Langsung ke konten utama

Coretan Pertama



Hujan di Jendela

          Aku berada di dalam kamar asrama. Meringkuk diatas kasur empuk, mendengarkan musik dan bermalas-malasan. Suasananya menyenangkan untuk tidak melakukan apa-apa. Indonesia sedang musim hujan. Atau setidaknya begitu. Dalam sehari hujan bisa turun satu atau dua kali. Namun bisa saja dalam satu minggu tidak turun hujan sekali pun. Entah musim atau apalah namanya,  memang cuaca disini tidak bisa diprediksi. Yang aku tahu hari ini hujan turun tidak seperti biasanya.

          Aku melepas earphone dan menyentuh tombol off di layar iPodku. Suara hujan disini lebih menarik untuk didengarkan lebih dari musik apa pun. Aku senang jendela kamarku berukuran lebar jadi aku dapat menikmati hujan dengan leluasa. Sayang, aku tidak bisa sebebas saat di luar sana. Saat aku bisa menari di tengah hujan dan tertawa ataupun menangis tanpa terganggu siapa pun. Jadi yah, kunikmati saja momen berharga ini hanya dengan memandang dan mendengar tetesan-tetesannya. Entah mengapa hujan selalu menarik bagiku. Mungkin karena hujan tidak pernah memilih dimana dia akan jatuh. Hujan menurut pada penciptanya. Hujan akan bermurah pada siapa saja yang membuka tangannya ke langit.

        Andai saja cinta berjalan semudah jatuhnya tetes hujan ke tanah kering. Seperti hujan hari ini yang turun amat deras hingga tanah yang tadinya kering mengeluarkan bau yang khas untuk menyemarakkan momen ini. Mungkin saking senangnya. Cinta bumi dan langit hanya dapat bertemu ketika hujan datang. Saat cuaca cerah bukannya mereka senang tetapi mereka menahan luka karena hanya bisa saling memandang tanpa dapat saling bersentuh. Saat hujan, langit sebagai laki-laki yang kacau, angkuh, dan kesal karena merindu akan mecurahkan segala rasanya untuk bumi. Sementara bumi di bawah langit dengan tulusnya akan menyerap semua rasa cinta itu tanpa membiarkan setetes pun terlewat. Ketulusan yang tidak akan pernah kau temui pada siapa pun di dunia ini.

        Hujan yang begitu sederhana sebenarnya tengah mengajarimu bahwa itulah cinta. Cinta bukan seberapa sering kau tertawa saat bersamanya atau seberapa sering dia menangis bersamamu. Cinta bukan ada dari memberi dan menerima. Cinta tidak memilih perempuan cantik untukmu dan bukan juga memilihkan pangeran atau pun ksatria untuk sang putri.

Vanilla Twilight

          Hujan telah selesai menyampaikan pesan langit kepada bumi. Kini bumi dengan suka cita menyimpan pesan sang langit tanpa keraguan. Sungguh luar biasa dalam hari yang sama aku mendapatkan dua keindahan alam, atau bahkan tiga sekaligus. Hujan pergi. Langit yang usai bertemu bumi lewat pesan yang disampaikan hujan kini semburat jingga. Mungkin langit sedang malu atau mungkin langit senang hingga ingin menunjukkan perasaannya pada setiap mata yang tak pernah lupa memandangnya. Lebih dari itu, bahkan langit pun tidak sombong karena ia ada di atas sana. Langit tidak sekedar ingin menunjukkan perasaannya tetapi juga dengan sukarela membaginya kepada matadan bahkan hati manusia. Begitu pun aku yang tak luput dari ini.

          Langit berubah dari jingga menjadi kuning keemasan yang sangat cantik. Kini cinta tulus bumi tengah meluluhkan sisi keangkuhannya sebagai lelaki. Saat seperti ini langit akan luluh tentang segalanya. Langit memang tidak boleh sombong. Bumi akan mati tanpa langit. Tak kan ada bedanya dengan batu dan debu. Terus saja kupandangi senja yang berwarna vanilla itu. Langit semakin jujur akan perasaannya. Semakin senja semakin benderang. Mendung pun mengalah tersapu hujan. Senja ini benar-benar vanilla. Senja yang tak biasa.

Rainbow Bow Bow        

         Mataku kemudian menangkap satu keajaiban lagi. Oh, betapa manisnya rasa cinta langit pada bumi. Lukisan langit itu melengkung sempurna tepat di depan mataku. Melengkung di atas atap asrama dengan sangat-sangat indah. Bingkai jendela seakan membuat sang pelangi seperti lukisan yang mahasempurna. Belum pernah sebelumnya kulihat lengkung pelangi sesempurna ini. Kukira hanya dongeng masa kecil tentang warna-warna pelangi. Langit memberi tahuku rahasia keindahnya. Warnanya yang memang benar-benar merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu dapat kulihat jelas. Posisiku saat ini seperti kursi VIP. Dan pemandangan itu tidak hanya kunikmati sekejap mata tetapi untuk puluhan menit lamanya. Ini mahal sekali semahal tiket konser yang harus kubeli. Hey, ayolah Indonesia tidak seburuk birokrasinya kawan.

Malam Galau

         Lalu bagaimana harimu di Seoul? Aku sedang bercakap-cakap denganmu ketika malam semakin mendesak. Aku ingin sekali bertanya padamu seperti apakah langit disana. Tapi kau mungkin akan tetap diam sambil tersenyum. Yah, memang seperti itulah dirimu. Kau akan senang sekali membuatku tersenyum tapi tak sedikit pun memberiku kesempatan untuk tahu. Kau akan sangat senang membuatku tergila-gila dengan denting piano dan suara indahmu tanpa bisa berada di sampingmu. Kau bahkan memintaku untuk mencintaimu dengan sangat tidak masuk akal.

        Ini tidak masuk akal. Karena tadinya kupikir tidak akan mungkin seorang manusia sanggup untuk mecintai tanpa dibalas. Tetapi seperti hujan yang tidak pernah memilih tempat ia jatuh. Cinta menjadikanmu sangat masuk akal. Cinta membiusku secara positif sampai aku tidak mampu berkata tidak untuk apapun tentang kamu. Kini aku menyukaimu dengan alasan apa pun. Aku adalah bumi yang secara sengaja mengharapkanmu sebagai langit yang akan memberi senja berwarna vanilla dan lengkung pelangi yang cantik lewat hujan dan apa pun selain hujan.

        Aku bahkan tidak peduli kau akan terlambat untuk membalas rasaku. Aku akan ada untukmu dan menjadikanmu segalanya.

To be Continued...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cant...