Langsung ke konten utama

Better Together

Aku baru saja meniup lilin sendirian di malam ulang tahunku. Ini adalah hal terpahit yang pernah kualami di awal usia keduapuluhempatku. Selama tiga tahun terakhir malam pergantian usiaku selalu ditemani oleh seorang Teddy. Beruang manisku yang tidak pernah absen membawakan sebungkus kado dan sebuah kecupan.
                Kini yang tersisa dari semua kisah manis itu hanyalah kenangan yang semakin ingin kuenyahkan dari ingatan , semakin menjadi-jadi. Apa yang bisa kulakukan ketika semua yang ada di sekelilingku berkonspirasi dengan hebatnya mencibirku yang tersiksa dengan semua itu? Semua seolah merayakan perpisahan.
Aku hanya menjadi semakin lemah.
                Aku tak tahu semua ini salah siapa. Teddy memang egois dengan segala dunianya. Aku hanya sedikit tidak terima. Andai waktu itu aku tak meraungkan kata putus di hadapannya yang sedang kelelahan sehabis menakhlukkan Semeru, semua tidak akan seburuk ini. Yang aku tahu penyesalan memang tak pernah datang tepat waktu. Kalimat yang kerap kubaca dalam buku itu memang benar adanya. Kini aku sedang menghayatinya dengan sakit yang luar biasa.
                Dan kini waktu sedang memutar salah satu kenangan yang kukutuki itu…
                Aku masih ingat jelas bagaimana Teddy yang seorang pendaki hebat mengajakku bertualang untuk pertama kalinya ke sebuah tempat indah bernama Dieng. Di sana dia menunjukkan padaku betapa menakjubkannya golden sunrise. Dia mengatakan padaku bahwa saat itu adalah momen yang paling indah dalam hidupnya karena ada aku di sana. Pernyataan itu sukses membuat badanku yang menggigil kedinginan seketika menjadi hangat. Dasar Teddy. Dia selalu bisa membawaku terbang ke atas awan.
                Sebutir air mata jatuh di atas lutut yang sedang kupeluk. Air mata itu merembes ke dalam serat kain gaunku membuat setitik noda aneh yang tidak menyenangkan untuk dilihat. Bahkan kejadian kecil seperti ini bisa membuatku semakin rapuh. Aku bisa gila kalau terus-terusan begini.
***
                Aku menyesali kenapa bisa langkahku membawa tubuh ini sampai di sini. Stasiun. Tempat yang paling aneh. Sebuah transisi. Tempat orang saling memeluk dan mengucap salam. Di tempat ini seseorang bisa saja merasakan kebahagiaan yang meluap-luap karena telah bertemu kembali dengan kekasih. Tapi seseorang yang lain juga bisa merasakan kesedihan yang gila karena harus menghadapi perpisahan. Atau seseorang yang lain lagi sedang merasakan kesedihan yang getir karena stasiun adalah tempat dari keduanya, pertemuan dan perpisahan. Yang kemudian dengan sendirinya menjadi kenangan. Seperti kisahku.
                Di tempat inilah aku bertemu dengan lelaki itu. Sosok penuh tawa yang menjadi matahari dalam kehidupanku. Seketika aku seperti terseret ke dalam dimensi lain di tengah kerumunan orang yang hiruk-pikuk.
                Brukkk!
                Seseorang dengan backpack besar baru saja menyenggolku yang hampir jatuh tersungkur. Kulihat ke arah orang itu. Dia hanya melihat sekilas dari balik kaca mata hitamnya sambil berlalu menuju tempat pemeriksaan tiket.
“Cih!” Aku mendengus kesal. Lelaki seperti itu tidak akan kuampuni kalau bertemu lagi. Aku terus mengutukinya sambil menarik koperku menuju tempat pemeriksaan tiket yang sama.
Yogyakarta. Tujuan berliburku kali ini. Aku hanya ingin menyegarkan otakku kembali setelah bekerja keras di waktu-waktu yang sulit. Pekerjaanku sebagai editor sebuah majalah remaja sedang berada pada titik terjenuhnya. Sebenarnya aku asal saja memilih kota gudeg menjadi tujuan. Otakku yang sudah terlalu banyak menanggung beban tidak sanggup lagi memikirkan tempat-tempat mana saja yang bisa dituju. Begitu atasanku menawarkan untuk berlibur kubilang saja aku mau Jogja.
Dengan susah payah aku berhasil membawa koper beratku menaiki dan menuruni anak tangga stasiun yang cukup menguras tenaga. Kereta sudah tersedia ketika aku sampai di peron. Segera kuperiksa tiketku kembali untuk melihat nomor tempat duduk. K3AC 3 12E. Aku masuk ke dalam gerbong ketiga. Kucari-cari deretan bangku nomor 12. Akhirnya ketemu juga.
Seseorang sedang sibuk mengatur bagasi barang yang terletak di atas tempat duduk. Orang itu adalah orang yang sama dengan lelaki yang menabrakku di lobi stasiun tadi. Orang yang kusumpahi untuk tidak memaafkannya. Otakku bertanya-tanya apa maksud Tuhan mempertemukan kami kembali?
Dia sudah selesai dengan kesibukannya. Ditepuk-tepuknya kedua telapak tangan sambil menghela napas lega. Hal yang menyebalkan adalah dia tidak melihatku yang berdiri menunggu. Dia langsung menghempaskan pantatnya ke bangku yang seharusnya menjadi tempat dudukku. Tentu aku langsung menegur karena tidak mau kehilangan spot samping jendela favoritku.
“Hey!”
Lelaki itu menoleh, mengangkat alisnya, berpura-pura tidak melakukan kesalahan apa pun.
“Kau duduk di tempat yang salah,” kataku datar.
“Oh! Benarkah? Sorry!” Dia lalu menggeser posisi duduknya ke bangku 12D.
Aku diam sejenak. Kuputar bola mataku. “Bisakah kau berdiri dulu dari situ? Aku tidak bisa meletakkan koperku ke atas kalau kau ada di situ.”
“Ah! Ya, silakan!” Dia berdiri lalu pergi begitu saja sambil membawa sebotol air mineral yang tadi diletakkannya di meja kecil dekat jendela.
Aku susah payah mengangkat koper itu ke bagasi. Hampir saja tanganku terkilir karena tak kuat menanggung beban. Kutengok kanan dan kiri. Sebenarnya banyak mata yang sedang melihat ke arahku. Tapi sepertinya mereka tidak ada niatan untuk membantu sama sekali. Aku benar-benar sendirian rupanya.
Napasku tersengal ketika sudah selesai melakukan kegiatan sepele namun ternyata menguras tenaga itu. Kuambil sekaleng soda yang ada di tas bagian samping. Cepat-cepat kubuka dan...
“Hey!” Tiba-tiba tangan seseorang menyambar kaleng sodaku sebelum sampai ke bibir.
“Apa-apaan, sih!”
Ternyata lelaki songong itu yang merebut minumanku. Entah sejak kapan dia sudah ada di sana. Diserahkannya botol air mineral yang ada di genggaman tangannya yang lain.
“Ogah!” kataku ketus.
“Air mineral selalu lebih baik daripada soda, Non. Percaya deh!”
Setelah kutatap dia dengan pandangan membunuh, kuambil begitu saja botol air itu lalu menenggak isinya sampai habis.
“Nah, begitu.” Dia mengangguk-angguk puas.
“Jangan bilang kau duduk di sebelahku?” selidikku seraya mengembalikan botol kosong miliknya.
“Tadinya aku sudah berkeliling untuk mencari tempat yang bisa ditukar, tapi tidak ada yang mau. Jadi kau harus terima aku duduk di sini,” jawabnya enteng seraya duduk di sebelahku.
Aku tak mengacuhkannya. Seharusnya aku membeli dua tiket sekaligus, batinku.
Kupakai headset dan kusetel musik dari ponselku keras-keras sambil berpura-pura sibuk memandang ke luar jendela dari atas kereta yang perlahan mulai melaju meninggalkan stasiun.
***
                Pundak kananku terasa berat. Aku terbangun. Entah sejak kapan aku ketiduran. Padahal musik dari ponselku masih bermain dengan keras di kedua telingaku. Sial! Lelaki kurang ajar itu rupanya yang membuat berat pundakku. Dia dengan santainya tidur dan menyenderkan kepalanya di sana.
                Kudorong-dorong kepalanya itu menjauh. “Hey! Hey! Bangun!”
                Si lelaki menggeliat. “Ada apa?”
                “Kau sudah membuat pundakku hampir patah. Kepalamu itu apa sih isinya? Berat tahu!”
                “Ah! Maafkan aku. Aku tidak sengaja.”
                “Lebih baik kau jauh-jauh dariku.”
                “Uh! Galak sekali,” ujarnya lalu menggeser posisi duduknya agak menjauh.
                Aku berpura-pura membersihkan pundakku dari apa pun yang tak kasat mata.
“Omong-omong, kau mau ke mana?”
“Jogja,” jawabku singkat.
                “Liburan?”
                “He, eh.”
                “Sendiri?”
                Kali ini aku mulai geram. “Ada masalah ya, soal aku pergi sendiri atau dengan orang lain?”
                Si lelaki terdiam sejenak, kemudian berkata tanpa melihatku. “Jutek.”
                “Bodo amat!”
                Jeda beberapa menit.
Mainstream sekali pergi berlibur ke Jogja? Cobalah sekali-sekali ke Dieng.”
                Aku meliriknya. “Dieng?”
                “Ya. Kau pasti belum pernah ke tempat itu?”
                Aku menggeleng. “Kau mau ke sana?”
                “Aku punya bisnis di sana.” Diambilnya sesuatu dari tas kecil di pangkuannya. “Ini. Alamat salah satu homestay. Barangkali kau berminat dan kapan-kapan mampir ke sana. Bilang saja kau ada urusan dengan Jack. Kujamin liburanmu akan lebih mudah.” Dia menyerahkan brosur kecil itu kepadaku.
Jack? Namanya sok keren sekali, batinku.
“Kau pasti sedang bersikeras mengingat namaku kan?” Si lelaki menyenggol lenganku seolah-olah aku adalah teman akrabnya.
“Hey! Kau pede sekali!”
“Hahaha!”
Itu semua adalah kenangan awal pertemuanku dengan Teddy yang tanpa sengaja terputar kembali karena aku sedang berada di tempat yang sama. Ya. Stasiun. Entah apa yang sedang kulakukan di sini. Mungkin aku terlalu linglung sampai-sampai bisa tiba di tempat yang berada pada urutan pertama daftar tempat yang tidak ingin kukunjungi dalam waktu dekat ini.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari pintu sebelah kanan dan menuju kawasan Kota Tua. Aku seperti orang dungu karena berjalan sendirian di sore yang masih saja gerah itu. Anehnya otakku terus memutar kenangan demi kenangan yang semuanya adalah tentang Teddy.
Entah bagaimana semenjak pertemuan di kereta itu aku bisa terus berkomunikasi dengannya. Kami menjadi dekat laiknya teman. Dan pada jatah liburanku setelahnya aku benar-benar mengambil Dieng. Kulakukan prosedur sesuai petunjuknya. Namun sampai di homestay aku tertawa ngakak sampai menangis di depan meja resepsionis karena ternyata Jack adalah nama samaran dari seorang lelaki yang bernama asli Teddy. Petugas di sana yang membisikkannya padaku. Teddy. Nama seimut itu!
Saat aku tertawa dengan sangat lepas dan tidak terkontrol seperti orang depresi yang kehabisan obat, si pemilik nama Teddy sudah berdiri di belakangku dan berkacak pinggang. Aku semakin dibuat terpingkal-pingkal oleh tampangnya itu.
Dia kemudian ikut tertawa.
Dieng benar-benar menjadi saksi kisah cinta kami. Entah apa yang bisa membuatku jatuh cinta pada Teddy di pertemuan ketiga itu. Bahkan aku lupa tentang hal sepenting itu dan malah mengingat detail-detail kecil setelahnya. Dasar otak!
 Pernyataan cinta yang terbalas. Ciuman pertama di puncak. Golden sunrise. Pelukan hangat beruang manis itu. Seikat bunga gunung yang diberikannya padaku. Dan mengingat semua itu membuat air mataku kembali merebak.
Seandainya kenangan bisa dihapus dengan mudah. Akan kulakukan apa saja untuk membuatnya jadi tidak ada. Namun nyatanya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sisi keegoisanku melarangku untuk memohon-mohon pada Teddy agar mau kembali padaku. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang sedang mejangkitiku. Jangan-jangan aku sudah sakit…
“Andra?” Seseorang dari arah samping memanggilku yang tengah sibuk memandangi langit di atas Kota Tua. Suara itu suara yang sangat kurindukan. Suara Teddy.
Yang sedang berdiri di sampingku adalah seseorang yang sedang menyamar menjadi patung.
“Ted-Teddy?!” Aku terbelalak. Orang itu benar-benar Teddy. Tapi aku hampir tak mengenalinya kalau saja dia tak bersuara. Dia dalam pakaian safari berwarna emas, sepatu emas, menenteng sebuah senapan bohongan yang juga dibalut warna emas. Bahkan seluruh wajahnya terlumuri oleh cat berwarna emas. “K-Kau? Kenapa bertampang seperti ini?”
“Ah!” Teddy seperti salah tingkah.
Aku menunggu penjelasannya.
“Bi-bisakah kita bicara setelah gelap? Aku sedang tidak boleh banyak bergerak saat ini,” ujarnya.
Aku bingung. “Oh, baiklah. Aku banyak waktu luang kok.” Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu Teddy selesai dengan pekerjaannya melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan manusia patung itu.
***
Langit di atas Kota Tua sudah menghitam. Tidak akan ada bintang-bintang yang muncul di sana. Mustahil untuk bisa melihat bintang di tempat seterang ini. Teddy si manusia emas membawaku ke dalam salah satu bangunan. Tempat para pekerja patung juga sedang membersihkan diri mereka dari sisa-sisa cat. Kulihat perempuan gemuk pemeran Noni Belanda juga ada di sana dalam pakaian normalnya dengan dandanan yang juga normal.
“Kau tunggu sebentar, ya. Sepertinya aku perlu mandi,” ujar Teddy padaku.
Aku hanya mengangguk sambil menikmati bakso bakar di tanganku.
Selang sekira lima belas menit kemudian Teddy keluar dengan tampang yang benar-benar sudah bisa kukenali seutuhnya. Dia semakin tampan.
“Kau tambah ganteng. Padahal kita baru tidak saling bertemu sekitar empat bulan,” ungkapku sambil berjalan mengimbanginya.
“Ah, kau bisa saja. Kau tetap cantik! Eh, kau pasti lapar?”
“Yeah. Aku di sini sejak tadi sore.”
“Ayo kita makan! Kau mau makan apa?”
“Tunggu dulu.” Aku berhenti. “Kita bertingkah seperti ini seolah-olah tidak pernah ada suatu hal buruk yang terjadi.”
“Ah, Andra… Aku menyesalinya. Sumpah demi Tuhan!” Teddy mengandeng tanganku untuk kembali melangkah.
“Lalu kenapa kau tidak melakukan apa pun? Kau tidak pernah mendatangiku selama ini!” Emosiku mulai naik. Kusentakkan tangannya.
“Kupikir kau sudah bersama dengan orang lain. Yah, kau tahulah cewek-cewek kota kebanyakan…”
“Aku bukan cewek kota kebanyakan, Ted!” potongku. “Kukira kau kenal aku.” Aku mendengus.
“Aku memang salah, Andra. Waktu itu aku terlalu sibuk sampai-sampai menyepelekan kita.”
“Baguslah kalau kau sadar. Tapi sayangnya telat.” Aku memandang ke arah lain.
“Apa sudah seterlambat itu? Ternyata aku benar-benar kacau tanpa kau.”
“Kau pikir aku baik-baik saja?!” teriakku.
“Saat ini aku sedang berusaha menjadi Teddy yang baru, Andra. Aku tidak ingin mengulang kisah lama. Jauh-jauh hari aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa jika sampai aku dipertemukan kembali denganmu, tidak akan aku menyia-nyiakan waktumu lagi. Aku sudah memutuskan untuk selalu berada di dekatmu.”
“Tidak ada yang bisa menjaminnya, Ted.” Kutendang sebuah gelas plastik bekas di dekat kakiku keras-keras.
“Aku bisa! Bahkan aku sudah meninggalkan kesenanganku mendaki dan berkutat dengan pekerjaan konyol ini demi kau. Bisa dibilang saat ini aku sedang mempersiapkan diri untuk kembali bersamamu. Bahkan aku sudah memikirkan untuk memulai pencarianku. Tapi sekarang kita malah telah dipertemukan waktu lebih dulu.”
“Aku tidak tahu, Ted. Salahku juga waktu itu minta putus darimu.” Aku mulai sedikit melunak.
“Tolong jangan permasalahkan hal itu lagi, Andra.”
“Sepertinya kau sudah gila. Dan aku tidak…”
Si beruang manis memelukku sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
“Tolong, Andra… jangan membuatku lebih gila lagi. Dan, selamat ulang tahun, Sayangku.”
Aku meleleh di pelukannya.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah