Desember 2009
Aku sedang kacau. Sepertinya semua urusan hidupku tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Orang-orang yang kusayangi mengkhianatiku. Kedua orangtuaku membuatku menjadi anak dengan cap broken home. Begitu juga dengan Dika, “pacar monyetku”. Dia membuat kami putus tanpa sebab yang jelas. Mungkin walaupun tanpa dia katakan dugaanku benar bahwa dia malu punya pacar seperti aku. Tadinya aku tidak terima dan terus memohon. Bagaimana tidak, dia seorang drummer dan sangat sophisticate. Banyak cewek yang iri padaku saat kami jadian. Tapi sehari setelahnya aku menyadari bahwa memang sudah tidak ada lagi cinta atau apalah itu namanya. Kusadari bahwa itu hanyalah perasaan sesaat yang lalu terbang pergi bersama angin begitu saja.
Semua terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Serasa tidak ada satu pun hal di dunia ini yang berpihak padaku. Mungkin galau adalah kata yang tepat untukku saat itu. Aku jadi sering diam dan cuek dengan sekitarku. Saat semua cewek seusiaku sibuk dengan jatuh cinta dengan cinta pertama, kedua atau ketiga mereka, aku justru tidak ingin memikirkan cinta. Sepertinya menjadi maskulin lebih menyenangkan. Bahkan aku memotong pendek rambutku yang tadinya sepinggang dan dikagumi semua orang tanpa bilang-bilang. Lagipula tidak ada yang peduli. Masa remaja yang seharusnya indah dan penuh warna seperti dalam novel-novel yang kubaca menjadi mendung hitam.
Aku jadi lebih sering pergi ke luar rumah, berkumpul dengan “anak-anak keren” yang sebelumnya tidak pernah aku dekati. Sebelum ini, saat semua baik-baik saja aku memang lebih memilih menjadi anak perpustakaan yang pendiam dan banyak membaca novel, di rumah atau pun sekolah. Semua jenis novel kubaca. Kini novel saja tak cukup menjadi obat untukku. Setiap sore aku menggenjot sepedaku ke tempat berkumpulnya anak-anak keren itu. Tidak hanya anak dari SMAku saja, tetapi anak SMK yang mayoritas laki-laki juga banyak. Aku berkenalan dengan orang-orang baru dan tidak peduli itu laki-laki atau perempuan. Aku hanya ingin sekedar berteman.
Dan ternyata Jun masuk ke dalam hidupku. Ya, salah satu dari anak keren itu, dia bilang suka padaku. Aku harus bilang apa saat sedang tidak sibuk mencari pacar tapi tiba-tiba saja seorang Jun datang. Dia memang punya karisma, banyak teman, dan loyal. Aku tidak mau mengecewakan orang lain di sekitarku, lagipula bukan hal yang buruk jika aku menerimanya. 4 Desember 2009 aku memulai babak baru kehidupan remajaku bersama Jun. Dan entah rasa itu datang dari mana, sejak itu juga hatiku terpaut pada sosok jun. Aku begitu mengaguminya, bangga sekali rasanya bisa jadian dengan sorang Jun. Bahkan aku merasa perasaan Jun tak sekuat milikku. Definitely, I love Jun so much.
Desember 2010
Genap setahun aku jadian dengan Jun. Layaknya anak SMA yang sedang senang-senangnya pacaran, kami pergi jalan bareng sore itu. Aku kembali menjadi cewek yang anggun dengan gaun dan make-up. Kami berjalan di atas dermaga yang jalannya lurus memanjang. Matahari sore menghangatkan punggungku. Ini momen yang spesial untukku karena baru kali ini Jun mau jalan berdua di depan umum. Dugaanku selama ini ia masih belum siap jika temannya yang bisa saja secara tidak sengaja bertemu mengetahui bahwa kami pacaran. Seperti kami ini pasangan berbeda kasta. Tadinya aku tidak keberatan tapi beberapa hari lalu aku memintanya merubah sikap. Meskipun ini bisa dibilang kemajuan tapi dalam hati aku masih kesal setengah mati karena Jun tidak pernah menggandeng tanganku saat jalan bersama. Ia juga tidak tahu jika aku selalu berusaha untuk menyamakan langkah kakiku dengannya. Bahkan ia lebih banyak memperhatikan hal lain dan hampir tidak pernah memandang mataku saat berbicara padaku.
Kami duduk di tepi danau, memandang langit jingga dan riak-riak air yang berkilau keemasan. Baru saja aku ingin menyandarkan kepalaku di pundak Jun, tapi ia justru sibuk memperhatikan di kejauhan. Sesaat kemudian ia bangkit berdiri dan berlari menghampiri beberapa orang laki-laki, mereka saling menyapa dengan akrab. Sudah pasti mereka berteman. Aku tidak beranjak dari tempatku. Kumainkan benda logam berukir seorang gadis kecil yang menggantung pada ransel Jun di sampingku. Benda itu kuberikan pada Jun seminggu setelah kami jadian. Pasangannya, seorang bocah lelaki dengan ukuran yang sama, ada padaku, tersimpan rapi dalam kotak rahasiaku.
Aku membuka ranselnya secara tidak sengaja ketika memainkan gantungan itu. Sesuatu dalam tas itu membuatku sangat terkejut. Sebungkus rokok dan korek api. Jun mendatangiku dan mendapati aku melihat benda-benda yang kubenci itu. Sekitar satu jam kami hanya diam, tanpa satu kata pun keluar dari mulut masing-masing. Aku menangis. Kemudian ia mengambil rokok itu dan melemparkannya jauh ke air. Sejak awal aku sudah mengatakan pada Jun bahwa aku benci perokok. Ayahku perokok dan ia sering menyakitiku dengan rokok waktu aku masih kecil. Nenekku perokok dan ia meninggal karena kanker ginjal dengan paru-paru penuh nikotin. Sekeren apapun rokok pada akhirnya hanya akan membunuhmu. Bagaimana aku tidak membenci seorang perokok?
Seminggu setelah itu kami berbaikan. Ia berjanji akan berhenti meskipun sampai sekarang aku belum melihat buktinya bahwa ia sudah tidak merokok. Aku memakaikan sepasang gelang dari tali berwarna biru yang kubuat sendiri pada tangan kanan kami masing-masing. Tapi tiga hari setelahnya saat kami bertemu kembali aku tak melihat gelang itu di sana. Aku hanya tersenyum tanpa menanyakan apa-apa. Terkadang cinta seenaknya saja membuat seseorang menjadi bodoh dan menyebalkan.
Saat pertengahan kelas 2 Jun mengalami cedera tulang kaki ketika bertanding. Ia harus bedrest selama 2 bulan. Karena ia hanya pergi untuk sekolah, kami sama sekali tidak bertemu. Pernah sekali aku ingin menemui Jun di sekolahnya. Kebetulan rumah temanku dekat dengan sekolah Jun. Aku sudah melihatnya di kejauhan, ia berjalan dengan memakai tongkat penyangga. Melihat itu air mataku langsung saja menetes tanpa kusadari. Kukira ia akan menghampiriku tapi ternyata ia langsung pulang diantar temannya. Dan aku memaafkannya beberapa jam kemudian.
Hampir 2 bulan berlalu. Jun memberiku kabar bahwa ia sudah pulih. Aku tak sabar ingin menemuinya. Sudah berjam-jam aku menunggu Jun datang tapi ia tak juga muncul. Sebuah SMS masuk ke ponselku, dari Jun. Ia bilang tak bisa datang karena tidak boleh keluar rumah. Rasanya hatiku kecewa sekali. Aku malas pulang dan justru membeli sekantong buah jeruk untuk kuberikan pada Jun di rumahnya. Aku kesana naik bus umum dengan penumpang yang berdesakan. Sandalku talinya putus dan aku harus nyeker saat berjalan masuk ke jalan sempit menuju rumah Jun yang cukup jauh dari jalan raya. Sampai disana aku justru melihat raut wajahnya yang kesal karena aku lancang datang ke rumah.
Kami sering bertengkar dan kembali baikan dengan cepat. Aku yang banyak mengalah. Kupikir tak ada salahnya karena aku sayang Jun dengan sepenuh hatiku. Perjalananku dan Jun memang tidak mudah. Hubungan kami tidak sekedar senang-senang dan tertawa bersama. Saat hubungan kami baik-baik saja, ada saja cobaan datang. Jun harus praktik kerja lapangan di Sukabumi. Lagi-lagi 2 bulan lamanya kami terpisah jarak yang lebih jauh dari sebelumnya. Beberapa minggu setelah ia kembali, ia harus pergi lagi untuk kunjungan industri di Bali. Meski hanya 5 hari tapi belum hilang rinduku setelah 2 bulan tidak bertemu sama sekali. Aku sempat ingin mengantarnya berangkat, tapi Jun langsung berusaha menolak mati-matian tentu saja. Aku tidak keberatan dan hanya meminta nomor ponsel salah satu temannya agar jika terjadi apa-apa aku bisa tahu, tapi ia tidak mau memberi tahu. Aku kesal, tapi hanya beberapa jam saja.
Jun pulang dari Bali dan membelikan aku kaos yang ukurannya superbesar dan ia juga pasti malu kalau aku sampai memakainya. Padahal diam-diam kaos putih bergambar bunga-bunga itu menjadi kaos kesayanganku. Saat aku berlibur 2 hari ke Yogja aku membeli 2 buah kaos dengan gambar yang sama. Satu dengan ukuran kecil untukku dan ukuran yang lebih besar untuk Jun. Kukira ia akan senang tapi saat aku menyuruhnya memakai kaos itu ia langsung bilang bahwa itu kaos cewek. Padahal kaos oblong dimana-mana sama saja bentuknya. Lagipula mana mungkin seorang cewek sengaja membuat cowoknya terlihat seperti banci. Temanku juga membelinya dan cowoknya dengan senang hati memakai kaos itu.
Jun pernah memintaku membuat sebuah lukisan untuk tugas seni sekolahnya. Tanpa keberatan kukerjakan lukisan itu. Aku sampai lupa kalau selusin tugasku belum sedikitpun kuselesaikan. Tapi pikirku demi Jun apapun tak masalah. Lagipula melukis itu menyenangkan. Besoknya aku membawa lukisan itu saat berangkat sekolah. Jun bilang akan mengambilnya di sekolahku. Aku menunggu sampai bel masuk tapi Jun tak datang. Ia mengirim SMS ke ponselku bilang bahwa tugas itu tak jadi dikumpulkan. Aku bilang padanya, “it’s ok, Baby.”
Desember 2011
Mungkin ini tahun terburukku di SMA. Begitu banyak kekesalan yang kutunjukan pada Jun. Dari mulai hal kecil sampai masalah besar. Kurasa Jun sudah benar-benar keterlaluan. Ia tidak hanya menyembunyikanku yang seolah buruk rupa, lebih parah lagi ia selalu menomor-sekiankan aku. Ia sering membatalkan janji bertemu secara mendadak bahkan tanpa kabar apapun demi sebuah pertandingan bola, atau demi latihan beladiri.
Kami sama-sama berada di tahun terakhir SMA. Aku tidak begitu memikirkan kekacauanku dengan Jun. Aku berusaha menjaga perasaan dan keadaan sebaik mungkin demi sekolah kami. Oktober lalu kekesalanku memuncak. Bagaimana tidak jika Jun, cowok yang telah menjadi pacarku selama hampir 2 tahun ternyata masih mengharapkan mantan pacarnya yang hanya lebih cantik dariku. Parahnya lagi aku sekelas dengan cewek itu dan dia bukan seorang teman sekelas yang baik.
Bel pulang sekolah berdering. Aku bergegas merapikan buku-bukuku dan beranjak pulang, hari itu aku akan bertemu Jun sepulang sekolah. Tiba-tiba tanganku ditarik oleh cewek itu. Ia mengajakku bicara 4 mata. Ternyata ia Cuma mau menunjukkan sms dari Jun yang mengucapkan happy birthday padanya dengan ucapan yang panjang dan membuatku mual saat membacanya. Cewek itu dengan pongahnya mengatakan itu semua sambil tertawa-tawa tidak jelas. Aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak langsung emosi. Kupendam semua itu sampai aku bertemu Jun di gerbang sekolah.
Aku bertanya baik-baik pada Jun sambil berharap pengkhianatan itu tidak benar meskipun aku sudah melihat bukti SMSnya. Tapi dengan raut wajah bingung Jun mengatakan bahwa semua itu benar. Ia bilang dengan jujur bahwa ia masih beberapa kali mengirim SMS pada cewek itu. Aku merasa kepalaku seperti terbakar, hatiku juga. Tangisku pun tak bisa mengeluarkan air mata lagi. Kutampar pipinya, kupukuli dadanya berkali-kali dengan tenaga penuh. Ia tidak berusaha mengelak dan hanya berulang kali mengatakan itu kesalahannya. Rasanya hatiku justru sakit sekali ketika aku harus memukulnya. Aku ingin putus saat itu juga tapi Jun berkeras tidak mau. Ia memohon dengan sangat dan aku sungguh masih sayang padanya. Beberapa hari kemudian aku memaafkannya yang memang menunjukkan perbaikan sikap padaku. Sungguh aku mencintai Junku.
Desember 2012
Aku memulai tahun pertama kuliahku di Depok. Jun telah bekerja di Bekasi. Kami masih tetap pacaran walaupun pertemuan kami tidak sesering sebelumnya. Dan aku kembali mendapatinya merokok. Kali ini aku amat kesal dan marah. Ia selalu mengajari aku untuk jujur. Ia bilang ia tak suka dibohongi tapi ia seperti ini. Meski aku sangat menyayanginya, aku menjadi ragu dan tidak percaya padanya. Aku selalu mencurigainya dan aku sendiri tahu bahwa sikapku ini begitu menyebalkan. Aku sendiri bingung mengapa lelaki ini jahat sekali padaku. Padahal awalnya dia yang mendatangiku tanpa kuminta.
Benar saja, ia mengulang kembali kesalahannya. Seorang cewek yang entah siapa tiba-tiba saja menghubungiku dan mengatakan untuk menjaga Jun baik-baik dan berjanji tidak akan mengusik Jun lagi. Aku meminta penjelasan dari Jun dan ia bilang itu hanya teman yang mau mengganggu hubungan kami. Tetap saja aku menangis karena hatiku sakit sekali.
Desember 2013
Kuberikan kesempatan lagi pada Jun untuk memperbaiki semuanya. Kali ini yang terakhir. Aku pernah dengar bahwa cinta sejati itu selalu bisa memaafkan. Jika cinta ini membuatku menjadi bodoh, lalu aku mengatakan pada dunia bahwa manusia bodoh pun bisa mempertahankan perasaannya. Aku tahu air mataku tidak jatuh sia-sia. Aku yang bodoh ini juga tahu pasti bahwa suatu saat nanti jika Jun memang untukku, Jun dan hatinya akan memelukku dengan mimpi masa depan dan harapan yang indah. Sekali lagi, aku mencintai Jun dengan sepenuh hatiku. Aku akan menunggu hingga saat itu. Biar takdir dan waktu yang berperan. God, I really love Jun.
Komentar
Posting Komentar