Sedikit Bersenang-senang
Aku tak ingin pulang dan melihat
kanvas-kanvas itu. Kedatanganmu akhir tahun ini membuatku banyak berfikir.
Bagaimana aku harus menemuimu nanti. Bagaimana jika ini hanyalah ilusi atau
bagian dari mimpi-mimpiku. Mungkin ku terus berkhayal dan lama-lama mati. Tapi
aku tidak ingin menjadi seperti itu. Perasaanku padamu terlalu sia-sia untuk
tidak kuusahakan. Maka aku berjalan dan berjalan sendiri untuk mengenang
saat-saat kau sedang melantunkan mantra-mantra tersembunyi dalam musikmu. Ya,
aku tahu sekarang darimana aku dapat begitu dekat denganmu. Dari musik yang tak
kusadari telah mengenalkanku padamu sejak pertama itu, suaramu.
Aku harus memikirkan bagaimana caraku
untuk berlama-lama denganmu Desember nanti. Aku tak ingin kau tak memandangku
seperti tahun lalu. Aku ingin menatapmu tepat di depanmu. Lalu aku pergi menuju
istana Pak Tua di ujung jalan sana.
Aku tersenyum dan Pak Tua itu
tersenyum menunduk. Ia menuju ke dalam istananya yang hangat dan kembali dengan
menjinjing sebuah takdir. Ia berikan itu padaku. Ya, inilah penentu misiku
untuk menemuimu. Takdir dari apa yang nanti akan kugoreskan di kain putih itu
dengan cairan warna untuk kutawarkan pada penikmat seni yang pantas
mendapatkannya. Aku harus menghasilkan yang bagus kali ini.
“Sir, boleh saya berada disini
beberapa saat?” Aku bertanya pada Pak Tua yang tangan dan bajunya penuh cat
warna-warni.
Ia mengangguk.
Aku berkeliling dalam galeri itu.
Tenang seperti saat kau sedang di perpustakaan kota. Satu-satunya tempat yang
sunyi. Kau tidak akan mendengar klakson yang menyebalkan. Kau tak akan dibatasi
saat berimajinasi. Bebas seperti saat kau berada di pantai tanpa ombak. Kau tak
harus cemas langit di atasmu akan runtuh. Disini, meskipun langitmu runtuh, runtuhan
itu hanya akan terasa seperti kapas. Dan aku selalu memilih sudut di dekat
jendela itu. Disanalah di dekat tirai putih yang berkibar perlahan oleh belaian
angin, aku memulai ceritaku pada selembar kanvas.
Komentar
Posting Komentar