Langsung ke konten utama

Love Letter

“Permisi!! Permisi!!!”
Aku berada di antara lautan manusia yang sedang mengikuti festival San Genarro. Aku tidak memperhitungkan suasana minggu terakhir September di Little Italy. Tentu tujuanku bukan untuk bergabung ke festival dan menuju ke barisan paling depan. Aku hanya sedang mencoba menyeberangi barisan warna-warni orang Italia-Amerika ini. Kulihat jam besar di dinding restoran Labella Ferrana sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Sial! Aku terlambat. Seharusnya aku sampai ke tempat itu sejak setengah jam yang lalu.
Semoga dia masih di sana. Semoga…
Akhirnya aku berhasil melewati keriuhan festival terbesar di Little Italy itu dengan susah payah. Rambutku berantakan—tidak—semuanya yang melekat pada diriku berantakan. Gaun selututku, dandananku. Oh, yeah! Aku akan bertemu seseorang yang begitu istimewa dengan keadaan seperti ini?! Tapi aku tidak menyerah. Segera kupacu langkahku berbelok dari jalan utama Mulberry Street menuju Grand Street. Bangunan berwarna merah The Italian-American Museum sudah terlihat. Semakin kukencangkan lariku. Aku tidak ingin kesempatan ini sia-sia.
“Hah! Hah! Hah!” Napasku tersengal-sengal. Aku berhenti tepat di depan museum. Tenagaku hampir habis. Perutku tiba-tiba berbunyi. Aku ingat kalau aku belum makan apa-apa tadi. Semua ini terjadi karena aku telat bangun. Semoga saja penyakit lambungku tidak kumat di saat-saat seperti ini.
“Isabele!” Suara seseorang yang begitu kurindukan memanggil namaku di kejauhan.
Aku mencari-cari sumber suara itu. Masih sambil mengatur napas. Di mana? Di mana?
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Seorang lelaki berbadan tinggi berdiri menjulang di belakangku. Dialah lelaki yang ingin kutemui. Lelaki yang empat bulan belakangan selalu kurindukan.
“Batistta!” Aku tak bisa menahan perasaanku. Kupeluk ia erat-erat seolah tak ingin melepasnya.
“Akhirnya kau datang juga. Kau tak tahu betapa tersiksanya aku menunggumu seperti orang bodoh,” ujar Batistta.
“Cih! Aku yang menunggumu empat bulan saja tidak pernah menggerutu.”
“Ahaha! Maafkan aku, Isabele.”
“Stttt! Apa kau lupa aku benci kata maaf darimu?”
“Ah, iya. Kau masih saja begitu.” Ia menggaruk bagian belakang kepalanya.
“Ya, Batistta. Aku tidak pernah berubah. Atau jangan-jangan justru kau yang berubah?” selidikku.
“Tidak. Tolong jangan ngomong ngawur seperti itu. Aku masih tetap Batistta yang sama seperti akhir Mei lalu saat pertemuan terakhir kita.”
“Aku senang kita bisa bertemu lagi!”
“Aku juga, Isabele. Kau pasti belum makan?”
Aku hanya menggeleng. “Aku kesiangan. Maklumlah aku habis bekerja sampai jam dua pagi.”
“Ya sudah. Ayo kita makan. Kau mau makan apa?”
“Apa sajalah. Oh ya, ceritakan semua yang kau alami selama berlayar! Pasti banyak gadis-gadis cantik yang menggodamu kan?” Aku menyenggol rusuknya.
“Hahaha! Banyak! Kalau mau aku tinggal pilih saja.”
“Dasar!”
Kami berjalan ke Da Nico. Satu dari tiga puluh sembilan restoran Italia yang ada di perkampungan terbesar orang Italia di New York ini di sore musim gugur yang menyenangkan.
***
                “Kau masih akan lama singgah di sini kan?” tanyaku sambil menikmati farfallette-ku.
                “Kalau saja bisa,” jawabnya singkat.
                “Jangan begitu! Kau membuatku menunggu empat bulan dan kau hanya akan menebus rinduku dalam hitungan jam? Itu sungguh tidak adil.” Aku memperlihatkan wajah muram.
                “Aku harus bagaimana, Isabele? Sekarang ini kan aku bekerja untuk orang lain.”
                “Sesungguhnya, Batistta, aku tidak ingin kau selalu meninggalkanku sendirian. Aku ingin kita seperti pasangan normal lainnya yang bisa pergi nonton setiap Sabtu malam dan pergi jalan-jalan saat libur panjang seperti ini. Tapi kau selalu mengejar uang.”
                “Kau seharusnya sudah tahu, Isabele. Ini bukan tentang uang.”
“Oke. Aku tahu. Ini semua tentang kau. Selalu saja tentang ambisimu!” Aku meletakkan garpu dengan kasar ke meja.
Agaknya pembicaraan sudah semakin meninggi. Padahal sumpah, jauh di dalam hatiku sebenarnya aku tidak ingin pertemuan kali ini berakhir dengan pertengkaran. Aku tidak sanggup menghadapinya. Yang aku inginkan adalah bisa menikmati kebersamaan dengan sebaik-baiknya. Hubungan jarak jauhku dengannya sudah cukup menyiksa selama ini.
                “Maafkan aku...”
                Aku memejamkan mata. Berkali-kali kukatakan pada Batistta bahwa aku tidak suka kata-kata maaf darinya tapi ia justru selalu melakukannya. Kali ini aku sudah tidak menyentuh makananku yang masih setengah. Aku terlalu muak dan kehilangan selera.
“Ah! Ini kan hari Sabtu! Aku akan mewujudkan keinginanmu, Isabele. Bagaimana?”
                “Serius? Kau akan tinggal sampai malam?” Aku kembali bersemangat.
                “Yap! Kalau kau mau.”
                “Jangan bodoh. Tentu aku mau!”
                “Kalau begitu beres. Aku akan mengajakmu berkencan seperti kekasih yang normal.”
                “Hahaha! Maaf. Maaf! Ternyata kata-kataku tidak enak, ya?”
                “Kali ini kau yang mengucapkan kata maaf, bukan aku.”
                “Baiklah. Senjata makan tuan,” ujarku sambil mengangkat tangan.
                “Sudah tidak apa-apa. Habiskan makananmu. Bagaimana kalau setelah ini kita ke NoLIta untuk membeli beberapa baju couple? Kita belum pernah melakukannya kan?” Tawaran menggiurkan.
                “Aku mau! Setelah itu kita berjalan-jalan santai saja, ya?” pintaku.
                “Bisaaa… Lalu malamnya kau mau ke mana?”
                “Nggg… ke mana ya? Aku mau dinner romantis denganmu.”
                “Loh ini bukannya kita juga sedang makan?”
                “Ini bukan dinner, Batistta,” kataku sambil memutar mata.
                “Haha! Oke. Deal! Hey, itu di pipimu ada saus,” ujar Batistta lalu mengeluarkan sapu tangannya untuk mengelap pipiku sekilas kemudian menyimpannya kembali di saku.
***
                “Astaga!” Batistta menepuk dahinya sendiri. “Aku belum sempat mem-booking hotel. Aku tidak tahu mau tinggal di mana malam ini,” katanya.
Kami baru saja selesai makan malam di Il Cortile yang romantis setelah lelah berjalan-jalan. Restoran itu adalah yang terbaik untuk kencan. Batistta memilih garden room di sana. Perempuan mana pun akan merasa sangat tersanjung jika diajak ke sana. Kami berfoto dengan kamera ponselku. Kuambil ponsel di saku jaketku, ingin melihat foto-foto itu lagi.
“Hey!” Batistta menyenggol lenganku, merasa diabaikan. Kulihat jam digital di ponsel sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih sepuluh.
“Kau menginap saja di flat-ku. Tenang saja aku tidak akan menagih uang sewa. Bagaimana?”
                “Haha! Kalau kau tidak keberatan.” Batistta mengangkat bahu.
“Kau seperti orang lain saja.”
Ia tersenyum lalu menyamakan langkah denganku. Ia memang selalu begitu kalau sedang berjalan di sampingku. Hal-hal kecil seperti itu yang selalu membuatku sulit untuk tidak merindukannya. Dan aku berterima kasih padanya karena hari ini kami benar-benar berkencan.
Kami sampai di depan flat. Kamarku ada di lantai paling atas, jadi harus menaiki puluhan anak tangga untuk mencapainya.
                “Kau duluan.”
                Aku mendaki satu per satu anak tangga diikuti olehnya di belakang. Bahkan menaiki anak tangga bersama-sama adalah hal yang menyenangkan. Dan aku akan mengingatnya karena ini yang pertama kali. Cinta memang aneh. Efek magisnya sedang bekerja padaku hingga aku merasa sebagai orang yang paling beruntung.
“Hey! Kau kenapa melamun?” Lagi-lagi Batistta menyenggol lenganku. “Kita sudah sampai.”
                “Ah. Iya.” Aku lalu mengeluarkan kunci untuk membuka pintu. Ketika pintu sudah terbuka aku tidak langsung masuk.
                “Nggg…” Aku menarik ujung lengan kemeja Batistta. Kami berhadapan sekarang. “Aku mencintaimu, Batistta! Sangat!”
                “Kau pikir aku tidak?” ujarnya lalu menciumku dengan penuh perasaan.
“Kau masuk saja dulu. Aku ingin cari angin.” Batistta kemudian duduk di balkon.
                Aneh. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku tidak tahu apa itu, tapi senyum Batistta hilang seketika sebelum berbalik dan melangkah menjauhi pintu.
“Baiklah. Aku masuk dulu kalau begitu,” kataku.
                Ia hanya mengangguk tanpa menatapku.
Aku menjauhi pintu dan diam-diam mengintip Batistta dari jendela. Kulihat bahunya terguncang. Batistta menangis? Ini semakin aneh saja. Aku sudah ingin kembali keluar dan menanyakan padanya ada apa. Tapi semua itu kuurungkan karena tidak ingin merusak momen senang-senang kami yang langka. Mungkin besok pagi aku aku akan menanyakannya sebelum pergi.
Aku menunggu Batistta sampai hampir tertidur. Lama sekali ia baru masuk dan menutup pintu.
“Kau ngapain saja di luar? Aku sudah mengantuk. Jangan bilang kau selama itu merokok? Belum berhenti juga rupanya!”
“Ah, tidak. Aku tidak merokok sejak kau minta aku berhenti. Sudah kubilang aku tadi cari angin.”
                “Ya sudah. Ayo kita tidur.” Aku menepuk sisi lain ranjang. “Terserah kau mau tetap nyalakan lampunya atau kau matikan. Aku tidak masalah.”
                “Biarkan menyala saja,” ujarnya seraya berbaring mengambil tempat di sisi kiriku.
                Aku pura-pura tidur duluan membelakanginya. Tapi yang terjadi kemudian dia menyelimutiku dan memelukku seolah kami akan berpisah saat itu juga.
                “Kau kenapa?” Aku pura-pura terbangun setelah beberapa saat.
                “Tidak. Aku hanya ingin tidur seperti ini.”
                “Kau ini aneh. Aku tidak akan ke mana-mana.”
                “Ssst!”
                “Baiklah. Selamat tidur!” kataku sambil mengusap lengannya.
***
                Aku terbangun tepat pukul enam pagi. Satu yang ingin kulihat pertama kali ketika aku membuka mata adalah Batistta untuk memastikan bahwa semalam aku tidak bermimpi. Namun yang kudapati adalah ruang kosong di sisi ranjang yang lain, tempat seharusnya Batistta berbaring. Aku bangkit lalu memeriksa balkon dan kamar mandi. Ia tidak ada di sana. Aku turun tangga dan melihat ke jalanan. Nihil. Oh, tidak! Ini pertanda tidak baik. Aku belum rela ia pergi begitu saja tanpa berpamitan. Lagi pula tidak pernah Batistta seperti ini sebelumnya.
                “Pagi Isabele!” Liana, pemilik toko cendera mata di lantai dasar bangunan itu menyapaku.
                “Pagi! Oh, Liana! Kau tahu ke mana perginya Batistta?”
                “Batistta? Memangnya kapan dia pulang?” tanya Liana bingung.
                “Apa kau kemarin tidak melihat kami bersama?” Aku juga semakin bingung.
                Liana hanya menggeleng. Ia adalah saksi hubunganku dengan Batistta. Ia tahu benar Batistta yang adalah kekasih seumur hidupku. Kami dulu tinggal di lingkungan yang sama. Sejak kecil aku, Liana, dan Batistta adalah sahabat dekat. Ia tahu bagaimana aku mengejar-ngejar Batistta sampai akhirnya kami jadian di junior high. Dan setelahnya Batistta pindah ke Australia mengikuti ayahnya yang seorang pelaut. Ia juga ketularan dan masuk jurusan pelayaran. Selama itulah aku LDR dengannya.
Ini semakin aneh saja. Kalau Liana tidak melihat kami, lalu kemarin itu apa? Apa aku sudah gila? Dan itu semua hanyalah khayalan gilaku?
Dear? Kau baik-baik saja?” sapaan Liana menyadarkanku.
“Ah. Tidak Liana, ini tidak baik-baik saja. Kau seharusnya melihat Batistta kemarin atau tadi pagi.”
“Tapi aku sama sekali tidak melihatnya.”
Kutinggalkan Liana yang ikut kebingungan, kembali ke kamarku.
                Aku segera mencuci muka di wastafel dan mengganti pakaian dengan jeans dan kaos oblong secepat yang aku bisa. Kukayuh sepedaku yang terparkir di bawah. Aku menyusuri sepanjang Mulberry Street menuju The Italian-American Museum kemudian berlanjut ke Da Nico seperti apa yang kami lakukan kemarin. Tidak ada dia di sana. Aku berhenti sebentar untuk mengambil napas. Tidak. Aku harus bergegas.
                Aku sampai di NoLIta. Kuparkir sepedaku asal-asalan saat memasuki beberapa butik yang berderet di sepanjang jalan itu, butik-butik yang kemarin kami singgahi untuk membeli beberapa potong baju. Tapi tidak ada hasil. Batistta belum ketemu. Usaha terakhirku adalah pergi ke Il Cortile. Bahkan restoran itu belum buka. Untung aku kenal salah satu pengelolanya. Aku meminta izin untuk masuk ke dalam garden room dan memeriksanya tapi ia tidak di sana. Akhirnya aku kembali ke flat dengan kepayahan.
                Aku duduk di balkon setelah berhasil menaiki anak tangga dengan sisa-sisa tenagaku. Ada sesuatu yang terselip di tanaman dalam pot di tembok balkon. Kuambil benda mencurigakan itu. Sebuah surat. Untukku.

Dear Isabele,
Aku mencintaimu dan selamanya tetap akan mencintaimu. Maafkan aku tidak bisa menjadi kekasih normal seperti yang lain. Aku hanya ingin kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikanmu di hati dan pikiranku.
Aku tahu selama ini bagaimana menderitanya kau selalu menahan rindu untuk waktu yang lama. Dan aku memang bodoh tidak segera melamarmu dan membawamu ikut bersamaku. Sekarang semua itu sudah terlambat.
Maafkan aku tidak sempat berpamitan dengan benar padamu (aku janji ini kata maaf terakhir dariku). Percayalah tidak ada yang berubah, Isabele. Dan jika nanti kau tidak bisa menemukanku, aku yang akan selalu menemukanmu. Aku akan selalu ada di sisimu meski kau tak melihatku. Aku menyayangimu seperti laut yang selalu memeluk pantai.
Ternyata waktuku telah habis. Terakhir aku hanya ingin memberitahumu bahwa saat kau baca surat ini mungkin aku sedang dalam perjalanan ke pelukan Tuhan. Jangan bersedih karena itu. Aku akan marah dan pergi selamanya kalau kau sampai menangis. Semua ini salahku. Badai itu memang brengsek. Aku kalah, Isabele. Tapi sejak awal aku bahagia karena telah memenangkan hatimu.
Mencintaimu selamanya,
Batistta

                Aku meremas surat itu. Mataku basah. Hatiku remuk. Aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Tubuhku terduduk di lantai tanpa daya. Batistta… Batistta… Batistta…
                “Isabele! Isabele!” Liana berteriak-teriak menaiki tangga dengan tergesa-gesa. “Kau harus melihat ini!” Ia menyerahkan iPad padaku. Di sana terdapat berita tenggelamnya sebuah kapal pesiar. Nama Batistta ada dalam daftar korban.
                “Ini semua bohong kan, Liana? Ini bohong kan? Katakan aku sedang bermimpi! Kumohon!”
                “Tapi… Tapi ini sungguhan. Aku juga baru tahu, Isabele. Aku tahu ini sulit dipercaya.”
                “Tidak! Tidak! Kemarin Batistta pulang. Aku benar-benar bersamanya seharian, Liana!” teriakku.
                Aku lalu mengambil ponsel. Kubuka galeri foto dan mencari foto-foto kami semalam. Tidak ada Batistta di sampingku. Pada semua foto itu hanya ada aku sendirian. Kemudian kuambil goodie-bag berisi baju-baju yang kubeli kemarin bersama Batistta. Hanya ada baju perempuan. Ya Tuhan…
                Aku semakin lemas. Tidak ada yang bisa kupikirkan. Liana memelukku dan aku terus menangis di bahunya. Semua ini sulit diterima. Aku tidak percaya Batistta pergi untuk selamanya.
                “Mengapa… Mengapa…”

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah