Langsung ke konten utama

Heavenly Somewhere

Aku mendengar suara ketukan berkali-kali di dinding yang sedang kusandari. Berisik sekali. Sangat mengganggu aku yang sedang sibuk memikirkan nasib kakakku yang buta karena kutinggalkan begitu lama. Dia bahkan tidak tahu bahwa aku sedang berada di tempat terkutuk ini.
                Aku kangen padanya. Aku ingin menemuinya. Tapi saat ini itu semua tidak mungkin. Aku tidak ingin dia melihatku seterpuruk ini.
                Tuk! Tuk! Tuk! Suara itu terdengar lagi. Seseorang seperti sedang sengaja memukuli tembok dengan suatu benda keras. Mungkin orang itu sudah terlalu gila sehingga berpikiran bahwa dengan menjebol tembok itu dia bisa kabur dan bebas. Dia tidak tahu kalau masih ada sel lain di sebelahnya. Lagipula tembok ini terlalu kuat. Bahkan dengan martil besar pun tidak akan semudah itu dirobohkan. Dasar dungu.
                Tuk! Tuk!
Sel baruku ini rupanya tak lebih baik dari kubus berjeruji yang mengurungku sebelumnya. Aku dipindahkan ke sini karena alasan yang tidak kumengerti. Sepertinya orang-orang berseragam itu hanya ingin memindahkanku. Mereka bisa melakukannya hanya karena mereka ingin aku pindah.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Sungguh orang itu ingin mati! Jumat nanti, saat kegiatan kerja bakti warga LAPAS dilakukan, aku akan memastikan siapa orang dungu itu. Aku ingin memperingatkan dia untuk tidak mengganggu orang lain. Di tempat seperti ini banyak orang bengis yang sering gampang sekali marah. Kalau bertingkah begitu terus bisa-bisa orang itu mampus sebelum masa hukumannya habis.
Selain orang bengis di tempat ini juga tidak sedikit orang-orang malang yang dengan suatu sebab harus meringkuk tanpa bisa banyak membela diri. Aku contohnya. Aku adalah korban dari kejahatan terselubung dari keluarga seseorang brengsek berduit yang sudah lama mengejar-ngejar kakakku. Ya. Dengan tanganku ini aku membunuhnya. Tidak sulit bagiku untuk menghilangkan nyawa seseorang. Aku adalah mantan anggota agen rahasia.
Tidak. Aku tidak menyesal sama sekali dengan keadaan ini. Setidaknya aku tahu bahwa kakakku sudah bebas dari lelaki hina itu untuk selamanya. Lelaki yang dulu sekali pernah dicintai kakakku yang polos dan tidak tahu apa-apa. Tetapi lelaki itu justru membuatnya buta dalam sebuah kecelakaan mengerikan ketika kakakku yang cantik dikejarnya setelah bertengkar suatu malam di depan sebuah kafe di pinggir jalan.
Waktu kutanya kenapa kakakku lari darinya, dia bilang lelaki itu menuntut untuk berhubungan seks. Tentu kakakku tidak mau walaupun yang meminta adalah lelaki pujaannya. Kakakku bukan gadis murahan.
Puncaknya adalah pada suatu malam ketika lelaki itu mendatangi rumah kami. Dia tetap menginginkan kakak. Padahal kulihat kakakku sudah ketakutan setengah mati melihat tampangnya yang penuh nafsu. Aku tentu tidak tinggal diam. Kami berkelahi. Tentu serangan-serangan orang amatiran itu tidak berarti apa-apa bagiku.
Kubunuh orang itu dengan sekali pukulan tepat di tengkuknya. Keluarganya tidak terima. Aku dipenjara meski tindakanku adalah sebuah pembelaan.
Hingga kini sudah tiga tahun aku tidak bertemu dengan kakak. Aku minta temanku yang seorang psikolog untuk menjaganya baik-baik. Lewat surat-surat yang kutitipkan padanya kukatakan pada kakak bahwa aku sedang bertualang ke tempat-tempat bagus di seluruh Asia. Dan sampai saat ini dia masih percaya itu.
***
                Jumat pagi, waktunya bersih-bersih. Aku teringat pada seseorang yang suka memukuli tembok itu. Aku ingin tahu siapakah dia. Saat sudah kupegang alat pel, aku sengaja mendekat ke depan selnya sambil berpura-pura mengepel lantai. Betapa yang kulihat kemudian membuat hatiku hancur. Sosok itu adalah seorang perempuan. Seumuran dengan kakak. Aku tentu langsung membayangkan bagaimana hidup kakakku di luar sana. Untung saja temanku itu menjamin bahwa kakak akan baik-baik saja.
                Aku heran dengan  sistem yang berlaku di LAPAS baru ini. Seorang tahanan perempuan ditempatkan di sel bercampur dengan para napi laki-laki? Yang lebih miris lagi kaki perempuan itu dirantai seperti binatang buas. Aku tidak tahan melihatnya. Entah apa yang sudah diperbuatnya, tetap saja perlakuan itu tidak manusiawi.
Diam-diam kuperhatikan dia. Aku bisa melihat pesona tersembunyi di balik kelabunya keadaan perempuan itu. Tidak. Aku tidak pernah salah menerka. Dia memang memesona. Andai saja wajahnya yang tertunduk itu tengadah sejenak, aku pasti bisa memastikan bahwa semua itu benar.
Selama ini aku sangat lihai mengalihkan ketertarikanku pada kaum hawa. Aku belum pernah menjalin sebuah hubungan emosional dengan perempuan. Pekerjaanku dulu sebagai agen rahasia mengharuskanku untuk terbebas dari hal-hal seperti itu. Hidupku bukan untuk bersenang-senang. Tapi itu dulu. Kini setelah pensiun aku bebas menjalin hubungan dengan siapa pun terlepas dari keberadaanku di tempat terkutuk ini yang membuat kebebasan itu menjadi suatu lelucon semata.
Sejurus kemudian perempuan itu seperti sadar tengah diamati. Dia menatapku dengan kesayuan matanya. Keputusasaan. Tatapan yang mengisyaratkan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Dia telah terkurung kebencian pada hidup.
Tapi di mataku dia seperti malaikat. Kalau saja sekelilingnya adalah cahaya, bukan kubus pengap, dia akan sesempurna malaikat.
Aku ingin mendekatinya, ingin membuatnya bangkit dari keterpurukan itu. Tapi keadaanku ini membuatku seperti babi pengecut. Dia pasti akan memandang bahwa aku tidak lebih baik dari dirinya. Kami sama-sama sebagai pesakitan sekarang. Maka kuurungkan niatku dan aku hanya kembali mengepel lantai sambil sesekali menatap pada sosoknya yang kembali menekuni aktivitas memukuli tembok yang sia-sia.
***
Ini hari ketujuhpuluhsembilan sejak aku melihat sosoknya untuk pertama kali. Aku sendiri sudah lupa kapan seharusnya aku keluar dari tempat ini. Aku begitu menikmati pesona gadis itu. Setiap Jumat pagi aku selalu membersihkan bagian tempat di mana aku bisa melihat sosoknya. Meski hanya sekadar memandang dan kadang berfantasi mengenai dirinya di dalam selku sendiri, aku merasa Tuhan masih memperhitungkan keberadaanku di semesta ini. Sebut saja aku tiba-tiba memiliki sebuah gairah untuk melanjutkan hidup.
Hingga pada pagi ini aku dibuat kebingungan setengah mati. Aku tidak melihat sosok gadis itu di dalam selnya. Tidak, sampai jam bersih-bersih telah usai dan semua tahanan harus kembali ke dalam sel. Ada kekecewaan yang begitu dalam. Ada asa yang seolah terlempar ke dalam parit begitu saja. Hari-hariku kembali kosong.
Tapi mulai detik itu, mulai pada hari aku tidak mendapati sosoknya lagi di sana, aku tidak pernah sedikit pun bisa menghapus bayangan gadis itu di kelopak mataku. Seolah dia telah melekat di sana dengan magisnya. Kemudian muncul sebuah pikiran yang bercabang ke arah berbeda. Mungkin gadis itu sudah dipindahkan ke tempat lain. Atau mungkin dia sudah bebas. Sebuah harapan.
Suka cita melingkupiku ketika sipir mengatakan bahwa beberapa hari lagi aku akan bebas. Aku memang tidak memiliki rencana hidup apa pun. Tapi aku masih punya satu tujuan. Aku harus memastikan gadis itu mendapatkan hidupnya kembali. Ada keyakinan yang sangat kuat dari dalam diriku bahwa aku akan bisa menemukannya.
***
Pemakaman. Aku suka sekali dengan kesunyiannya. Di tempat ini tidak ada kepura-puraan. Dan patung-patung dari batu berbentuk makhluk-makhluk bersayap ini lebih bersahaja dari apa pun. Aku tidak jarang mengobrol dengan mereka yang sepertinya ingin sekali bisa bicara. Mereka tidak pernah mengejekku.
Aku Sophia. Seorang mantan pembunuh. Beberapa tahun lalu aku gagal menghapus jejak sehingga harus mendekam di penjara. Tidak, aku bukan agen rahasia atau pembunuh bayaran. Aku hanya sekali membunuh orang.
Saat itu aku hanya kebetulan mendapatkan keberanian untuk melawan suamiku yang keji. Lelaki yang bertahun-tahun menyiksaku dalam ikatan perkawinan yang tidak kuinginkan sejak awal. Dan aku membunuhnya dengan cara yang tidak bisa kuceritakan di sini. Aku hanya tidak ingin kau muntah dan pusing setelah mendengarnya.
Aku tidak tahu apa yang telah merasukiku saat semua itu terjadi. Kejadiannya begitu cepat dan tanpa ampun. Kalau harus mengulanginya, aku yakin tidak akan mampu.
Semua orang menganggapku gila. Seorang psikopat, begitu gelar yang dilekatkan padaku. Semua orang tidak menerimaku. Bahkan di penjara pun aku diperlakukan seperti anjing gila. Hanya tempat ini dengan kesunyiannya yang syahdu mampu memberiku kedamaian sementara.
Aku baru saja bebas dari penjara. Tidak, aku berada di pemakaman ini bukan untuk mengunjungi makam mantan suamiku yang malang itu. Aku memang sangat suka berada di tempat ini. Itu saja.
Suara gemerisik dedaunan dan ranting-ranting yang patah terinjak mengganggu penghayatanku. Aku menoleh ke asal suara itu. Ada seseorang di sana. Laki-laki. Ah! Aku benci laki-laki. Oh, tunggu! Rasa-rasanya aku pernah melihat sosok itu.
Langkah lelaki itu semakin mendekat. Aku bersembunyi di balik patung makhluk bersayap yang penuh kerak.
Dia menemukanku. Bermenit-menit lamanya dia berdiri di sana, beberapa meter dari tempatku berada tanpa bicara dan bergerak. Hampir sama kakunya dengan patung-patung di seluruh pemakaman ini. Dia seperti menunggu.
Aku sedang berusaha mengingat-ingat di mana aku pernah melihatnya karena aku sungguh yakin bahwa aku mengenalinya. Kemudian aku terkesiap. Lelaki itu adalah tahanan yang sering memperhatikan aku dulu saat berada di dalam sel. Satu-satunya lelaki yang entah bagaimana tidak bisa kumusuhi.
 Dia menangkap basah perubahan pada wajahku. Kemudian tersenyum. Mendatangiku dengan langkah cepat dan mencium bibirku tanpa bisa kutolak. Lama sekali.
“Selamat merayakan kebebasanmu! Aku turut bahagia.” Kemudian dia pergi begitu saja setelah mengucapkan dua kalimat pendek itu.
Malaikatkah?
***
                Aku jatuh cinta padanya. Pada gadis di dalam kubus berjeruji itu tanpa alasan. Hari ini aku menemukannya secara kebetulan di sebuah area kuburan. Dia sedang sendirian di sana. Susah payah kusembunyikan suka citaku yang membuncah itu dari tatapannya. Tapi aku tidak bisa sedikit pun menahan untuk tidak melangkah maju dan menciumnya.
                Setelah itu aku masih ingin berlama-lama dengannya. Tapi sepertinya itu bukan hal bagus. Aku akan mencari sesuatu yang pantas kuberikan padanya lalu kembali. Kutinggalkan dia di sana dengan raut wajah kebingungan dan penuh keterkejutan.
Aku memang sudah gila.
***
                                Lelaki itu kembali. Di genggamannya ada seikat ranting kering. Dia menuju ke arahku yang sedang duduk di atas tanah kosong. Kali ini dengan senyuman yang tidak kumengerti apa maknanya.
                Dia duduk di sebelahku. “Kau lihat ranting ini? Inilah kau yang berada di balik jeruji itu. Dan ini juga aku yang berada di samping selmu yang sebelum aku melihatmu untuk pertama kalinya telah kaubuat kesal dengan pukulan-pukulanmu pada tembok keras itu.”
                Dia kemudian mengambil pemantik dari dalam sakunya. Dibakarnya ranting-ranting kecil itu sampai menjadi abu. Puluhan menit lamanya mata kami sama-sama tertuju pada sisa-sisa pembakaran itu yang hanya tinggal abu, tidak ada lainnya.
                Angin yang tiba-tiba berembus membuatku tidak bisa menangkis abu yang beterbangan ke mataku. Membuatku harus mengusap-usap dan mengerjap. Pedih.
                Lelaki itu tidak susah-susah membantuku. Dia hanya terus menatapku. Dan setelah aku bisa mengatasinya, dia berkata, “Kau lihat bagaimana masa lalu itu? Meski dia sudah berlalu jika kita tidak beranjak meninggalkannya maka akan sama saja. Dia masih bisa menyakiti kita. Masih bisa membuat kita kerepotan dengan apa yang tersisa di sana.”
                Dia mengambil napas dalam-dalam masih sambil menatapku. Aku seolah tersihir ke dalam matanya yang seperti lautan.
                “Abu yang menyakiti matamu itu adalah kenangan buruk. Kenangan yang ada di kehidupanmu sebelum ini. Aku tidak tahu seperti apa itu. Dan lagipula aku juga tidak peduli.”
                Dia menyibakkan rambut yang menutupi wajahku. Aku mematung. Dia benar-benar seperti malaikat yang mengikuti alur hidupku dan tahu segalanya.
                “Aku hanya ingin kau terbebas dari semuanya. Apa pun yang membuatmu terpenjara. Rasa bersalah. Rasa benci. Kecewa. Tidak diterima. Apa pun itu. Kau sama sekali tidak pantas untuk menekuni semua itu.”
                Sisi lain dari diriku seperti terbangun. Lelaki seperti ini ternyata ada di semesta! Dia terus mengoceh dengan kalimat yang kudengar terlalu bersahaja diucapkan oleh manusia. Kali ini aku yang seolah ingin melompat menggapainya.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah