Secangkir
espresso terhidang di atas meja. Aromanya sampai ke hidungku dalam sekejap.
Kulirik sejenak tangan kurus yang baru saja meletakkannya. Aku lalu mencuri
pandang sekilas ke arah wajahnya. Belum pernah kulihat pramusaji yang satu ini.
Wajah bersih yang manis. Tiba-tiba aku teringat pada tokoh utama dalam novel
yang sedang kutulis.
“Orang baru?” tanyaku tanpa
menyudahi aktivitas membaca yang sejak tadi kulakukan.
Ia tak segera menjawab meski
kutunggu hingga beberapa jenak. Kulirik ke bawah, tepat ke sepatunya. Ia masih
di sana, bergeming.
Aku tidak biasa dihiraukan.
Kutarik napas dalam-dalam seraya meletakkan novel di samping cangkir espresso
yang masih mengepul. Kualihkan pandangan pada si gadis pramusaji. “Kau tak dengar
pertanyaanku?” lemparku sekali lagi.
Matanya menubruk mataku sendiri.
Mata itu berbicara. Mata seorang pencerita. Ia kemudian menunduk dan berlalu
tanpa satu kata pun terucap dari bibir tipisnya. Sementara aku tengah kesulitan
mencerna semuanya.
***
Aku tak bisa berkonsentrasi.
Lembaran microsoft word di hadapanku
masih putih. Hanya ada sebuah garis vertikal kecil yang hilang-muncul di sana.
Gadis itu tanpa sengaja telah menelusup ke dalam otak, mencuri pikiranku. Iris
matanya yang serupa warna teh tak bisa kulupakan.
Agaknya saat ini aku terlalu bingung
membawa ke mana jalan cerita novelku. Dan sekarang tokoh utamanya justru
menjelma menjadi manusia betulan di hadapanku. Apakah aku sedang berhalusinasi?
Aku tak bisa berpikir dengan benar. Dapat satu kalimat, hapus lagi, begitu
seterusnya.
Akhirnya aku tak menulis sama sekali
malam ini. Kurebahkan punggungku ke atas kasur, diam, menerawang. Hal yang
paling kuinginkan saat ini hanyalah menjumpainya. Bukan hanya karena ia serupa
tokoh utama novelku tapi sepertinya aku gila, aku jatuh dalam pesona gadis yang
tak menjawab pertanyaanku tadi pagi.
Kulirik jam analog yang menempel di
dinding kubus besar ini. Pukul sebelas malam. Mungkin ini saatnya tidur. Aku
harus menemuinya besok. Kalau benar dia serupa tokoh utama dalam novelku, maka
akan kusiapkan hadiah kecil untuknya. Untuk gadis yang tiba-tiba menjadi
pemeran utama dalam ceritaku, Kaleela.
***
“Pagi Edward!” Rafael, lelaki
petugas kasir Juliet Coffee menyapaku. Orang-orang sini memang kebanyakan
mengenalku. Lagi pula siapa yang tidak tahu nama besar Edward Antony, sang
penulis romance kenamaan.
“Pagi, Raf!” balasku sambil
melenggang masuk.
Spot
favoritku, meja di sudut yang menghadap jendela, selalu kosong ketika aku
datang. Rasanya menyenangkan untuk duduk berlama-lama sambil menikmati kopi. Sudah
kubawa hadiah kecil itu bersamaku. Sebuah senyuman.
Kali ini aku tidak langsung memesan
kopi dan sarapan. Aku menunggu pada saat yang tepat. Kubunuh waktu dengan
membaca novel yang sejak tadi kubawa-bawa. Di
mana dia?
Selang sepuluh-lima belas menit,
sosok yang kutunggu tak jua muncul. Rasa penasaran sudah memakan kesabaranku
hingga habis. Kututup halaman novel di tanganku, meletakkannya di meja, lalu
bangkit berdiri menuju meja kasir.
“Raf!” aku menepuk pundak lelaki
itu. Ia menoleh.
“Ya? Ada apa?”
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu,”
ujarku setengah berbisik.
Dahi Rafael berkerut. “Soal apa?”
“Kau tahu gadis yang kemarin pagi
menyajikan kopiku?”
“Ah! Kaleela! Memangnya ada apa
dengannya?”
“Ap-apa kau baru saja mengatakan
bahwa namanya… Kaleela?” aku bertanya lagi, tak percaya dengan pendengaranku
sendiri.
“Ya, dia Kaleela,” ujar Rafael
sekali lagi.
“Ke-Ke mana dia pagi ini?” Tuhan! Nama gadis itu Kaleela!
“Oh, dia giliran masuk siang hari
ini. Ada sesuatu?”
“Ah, tidak! Aku hanya penasaran.”
“Memangnya kalian tidak pernah
bertemu? Sejak tiga hari lalu kan dia tinggal di sebelah rumahmu.”
“Hah? Apa kau serius?”
Rafael mengangguk. Senyum ingin tahu
mengembang di wajahnya. “Kau tertarik padanya, ha?” ditanyainya aku dengan
menaik-naikkan alis.
Aku hanya tersenyum miring. Ya, Raf.
Aku lebih dari sekadar tertarik.
***
Pagi berikutnya aku sudah berada di
depan rumahku dengan setelan olahraga. Kubuat serangkaian gerakan pemanasan
sambil sesekali mencuri pandang pada rumah kecil di sebelah rumahku. Benarkah
gadis itu tinggal di sana?
Keringatku sudah bercucuran.
Sebentar lagi sudah tak pantas waktunya berolahraga. Ketika akan menyerah dan
masuk kembali ke dalam rumah, telingaku menangkap sesuatu. Aku langsung menoleh
ketika mendengar bunyi engsel pintu berderit. Kaleela muncul di sana.
Ia membawa nampan berisi cangkir dan
teko keramik. Diletakkannya nampan itu di meja lingkar yang ada dua buah kursi
di dekatnya. Kaleela duduk di salah satu kursi itu. Aku terus memperhatikannya
tanpa berkedip. Kurasa Kaleela menyadarinya karena ia menoleh ke arahku. Tanpa sadar
tanganku melambai. Kusesali tindakan itu karena aku pasti terlihat seperti
orang bodoh!
Tapi sejenak kemudian kutunggui
reaksi Kaleela atas lambaian tanganku yang tidak sengaja. Ia menunjukkan
cangkir sambil tersenyum, tanda mengundangku untuk minum bersama. Tanpa pikir
panjang aku langsung menghampirinya.
“Hai!” sapaku setelah sampai di
halaman rumah nomor dua puluh enam itu.
Ia membalas sapaanku hanya dengan
senyuman. Yang satu ini berbeda. Kaleela dalam novelku tidak punya senyuman.
Ditepuknya kursi kosong di sebelah. Ia masih tak bicara. Hanya dituangkannya
cairan dalam teko itu ke sebuah cangkir baru kemudian diangsurkannya padaku.
“Thanks!”
ucapku. Kusesap rasa minuman yang ada di tanganku. Teh. Serta-merta kutatap
mata gadis di sebelahku yang tadi sempat tertutup cangkir saat kami minum dalam
tempo yang bersamaan. “Kau… Kaleela?”
Ia tersenyum lagi. Mata sewarna
tehnya menyipit. Ia berhasil membuatku ternganga, membeku, takjub.
“Ya,
Edward Antony. Aku Kaleela, gadis yang akan bercerita padamu tentang jalan
hidupnya yang tengah kau tuliskan itu.”
***
Komentar
Posting Komentar