Langsung ke konten utama

Melupakan

Mahesa. Tanpa sadar aku mengukir nama itu di atas kayu yang sedang kupegang. Apa-apaan ini? Bahkan perkenalan tanpa sengaja dengan lelaki itu membuat konsentrasiku pada pekerjaan terpecah. Ini gila. Bagaimana bisa seorang lelaki lontang-lantung tanpa pekerjaan seperti dia mampu menelusup ke dalam benakku?
                “Tari, kenapa kau buat mainan lagi kayu itu? Bisa kan kerja dengan benar? Pekerjaanmu masih banyak.” Bang Aryo, koordinator galeri seni milik kami memperingatkanku.
                “Ma-maaf, Bang. Aku nggak sengaja.” Aku meletakkan potongan kayu itu lalu mengambil satu yang baru. Masih ada sekeranjang penuh kepingan limbah-limbah kayu yang harus kuukir dengan tulisan I love Jogja di hadapanku.
                Kulanjutkan pekerjaan paruh waktuku dengan susah payah. Bukan karena pekerjaan itu sulit, tapi lebih disebabkan karena otakku yang sedang bekerja keras untuk melenyapkan pikiran tentang Mahesa yang selalu saja ingin mendominasi. Aku tidak tahu mengapa bisa seperti itu. Yang aku tahu sejak pertemuan dengan Mahesa di Malioboro beberapa hari lalu, dia tidak pernah bisa berhenti untuk kupikirkan.
                Aku sendiri bingung bagaimana bisa menghabiskan semalaman di sepanjang jalan Malioboro bersama orang asing yang dengan lancangnya menyeruput rondhe[1] yang baru saja kupesan. Salah siapa kalau begini? Sedangkan aku sendiri masih mencoba memahami mengapa bisa sebuah percakapan mengalir begitu saja antara aku dan dia.
                Kusangka awalnya Mahesa adalah orang tidak waras.
Malam itu aku duduk di salah satu bangku semen yang mengelilingi sebuah pohon di trotoar Malioboro. Aku memesan semangkuk rondhe pada pak tua yang kebetulan tepat menghentikan gerobaknya di dekatku. Jogja malam itu lebih dingin dari biasanya. Kehangatan rondhe akan membuat perasaanku lebih baik. Asal tahu saja aku baru saja menjadi korban PHP seorang Senja.
                Itu hari yang penting untuk kami. Dia bilang akan memberikan jawaban atas pernyataan cintaku seminggu yang lalu. Rasanya digantung seminggu saja sudah membuatku kehilangan selera makan. Apa? Kau heran dengan kalimatku barusan? Iya. Kau tidak salah dengar dan aku tidak sedang salah mengatakan. Aku memang telah menyatakan cinta pada Senja. Lelaki berkacamata yang gila seni itu. Aku sudah dekat dengannya selama dua tahun. Dan itu cukup untuk membuat aku tersiksa karena harus memendam perasaanku selama itu.
Sayangnya Senja adalah tipe lelaki yang tidak mempan dengan berbagai macam kode. Satu-satunya jalan untuk aku bisa mendapat kepastian adalah mengatakan langsung yang seharusnya ia ketahui tentang perasaanku. Makanya aku nekad menyatakan cinta pada suatu sore di sebuah angkringan sederhana. Ia memperlihatkan ekspresi terkejut. Aku tahu. Mungkin memang tidak umum seorang perempuan menyatakan cinta, tapi tidak ada salahnya ketika menghadapi lelaki seperti Senja.
“Tari. Sumpah kau membuat aku kaget.” Ia hampir tersedak sebelum akhirnya mengatakan itu. Ia baru saja mendengar pengakuanku.
“Kenapa, Senja? Apa aku salah? Kau pikir enak memendam perasaan di dalam hati sementara mendengar ocehanmu tentang betapa cantiknya para penari di keraton tadi pagi?”
“Kau tidak salah, Tari. Hanya aku saja yang tidak pernah menyangka kalau kau punya perasaan padaku.”
“Aduh, Senja. Aku dan kau ini sudah lebih dari lima ratus hari kenal. Kita sering menghabiskan waktu bersama. Witing trisna jalaran saka kulina. Cinta datang karena kebiasaan bersama. Kita terlalu sering bersama. Jangan salahkan kalau aku jadi cinta kau. Lagi pula kau bukan tipe lelaki yang mubazir untuk dicintai.”
“Hmm… Tari, aku belum pernah bertemu perempuan seperti kau. Tapi jujur seumur hidup aku belum pernah memikirkan tentang memiliki hubungan serius. Kau tahu kan aku ini seperti apa? Aku sering tak jelas akan membawa hidupku ke arah mana.”
“Itu tidak ada hubungannya dengan perasaanku, Senja. Aku tidak meminta cinta datang padaku. Semua ini di luar kuasaku.”
“Tari, mungkin aku harus berpikir sebelum memutuskan apa pun. Aku kenal kau sudah lama. Dan aku tidak ingin antara kita ada hal menyebalkan jika suatu saat semuanya tidak berjalan baik.”
“Sudah tidak usah terlalu ribet menyusun diksi. Kau terima aku apa tidak? Aku janji kalau kau menolakku hubungan kita akan tetap sama seperti ini. Tapi aku masih akan tetap mencintaimu. Bagaimana lagi? Cinta tidak bisa dibuang begitu saja.”
“Baiklah, Tari. Aku bisa memberimu jawaban. Tapi nanti, seminggu lagi di tempat ini.”
Dan hari itu datang. Tapi Senja tak datang. Ia mengingkari janji untuk pertama kalinya sejak pertemanan kami. Bahkan dalam seminggu itu Senja tidak pernah muncul di galeri seni tempat ia biasa menghabiskan waktu. Ia seolah lenyap. Waktu itu aku masih ingin percaya bahwa dia akan datang di tempat yang sudah dijanjikannya. Mungkin dia sedang ada urusan penting dan terlambat datang. Tapi bahkan sampai hampir tengah malam dan angkringan sederhana itu kukut[2], tidak ada Senja di sana.
Semangkuk rondhe itulah yang seharusnya menjadi penghangat hatiku. Tapi orang asing yang tiba-tiba duduk dan menyeruput kuah rondhe itu membuat keadaanku menjadi jauh lebih buruk. Aku emosional sekali sampai-sampai kumaki dia di depan Pak Tua tukang rondhe yang hanya mengelus dada rentanya. Mungkin dia adalah tipe orang Jogja yang tidak biasa mendengar seorang gadis memaki-maki lelaki di tempat umum.
Sudah kubilang bahwa awalnya aku menyangka dia orang gila? Bagaimana tidak. Penampilan lelaki itu menakutkan. Ia mempunyai tato di lengannya. Sebuah pola yang rumit dan aku tidak tahu apa itu. Pakaiannya berwarna gelap dan jauh dari kesan rapi. Satu lagi, dia bau keringat! Tapi satu yang tidak bisa membuatku lupa, tampangnya mirip seorang dalang nyentrik versi mudanya, Sudjiwo Tedjo.
“Hey! Hey! Kalem, Mbak, kalem! Aku hanya seorang gelandangan yang kehausan. Maaf ya aku lancang meminum rondhemu. Kukira kau sudah selesai menikmatinya.”
“Dasar! Mbak, Mbak! Memangnya aku ini Mbakmu!”
“Terus aku harus menyapamu dengan sebutan apa? Mbokdhe? Hahaha!” Si lelaki aneh itu justru mengoceh dan masih tetap duduk sementara aku sudah berdiri karena panas.
“Salah apa aku harus bertemu dengan orang ini ya, Tuhan? Sinting!”
“Hmm… kenapa segitu marahnya? Sedang PMS ya?”
“Huh! Tau apa kau tentang perempuan!”
“Aku tahu. Aku kenal setiap jenis perempuan di dunia ini.”
Mendengar perkataannya, aku menyimpulkan bahwa orang ini adalah seorang pembual. Nasibku memang sedang sial hari ini. Cinta tak kunjung terbalas, justru harus menghadapi lelaki tidak waras.
“Omong kosong!”
“Tidak. Aku benar-benar bisa mengenali setiap perempuan. Termasuk kau.”
“Heh!” Aku mendengus.
“Kau sedang sakit hati kan? Aku tahu. Kau sedang kecewa berat.”
Aku membelalak. Mengapa ia bisa menebaknya? Apakah aku sepolos itu?
“Ke-kenapa kau bisa tahu?”
“Sudah kubilang aku ini ahli kalau soal perempuan. Julius Caesar masa kini,” ujarnya bangga.
Anehnya, sepanjang sisa malam itu kuhabiskan untuk berdebat dengannya. Dari mulai membahas perempuan, kehidupan seniman, kehidupan petualang, sampai nasib negara dengan sengketa pilpres yang belum selesai.
***
Aku sedang bingung. Ini sudah pagi yang ketiga sejak penantian sia-siaku malam itu. Senja tak ada di mana-mana. Bahkan dia tak muncul di galeri. Padahal pekerjaannya sebagai kurator sangat dibutuhkan oleh Bang Aryo. Dia seolah telah ditelan bumi. Aku sudah berusaha menghubunginya lewat telepon tapi nihil, teleponku tidak pernah dijawab.
Bang Aryo juga ikut bingung. Dia sedang mencoba menghubungi Senja. Diam-diam aku berharap usaha Bang Aryo itu akan membawa hasil. Senja karus ditemukan. Kalau memang dia menghilang karena aku maka aku yang harus bertanggungjawab. Tapi sekali lagi aku bingung, bagaimana caranya?
“Ehem!” Seorang laki-laki berdeham di belakangku yang sedang mengukir potongan-potongan kayu.
Aku menoleh. Kudapati wajah Mahesa yang sedang menunduk dekat sekali dengan wajahku. “Hey!” Aku mendorong bahunya menjauh.
“Kau sedang sibuk?”
“Kau ini benar-benar! Kenapa bisa kau datang ke sini?” Aku masih tetap menekuni pekerjaanku karena tidak mau kena semprot Bang Arya lagi.
“Aku diam-diam mengikutimu,” jawabnya enteng.
“Untuk apa?”
“Aku ingin membantumu. Apa tidak boleh?”
Aku berhenti sebentar. “Membantu apa?”
“Mencari pujaanmu.”
“Hah? Dasar sinting! Kayak kau kenal saja dengan pujaanku.”
“Loh, siapa sih orang seni yang tidak kenal Senja?”
Aku terperanjat. “Ja-jadi kau kenal dia?”
“Aku sih cuma tahu dia. Beberapa waktu lalu kami sempat bertemu di pendopo. Ayo kutemani kau mencarinya. Siapa tahu ketemu.”
Aku menimbang-nimbang. “Nggg… tapi tidak bisa sekarang. Nanti kalau waktu kerjaku sudah selesai. Kau tunggu saja di luar.”
“Ya, baiklah. Aku free kok.” Mahesa lalu keluar. Ia membeli sekaleng minuman dari counter sebelah sebelum duduk di taman depan galeri.
Aku masih bisa melihatnya dari tempatku saat ini. Tampangnya itu sangat sok. Dia bersiul setiap kali ada perempuan lewat di hadapannya. Cih!
Dan ketika waktu kerjaku hari ini usai, itu sudah sore, dia masih tetap di sana sambil terkantuk-kantuk.
Aku menggamit lengannya. “Hey! Ternyata kau masih di sini juga? Serius kau mau menemaniku mencari Senja?”
“Oh! Ayo!” Dia gelagapan kemudian bangkit.
Dari sebuah pesan Senja yang diterima Bang Aryo, aku jadi tahu bahwa Senja masih ada di sekitar Jogja. Di pesan itu, Senja bilang masih ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Kami memulai pencarian di sekitar Malioboro.
Di sela pencarian itu Mahesa menceritakan padaku bahwa dia adalah seorang playboy. Dia selalu memacari beberapa perempuan sekaligus. Tapi hubungannya dengan perempuan tidak pernah bertahan lama karena ia adalah tipe petualang yang berpindah-pindah tempat sesuka hati.
***
“Aku sudah menyewa sebuah mobil hari ini, untuk melanjutkan pencarian kita,” ujar Mahesa di pagi selanjutnya.
Hari ini aku mendapat jatah libur. Dan kemarin aku sudah bilang akan mencari Senja dari pagi.
Tahu-tahu Mahesa sudah muncul di depan rumah kost-ku. Aku tidak lagi bertanya bagaimana dia tahu, jawabannya pasti karena diam-diam dia telah mengikutiku.
“Aku sudah siap. Eh, kau sudah sarapan?”
Dia mengangguk.
“Aku bingung mau mencari ke mana lagi. Semalaman aku sampai tak bisa tidur karena memikirkannya,” kataku sambil masuk ke dalam jeep yang disewa Mahesa itu.
“Ya sudah kau tidur saja. Aku akan menyetir sambil berputar-putar. Nanti kalau kau sudah fresh kita mulai mencari lagi.”
Aku menggeleng. “Tidak bisa. Aku harus menemukan Senja secepatnya.”
“Ya sudah kalau begitu. Kita mau ke mana?”
“Ke alun-alun saja.”
“Oke.”
Sepanjang jalan kami hanya diam-diaman. Karena aku merasa tidak sedekat itu dengan Mahesa dan dia juga tidak memancing-mancing pembicaraan.
Tiba-tiba aku merasa baru saja melihat Senja di pinggir jalan.
“Stop, Mahesa! Stop!!!”
“Kau ini kenapa?” Mahesa mengentikan mobilnya mendadak.
“Itu Senja!” Aku menunjuk ke seberang, tempat Senja berada. Di depan sebuah toko mainan anak.
Tanpa pikir panjang aku turun dari mobil kemudian menyeberang.
“Senja! Senja!” Aku memanggilnya setelah berhasil menyeberang dengan tergesa-gesa. Aku sampai hampir tertabrak sebuah taksi.
Yang kupanggil menoleh. Raut wajahnya terlihat sangat terkejut. Ia melongo ke dalam toko beberapa kali seperti sedang mengawasi sesuatu.
“Astaga, Senja! Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Rupanya kau ada di sini!” Aku meremas lengan Senja sementara dia hanya terdiam mematung.
“Senja..?” aku memanggilnya sekali lagi.
“Ayah! Ayah! Dinar mau ini ya? Boleh ya, Yah?” Seorang bocah lelaki berumur empat tahunan menarik-narik ujung kemeja Senja sambil memperlihatkan sebuah mobil-mobilan.
Aku mundur selangkah. Ayah? Aku melihat pada bocah itu.
“Ayah?” tanyaku kemudian menatap mata Senja.
Senja memandang ke beberapa arah, lalu menunduk. Dihelanya napas dalam-dalam seperti bersiap akan bicara. “I-ini… anakku, Tari. Dia Dinar, anakku.”
Glek! Rasanya seperti tersambar petir di siang hari. Aku limbung. Untungnya Mahesa berdiri tepat di belakangku. Ditahannya pundakku.
“Jangan bercanda, Senja!”
“Aku tidak bercanda, Tari. Inilah alasan kenapa aku tidak bisa datang ke tempat itu. Maaf… Tapi sampai kapan pun aku tidak bisa, sekarang kau sudah tahu apa alasannya.”
Aku merasakan malu, geram, kecewa dan sedih dalam waktu yang bersamaan.  Kutinggalkan Senja kembali ke mobil Mahesa.
Aku bersyukur Mahesa tidak bertanya apa-apa padaku saaa mataku sedang basah. Dia hanya terus menyetir. Mungkin benar kali ini kalau dia selalu memahami perempuan.
***
Rupanya aku ketiduran di atas mobil yang sedang berjalan ini.
“Kau sudah bangun?”
“Hey! Kita di mana ini?” Aku terbelalak ketika menyadari mobil yang dikemudikan Mahesa melewati jalan kecil yang membelah bukit-bukit kapur. Pohon-pohon kelapa, melinjo dan kapas banyak tumbuh di sepanjang jalan. Itu artinya…
“Pantai? Kau membawaku ke pantai?!”
“Maaf, Tari. Tapi kau sedang tertekan. Aku hanya ingin membantumu.”
Aku menurut saja. Entah kenapa aku tidak ingin mendebat Mahesa yang sudah membawaku tanpa bilang-bilang, tapi juga sekaligus sudah sebaik ini padaku.
Sampai di pantai Drini, salah satu pantai indah di pesisir selatan. Dia membawaku ke salah satu rumah penduduk yang menyediakan fasilitas homestay. Dititpkannya aku di sana sebelum pamit pergi.
“Kau mau ke mana?” tanyaku.
“Aku sudah bilang pada bapak pemilik rumah untuk mengantarmu kembali kalau kau sudah tenang. Sekarang aku harus pergi.”
“Iya, ke mana?”
“Aku belum tahu, Tari. Tapi sudah ada panggilan di dalam jiwaku.”
“Dasar sinting!” Aku mendengus kesal.
“Kalau takdir berbicara nanti kita akan tahu bagaimana akhirnya.”
“Aku tidak tahu apa maksudmu.”
“Kau berbeda, Tari. Itulah mengapa kau menjadi menarik.”
“Huh! Jangan berlagak membesarkan hatiku. Bahasamu terlalu tinggi untuk kumengerti.”
“Ya sudah. Aku pergi dulu.” Dikecupnya keningku sekilas.
“Hey!”
Yang kupanggil tetap pergi, berlalu begitu saja.
 Mahesa... Kenapa aku bertemu denganmu? Kenapa pula kau berlaku manis seperti ini? Bagaimana pun aku seorang perempuan yang bisa luluh dengan mudah oleh tingkah manis. Bukankah tadi itu romantis? Tapi di sisi lain dalam diriku aku tidak mau lagi menjadi korban PHP dua kali. Tidak ada yang bisa menjamin kalau dia akan kembali lagi.
Sudah kuputuskan untuk melupakan Mahesa dengan sejuta pesona tersembunyinya. Melupakan Senja dengan kehidupan pribadinya yang misterius. Aku hanya akan menjalani hidupku sebagaimana aku harus bahagia. Semua ini bukan salah siapa-siapa.
***


[1] Nama minuman
[2] Jawa (tutup)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah