Langsung ke konten utama

Coretan Keempat


Sedikit Bersenang-senang

          Aku tak ingin pulang dan melihat kanvas-kanvas itu. Kedatanganmu akhir tahun ini membuatku banyak berfikir. Bagaimana aku harus menemuimu nanti. Bagaimana jika ini hanyalah ilusi atau bagian dari mimpi-mimpiku. Mungkin ku terus berkhayal dan lama-lama mati. Tapi aku tidak ingin menjadi seperti itu. Perasaanku padamu terlalu sia-sia untuk tidak kuusahakan. Maka aku berjalan dan berjalan sendiri untuk mengenang saat-saat kau sedang melantunkan mantra-mantra tersembunyi dalam musikmu. Ya, aku tahu sekarang darimana aku dapat begitu dekat denganmu. Dari musik yang tak kusadari telah mengenalkanku padamu sejak pertama itu, suaramu.

       Aku harus memikirkan bagaimana caraku untuk berlama-lama denganmu Desember nanti. Aku tak ingin kau tak memandangku seperti tahun lalu. Aku ingin menatapmu tepat di depanmu. Lalu aku pergi menuju istana Pak Tua di ujung jalan sana.
          
           Aku tersenyum dan Pak Tua itu tersenyum menunduk. Ia menuju ke dalam istananya yang hangat dan kembali dengan menjinjing sebuah takdir. Ia berikan itu padaku. Ya, inilah penentu misiku untuk menemuimu. Takdir dari apa yang nanti akan kugoreskan di kain putih itu dengan cairan warna untuk kutawarkan pada penikmat seni yang pantas mendapatkannya. Aku harus menghasilkan yang bagus kali ini.
         
            “Sir, boleh saya berada disini beberapa saat?” Aku bertanya pada Pak Tua yang tangan dan bajunya penuh cat warna-warni.
               
               Ia mengangguk.
      
       Aku berkeliling dalam galeri itu. Tenang seperti saat kau sedang di perpustakaan kota. Satu-satunya tempat yang sunyi. Kau tidak akan mendengar klakson yang menyebalkan. Kau tak akan dibatasi saat berimajinasi. Bebas seperti saat kau berada di pantai tanpa ombak. Kau tak harus cemas langit di atasmu akan runtuh. Disini, meskipun langitmu runtuh, runtuhan itu hanya akan terasa seperti kapas. Dan aku selalu memilih sudut di dekat jendela itu. Disanalah di dekat tirai putih yang berkibar perlahan oleh belaian angin, aku memulai ceritaku pada selembar kanvas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT. Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa. Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis. Dia tidak cantik.

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah