Langsung ke konten utama

Natural

“Aku sayang kamu.” Lelaki di sampingku ini mengucapkan kata-kata itu seolah tanpa ragu.
                Aku menoleh padanya. Terkejut. Kami baru saja membicarakan tentang masa depan. Apa yang akan aku lakukan lima tahun yang akan datang dan semacamnya. Tidak ada sama sekali di antara kami yang mengambil topik tentang perasaan. Dan tiba-tiba pembicaraan itu terhenti beberapa saat ketika ia mengucapkan kata-kata yang membuatku speechless. Bagaimana tidak? Aku baru mendengarnya pertama kali. Ini pertama kalinya aku mendapat ungkapan sayang dari seorang lelaki.
                “Aku tidak tahu harus mengatakan apa, Hanif.” Akhirnya aku memecah keheningan.
                “Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan. Itu saja.”
                Aku dan Hanif memang dekat sejak beberapa bulan lalu. Kami dikenalkan dalam pernikahan sepupu kami. Jadi kalau dihitung-hitung aku dan dia sekarang menjadi saudara jauh. Yang membuat kami dekat adalah sebuah hal yang konyol. Aku dulu sempat suka pada temannya. Lewat Hanif aku mencari info tentang lelaki yang kusukai itu. Obrolan itulah yang membuat kami justru sering bertemu.
Kalau kami sudah duduk bersama, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Kami membicarakan apa saja. Lama-lama tujuan awalku menjadi bias. Tapi aku tidak melihat itu sebagai suatu masalah. Aku selalu menikmati setiap waktu bersamanya. Tidak tahu apa itu namanya. Tapi semua ini menjadi aneh karena kami adalah saudara, meski jauh dan tidak ada hubungan darah.
“Hey. Mengapa kau jadi diam begitu? Jangan jadi aneh karena aku mengatakan ini.” Suara Hanif membawaku kembali ke kenyataan.
“A-aku cuma tidak tahu harus ngomong apa lagi. Kau membuat semuanya menjadi canggung.”
“Hahaha! Aku sama sekali tidak merasa canggung atau bagaimana. Kita kan sudah sama-sama dewasa. Perasaan seperti ini wajar kita alami.”
“Eh. Tapi tunggu! Bukannya kau dan Deya...?”
                “Ya. Aku dan Deya memang pacaran. Dan aku menyesal karena aku bertemu dengannya lebih dulu daripada denganmu.”
                “M-maksudnya?”
                “Awalnya aku memang mengira bahwa gadis itu berbeda. Aku tertarik padanya karena itu. Tapi sekarang dirinya seolah tergantikan oleh keberadaanmu.”
                Apa-apaan ini? Apa lelaki memang seperti ini? Seenaknya saja menukar-nukar perasaan begini. Aku sama sekali tak mengerti.
                “Dengar, Hanif. Aku tak ingin menjadi masalah antara kalian. Aku juga seorang perempuan.”
                “Kau tidak perlu merasa bersalah. Kalau ada yang harus disalahkan dalam keadaan ini adalah aku.”
                “Hanif, masalah perasaan perempuan tidak segampang itu.”
                “Shana, sepertinya sudah malam. Aku pulang ya. Semoga setelah ini kau tidak menjauhiku.” Hanif melangkah pergi meninggalkan aku yang tetap duduk di bangku teras sambil menatap punggungnya yang lama-lama hilang.
***
                Otakku terus mengulang ingatan tentang malam itu. Aku hanya sedang berusaha menata sikap kalau nanti bertemu lagi dengannya. Seperti apa yang sudah dia katakan. Aku juga tidak ingin kami menjadi canggung dan aneh. Tapi bayangan senyum Hanif terus muncul di setiap kesempatan. Di depan layar televisi. Di dalam lembaran buku yang sedang kubaca. Bahkan di piring-piring yang sedang kulap setelah dicuci oleh Mama.
                Prang! Tanpa sengaja aku menjatuhkannya. Piring terakhir itu pecah di dekat kakiku.
                “Shana? Kau kenapa, Nak?” Mama menghampiriku.
                “Aduh, Ma. Maaf Shana nggak sengaja.”
                “Nggak apa-apa. Tapi kamu kenapa? Sepertinya sedang ada yang kamu pikirkan ya?” tanya Mama sambil membersihkan pecahan piring.
                Aku terdiam beberapa saat sampai Mama meletakkan sapu dan kembali.
“Shana?”
                “Eh. I-iya, Ma.”
                “Ada apa?” Mama mendesakku.
                “Emmm… anu... itu, Ma…”
                “Apa sih? Yang jelas dong, Sayang.”
                “Emmm… Shana mau tanya sesuatu sama Mama. Tapi-tapi ini cuma sekedar tanya ya, Ma.”
                “Iya. Apa?”
                “Ma, gimana kalau misalnya… misalnya ada seseorang yang suka sama Shana… gimana, Ma?”
                “Kamu suka juga sama dia? Terus mau pacaran begitu?” Mama langsung menyerangku.
                “Bukan, Ma. Bukan. Ini kan misalnya, Ma.”
                “Iya. Misalnya. Terus kamu mau apa? Jadian begitu?”
                “Aduh, Mama... Oke. Kalau mi-sal-kan kayak gitu gimana, Ma?” Aku memberi penekanan pada kata misalkan. Semoga Mama tidak curiga dengan pertanyaanku.
                “No way! Tidak ada kata pacaran untukmu.”
                Jleb! Mama menang telak.
“Suka kan bukan berarti pacaran, Ma.” Aku melakukan pembelaan.
                “Iya. Kalau memang serius ya menikah saja. Kenapa harus pakai pacaran yang belum tentu jadi menikah. Buang-buang waktu itu namanya.”
                Aku mengeluyur pergi dari dapur, meninggalkan Mama yang tiba-tiba menjadi menyeramkan.
***
                NB’s Book Store pukul empat sore. Aku sedang mencari hadiah untuk kakakku yang berulang tahun besok. Dia suka sekali membaca, makanya novel bagus adalah hadiah yang tepat. Kuhampiri novel-novel yang berjajar di rak samping toko yang menghadap ke kaca, tempat biasanya diletakkan novel-novel recommended. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seseorang di seberang toko.
                Gadis itu Deya. Rupanya dia sekarang sudah berhijab. Apa karena Hanif? Seserius itukah?
Ia sedang berada di toko bahan-bahan kerajian tangan. Untuk apa? Ah, kenapa aku jadi ingin tahu seperti ini? Ini bukan urusanku. Aku juga tidak ingin bertemu dengannya. Sebisa mungkin aku tidak ingin dia mengenaliku.
                Kubawa tiga buah buku yang sudah kupilih di tanganku ke meja kasir, segera membayarnya dan berlalu dari toko itu. Ah! Aku melupakan sesuatu ketika sudah hampir melewati deretan toko-toko terakhir di blok ini. Aku terpaksa berbalik untuk membeli kertas pembungkus kado. Menyebalkan sekali menjadi seorang pelupa.
Dari kaca depan sebuah toko aku melihat kertas itu dijual di sana. Bergegas aku memasuki toko itu. Ada satu motif yang langsung menarik perhatianku. Gambar daun-daun maple. Aku langsung mengambilnya. Tapi bersamaan dengan itu tangan seseorang juga memegang kertas yang sama.
                Orang itu Deya. Dan mata kami bertemu.
                “Hai! Kalo tidak salah namamu Shana ya?” Dia menegurku lebih dulu.
                “Iya. A-aku Shana. Kau s-siapa ya?” Oh yeah. Aku mulai ber-akting seolah-olah tak mengenalnya.
                “Hmm… sepertinya kau lupa. Aku Deya, pacar Hanif. Kau saudaranya kan?”
                “O-oooooh ya ya! Deya. Ahaha! Aku tidak mengenalimu.” Aku berkata sambil mengambil selembar kertas pembungkus kado yang lain. Sepertinya motif bintang juga tidak masalah.
                “Hmm… wajar, Shana. Terakhir kita bertemu aku belum menutup kepalaku.” Deya memegang jilbabnya. Ia tetap mengambil kertas bergambar daun-daun maple itu.
                “Tapi kau tambah cantik dengan hijabmu,” kataku sambil berjalan menuju kasir.
                “Ah, terima kasih. Oh, ya. Habis ini kau mau ke mana?”
                “A-aku ada janji dengan teman di Café Socius. Ya sudah. Aku duluan ya, De. Sepertinya temanku sudah menunggu. Bye, Deya!”
                “Oh. Oke. Bye, Shana!”
                Aku meninggalkan percakapan basa-basi itu. Sebisa mungkin aku tak menengok ke belakang.
***
                “Kak Dillaaaa! Happy birthday!!!” Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur kakak perempuanku.
                “Aduh, Shanaaaa! Ini masih pagi sekali! Nanti saja kalau mau mengucapkan selamat.” Kak Dilla menggeliat di balik selimutnya.
                “Oh. Jadi kakak nggak mau kadonya?” Aku terus menggodanya.
                “Hah? Kado?” Ia langsung bangun mendengar kata yang menggiurkan dariku.
                “Nih!” Aku menyerahkan bungkusan itu kepada Kak Dilla.
                “Waaaah! Thanks, Shana!”
                “Selamat ya Kak. Kakak tambah tua,” ujarku sambil berlari keluar kamar.
                “Shanaaaaa!!!” Kak Dilla mengejarku sampai ke teras.
                Aku tergelak karena berhasil lolos darinya. Tapi yang kulihat di sana kemudian berhasil membuatku langsung terdiam.
                “Eh, Hanif. Ada apa, Nif? Pagi-pagi sekali sudah ke sini?” Kak Dilla menyapa Hanif yang sudah berdiri di depan pintu pagar.
                Hanif memakai jersey, celana olah raga dan sepasang sepatu kets. Sebuah handuk kecil terkalung di lehernya. Ia membuka pintu pagar dan berjalan ke teras. Tersenyum padaku.
                “Ayo, Shana!”
                “Ayo? Ayo ke mana?”      
                “Loh tidak baca pesanku di ponselmu?”
                “Pesan apa?”
                “Aku mengajakmu jogging.”
                “Hah? Serius? Aku belum memeriksa ponselku sejak bangun tadi. Maaf ya, Hanif. Kalau begitu tunggu sebentar.” Aku berlari ke kamar, mengganti pakaian tidurku dengan celana training dan jaket. Tak lupa aku juga memakai sepatu olah raga kesayangan.
                “Kau dandan dulu ya? Lama sekali!” Hanif yang menunggu di teras memasang wajah cemberut.
                “Duh. Maaf kalau lama tapi aku tidak dandan tauk!”
                “Haha! Sudahlah. Ayo!”
                Aku dan hanif berlari mengitari taman komplek. Saat itu aku berusaha keras untuk bersikap biasa sementara Hanif bersikap sangat natural seolah tidak ada yang berubah di antara kami. Ah, Hanif. Andai saja aku mendapat restu dan kau bukan milik seseorang...
“Shana? Kau kenapa diam saja? Pasti tak mendengar apa yang baru saja kukatakan.”
                “Hah? Apa? Kau mengatakan apa? Aduh. Maafkan aku!”
                “Kau masih ngelindur ya?”
                “Maaf. Aku sedang memikirkan sesuatu.”
                “Apa? Memikirkan aku?”
                “Iya. Eh, bukan. Anu… maksudku…” Aduh! Gagal sudah rencanaku untuk bersikap biasa.
                “Hahaha! Kau lucu sekali kalau sedang bingung, Shana. Sudahlah kau tidak perlu bingung. Kau sudah tahu perasaanku. Jadi tidak ada masalah.”
                “Hanif! Kau ini bagaimana sih? Kau tidak kasihan pada Deya. Dia mencintaimu.”
                “Tapi aku mencintaimu, Shana. Pada Deya aku lebih menyayanginya seperti seorang adik.”
                Aku menggeleng. “Kau membuatku pusing, Hanif.” Lalu aku berlari meninggalkannya.
***
                Aku sedang berjalan pulang dari kampus ketika tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya. Cepat-cepat aku mencari tempat berteduh. Cafe Juliet. Itu tempat yang paling dekat untuk kujangkau. Aku berlari ke dalam. Ternyata suasana di dalam kafe bergaya klasik itu sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Aku mencari tempat duduk di tepi jendela, spot favoritku.
“Shana!” Suara seorang perempuan memanggilku. Suara ini?
                “Deya?” Aku mendekat ke tempat duduk di sudut. Deya sedang sendirian di sana. Di atas meja di hadapannya ada dua buah cangkir kopi dan sebuah bungkusan. Bungkusan bermotif daun maple itu. “Kau sendirian saja?”
                Ia hanya mengangguk. Kulihat kedua matanya sembab. Sudah pasti dia habis menangis.
                “Kau… kenapa, Deya?”
                Ia tidak segera menjawab. Diambilnya kertas tisu untuk menyeka air matanya yang justru kini kembali berderai.
                Jangan-jangan karena  Hanif, batinku. Aku mengambil tempat duduk di hadapannya. Sebenarnya aku bingung harus bagaimana. Deya dan aku memang saling kenal tapi kami bukanlah teman baik.
“K-kau kenapa, Deya?”
                “Hanif, Shana, Hanif…”
                “Ada apa dengan Hanif? M-maksudku kalian kenapa?”
                “Hari ini adalah tepat setahun hubungan kami, Shana. Aku sengaja mengajaknya bertemu di sini. Tapi… tapi Hanif baru saja pergi setelah memutuskanku begitu saja. Aku… aku tidak tahu apa salahku. Dia bilang bahwa sejak awal kami memang tidak seharusnya pacaran. Aku tak tahu apa maksudnya.” Deya berbicara dengan sesenggukan.
                “Sekarang dia pergi?” Aku mencoba mencerna apa yang terjadi.
                “Iya. Dia pergi. Bahkan hadiah yang sudah kupersiapkan ditolaknya.”
                Mataku tertuju kembali pada bungkusan kado bermotif daun maple itu. Aku tahu bagaimana kecewanya Deya pada Hanif. Perempuan ini benar-benar mencintai Hanif. Tidak seharusnya Hanif memutuskan Deya seperti itu. Tapi bagaimana pun dalam hati aku berharap Deya tidak akan meminta aku untuk membantunya balikan dengan Hanif. Karena aku tahu itu tak akan berhasil.
                “Oh. Shana, maaf ya aku membuatmu ikut dalam masalahku dengan Hanif. Aku sungguh tidak bermaksud untuk merepotkanmu. Maaf, Shana.”
                “Jangan meminta maaf, Deya. Aku tidak keberatan mendengarkanmu. Aku juga seorang perempuan.”
“Terima kasih, Shana. Kau baik sekali. Oh, hujan sudah reda. Aku ingin segera pulang. Aku butuh menenangkan diri dari semua ini.” Deya kemudian bangkit dari kursinya. “Maaf ya, Shana. Aku duluan.” Ia kemudian berlalu dari kafe itu setelah mampir sejenak di meja kasir.
Aku menatap kepergiannya dengan perasaan bingung. Secara tidak langsung akulah yang menjadi penyebab sakit hati Deya.
Hanif…
***
Hanif mengajakku melihat-lihat pasar malam. Tadinya aku sudah berusaha menolak karena bukan tidak mungkin kami akan bertemu Deya di sana. Who knows? Tapi Hanif tetap kukuh berusaha membawaku ke sana. Jadilah aku dan Hanif berjalan-jalan di antara keramaian itu. Entah apa yang ada di pikiran seorang Hanif. Dia laki-laki. Bukankah tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang perempuan begitu saja?
“Kau melamun lagi?” Suara Hanif mengagetkanku. Aku lagi-lagi tertangkap basah sedang melamun.
“Tidak.” Kali ini aku berusaha untuk mengelak.
“Shana, apa harus sikapmu berubah seperti ini hanya karena aku menyatakan perasaanku?”
“Hanya? Hanya katamu? Hanif, permasalahan ini bukan hal mudah. Kau lihat bagaimana kecewanya Deya padamu.”
 “Aku tahu, Shana. Itu akan mengecewakan. Tapi aku tidak ingin membuatnya lebih sakit lagi jika diteruskan.”
“Kau gila!”
“Aku waras, Shana. Aku memikirkan perasaannya. Aku tahu hubunganku dengannya tidak bisa diteruskan. Yang kuinginkan menjadi pendampingku adalah kau jika itu mungkin. Sama sekali bukan dia.”
“Tidak mungkin, Hanif. Kita tidak bisa jalan seperti saat kau bersama Deya. Kau tahu Mama, kan? Tidak ada kata pacaran untuk keluarga kita. Termasuk aku dan kau.”
“Ya. Aku tahu. Dan aku benci keadaan seperti ini. Aku mencintaimu tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Aku juga bingung, Hanif. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya semua ini berjalan.”
“Jujur. Aku tidak pernah punya keinginan untuk menikah muda, Shana. Masih banyak yang ingin kulakukan sebelum itu. Tapi perasaanku padamu ini datang begitu saja.”
“Aku juga tidak siap menikah sekarang, Hanif.”
“Ah, percakapan ini menjadi semakin menyebalkan! Biarlah semua berjalan seperti ini.”
“Ya. Mungkin kau ada benarnya, Hanif.”
“Tapi, jika suatu saat nanti aku belum juga siap dan kau sudah ingin menikah… dan kau menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku, jangan pernah ragu. Menikahlah. Aku akan ikut bahagia dan selalu mendoakanmu.”
“Aku tidak tahu bagaimana nanti akan terjadi, Hanif. Tapi semoga itu adalah yang terbaik. Ya. Benar katamu. Biar saja semua ini tetap seperti ini. Kau dan aku tetap seperti ini.”
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah