Aku masih tak percaya diriku sampai di tempat ini. Langkah
kakiku kian berat karena mendengar denting piano yang kau mainkan dengan
apiknya. Aku hafal benar melodi itu. Kau selalu memainkannya untukku sampai
pada beberapa waktu lalu. Waktu itu, kita masih dua orang bebas yang tahu
bagaimana harus bahagia. Sedangkan kini, sepertinya hanya kau orang yang tahu
bagaimana harus bahagia. Tidak denganku. Karena kata bahagia telah kehilangan
maknanya sejak kau melangkah keluar dari lingkaran semu yang kita buat atas
nama persahabatan.
Berkali-kali
aku mengutuki diriku sendiri. Bagaimana bisa aku mempunyai perasaan bodoh
seperti ini. Perasaan bodoh yang terlambat kusadari. Hingga akhirnya aku harus
jatuh cinta sendirian. Sementara kau jatuh pada hati yang lain. Dan kini, kau
mengundangku ke sini untuk menyaksikan semuanya. Hal yang paling tidak ingin
kulihat dalam sejarah kehidupanku.
***
Sudah dua
hari sejak pengakuan itu aku hanya duduk di atas kursi malas. Mataku menatap
nanar pada ratusan potret yang memenuhi dinding kamar ini. Di sana tidak ada
satu pun wajah sedih kita. Kau dan aku memang selalu menjadi formula yang pas
dalam menciptakan tawa. Sebagai dua orang yang bebas, yang tidak pernah saling
menyakiti. Dulu.
Saat ini,
hal yang paling kuinginkan hanyalah menghilang. Lenyap dari dunia yang ada kau
di dalamnya. Sepertinya cerita antara kita sudah selesai. Selesai tanpa ada
kata berpisah. Aku hanya akan pergi begitu saja.
Bahkan apa
kau ingat saat pertama kau mainkan piano untukku? Kita harus mengendap-endap
seperti dua orang bodoh ke dalam rumah besar di atas bukit yang ada sebuah grand piano putih di sana. Beruntung
tidak ada seorang pun selain kita saat itu. Dan aku begitu terpukau oleh
keterampilan tanganmu.
Waktu itu kita masih sebagai dua orang yang bebas. Di mana
cinta tidak terlibat di dalamnya. Di mana cinta belum kumiliki terhadap
sosokmu. Cinta yang kini kukutuki. Cinta yang bagiku telah salah karena kau
juga memilikinya tapi dengan gadis itu. Gadis yang kau temui belum lama di
pertengahan kuliah.
Andai saja aku tidak pergi ke Jepang untuk mengambil studi
itu. Andai aku memilih menetap di Indonesia dan mengambil kuliah di tempat yang
sama denganmu. Andai aku masih bisa menyibukkan keseharianmu, mengganggumu.
Pasti kau tidak punya waktu untuk melihat pada gadis lain. Di sini hanya aku
yang salah karena tidak jujur padamu ketika perasaan itu mulai datang.
Seharusnya aku bisa menyatakan perasaanku ketika kau mengantarku ke bandara
waktu itu. Seharusnya kau menciumku dan berjanji akan menunggu sampai aku
kembali. Itu adalah khayalan tingkat tinggiku.
Ponsel di
atas meja bergetar. Di sebelah undangan pernikahan berwarna merah yang kau
berikan padaku. Itu pasti kau.
“Halo?
Sere?” Suaramu yang terdengar di telingaku seperti kau satu-satunya orang yang
sedang amat bahagia. Dan aku benci kau tidak tahu apa-apa tentang kesakitanku.
Sehingga kau tidak perlu bersusah-susah untuk menyembunyikan kebahagiaanmu.
“Ada apa,
Fan?” Aku berusaha sebaik mungkin menyembunyikan kesedihan.
“Kau tidak
akan absen dari pernikahanku kami, kan?” Nada itu segera menuntut jawab.
Andai kau
tahu, Fan. Kalimatmu barusan membuatku ingin membunuh gadis yang sebentar lagi
akan memilikimu. “Aku… aku belum tahu,” jawabku.
“Kenapa? Kau
sakit?” Suaramu cemas. Ternyata aku masih kau pedulikan.
“Sepertinya
begitu.” Ini kali pertama aku membohongimu.
“Kau tahu,
kan? Kau adalah orang yang paling kuinginkan untuk hadir. Aku bisa menunda
pernikahanku hanya agar kau bisa datang, Ser.”
Lalu apakah
penundaan itu bisa mengubah semuanya? Tidak, Fan. Hatiku telah patah.
“Kau ini
bodoh atau apa?” Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan. Rasanya
terlalu sesak hanya untuk berbicara dalam beberapa kata saja. “Aku akan datang.”
***
Dan di
sinilah aku sekarang. Denting piano itu sudah tak terdengar. Aku belum juga
berani melangkah lebih dekat, alih-alih membuka pintu besar itu. Rangkaian
bunga yang melengkung di atas pintu membuatku semakin takut menghadapi
semuanya. Aku tahu aku tidak akan sanggup.
Detik
berikutnya aku memutuskan untuk berbalik. Bersamaan dengan itu kudengar pintu
besar berderit terbuka.
“Sere!” Itu
suaramu.
Sudah
kuputuskan aku tidak akan melihat wajahmu. Aku hanya harus pergi dari sini.
Kulihat pada jalanan di hadapanku. Dari arah kiri sebuah sedan melaju dengan
kecepatan tinggi. Tanpa rasa takut aku menerjang ke arah itu.
Brakkk!!
***
Komentar
Posting Komentar