana. Kututup pintu di belakangku. Aku menarik napas
dalam-dalam. Kugerakkan tanganku, berusaha menggapai botol-botol obat dengan
lingkaran biru tua di labelnya. Aku menenggak berbotol-botol obat itu dengan
tangis dan tawa seperti orang gila. “I
love you so much, Valery. I love you so much!” Berkali-kali aku
mengucapkannya sampai sebuah sinar putih yang amat menyilaukan mendatangiku dan
memisahkan jiwa dari ragaku yang perlahan-lahan menjadi kaku.
***
Komentar
Posting Komentar