Langsung ke konten utama

Manusia yang Menjadi Tuhan

Kamis, 22 Desember 2016 menjadi moment besar dalam hidup gue. Akhirnya anak emak ini bisa maju sidang skripsi dan dinyatakan lulus. Senang, bahagia, haru, lega. Itu yang gue rasakan seketika. Akhirnya perjuangan mengalahkan diri sendiri itu sampai ke titik ini. Tapi kemudian gue nyadar bahwa ini bukanlah akhir. Masih ada tanggungan revisi untuk bisa wisuda 4 Februari nanti. Dan gue masih tetep nggak bisa tidur nyenyak, nggak kayak yang orang-orang bilang bahwa setelah sidang lo akan merasakan tidur ternikmat sepanjang masa. Gue tau nanti gue juga akan merasakannya, tapi nggak sekarang. Nanti setelah gue udah bener-bener selesai dengan kewajiban gue sebagai mahasiswa.

Kata orang, kehidupan pasca kampus adalah hutan belantara. Gue enggak mengkhawatirkan itu karena sejak tau kalau es krim itu nikmat, gue udah merasakan hidup di hutan belantara. Yang gue herankan adalah munculnya fenomena "manusia menjadi tuhan". Jauh sebelum gue sampai ke titik ini, gue udah kenyang dengan curhatan temen-temen gue yang lulus tahun lalu tentang tekanan-tekanan yang mereka terima. Dari siapa? Hampir semua orang. Sama, gue juga merasakannya. Bahkan sejak gue gagal lulus semester lalu. Pertanyaan-pertanyaan seperti "kapan lulus? Kapan wisuda?" Selalu datang dari siapa saja.

Begitu juga yang diterima temen-temen gue yang udah lulus duluan. Udah lulus lama kok belum kerja? Buruan cari kerja, masak udah lulus lama, masih nganggur aja. Kerja itu ya pergi ke kantor, pake baju kerja. Udah kerja, udah mapan, buruan nikah, nunggu apa lagi?

Let's think! Masing-masing orang itu punya alur hidupnya sendiri. Coba periksa deh! Mungkin lo udah sakit jiwa kalo selama ini hidup lo cuma penuh dengan tekanan yang lo berikan ke orang-orang di sekitar lo. Emangnya lo tuhan yang berhak menilai dan menentukan hidup manusia? Sorry kalau bahasa gue begini. Gue udah terlalu muak, gue gerah dengan sikap-sikap manusia macem ini.

Padahal, kalau kita mau memperluas perspektif, kita pasti bakalan lebih hati-hati dalam bicara. Oke ngomong itu emang gratis, tapi bukan berarti lo bebas menggunakan omongan lo buat menekan hidup orang lain. Inget aja sih, setiap omongan manusia itu bakal dipertanggungjawabkan nantinya.

Coba lo berhenti sebentar dari kegiatan ngomong lo. Diam. Ingat-ingat kata apa aja yang udah keluar dari bibir kita seharian ini. Pasti lo nggak bisa mengingat semuanya karena ada omongan-omongan yang mungkin menurut lo nggak penting. Tapi pernahkah lo berpikir bahwa ada seseorang yang seharian ini mikirin omongan lo? Sampai dia lupa makan, sampai dia nggak tidur, sampai dia nggak bisa merasakan bahagia. Pernahkah lo mikir demikian?

Di sini gue nggak mau menggurui lo buat ngaca. Karena gue tahu pasti hidup lo nggak seasyik itu sehingga buat ngaca aja lo males. Atau mungkin justru hidup lo udah terlalu asyik dengan kesenangan lo sendiri sampai-sampai lo lupa ngaca. Tapi satu hal yang gue tahu pasti. Lo lebih sibuk mikirin alur hidup orang lain yang berbeda dari lo. Dan itu nggak berguna.

Sekali lagi gue mengajak kalian berpikir. Berpikir itu nggak susah kok. Kita udah dikasih otak yang emang fungsinya buat mikir. Bukan buat nyari kata-kata menekan yang akan lo berikan ke temen-temen lo yang belum kerja, yang kerjanya nggak di kantor, atau yang masih jomblo walaupun udah mapan. Mungkin lo harus dikasih tahu bahwa sebenernya tanpa tambahan omongan menekan dari lo, mereka sudah mendapatkan banyak tekanan. Dan lo ngejorokin mereka untuk masuk ke dalam jurang yang lebih dalam.

Mungkin lo lupa atau nggak tahu gimana rasanya ngurusin semester akhir yang luar biasa menguras otak, otot, hati, dan dompet. Kalau ada temen lo yang baru lulus dan pengen bahagia sebentar itu wajar cuy! Mungkin lo nggak gitu. Mungkin di pikiran lo, udah lulus ya harus cepet kerja, udah kerja ya harus cari jodoh trus nikah. Yaelah.. Lo nggak tahu aja bahwa ada jenis alur hidup di luar kemainstreaman itu yang jauh lebih asyik.

Gue makin gerah sama orang yang masih berpikir bahwa kerja itu ya di kantor, pake baju kerja yang rapi, pergi pagi-pagi, empet-empetan di kereta atau macet-macetan di jalan. Gue punya banyak temen yang kerjanya kayak babi ngepet, kagak kelihatan, tapi dia bukan pengangguran. Ada yang jadi penulis, desainer grafis, dagang via olshop, dan banyak lagi. Hellaw..! Mereka kerja, mereka sama capeknya, mereka pake otak dan otot buat kerja sama seperti kalian yang 5 hari seminggu pake baju rapi dan pergi pagi-pagi. Bahkan mereka bisa nggak tidur dan lupa piknik.

Ayolah... Kita hidup cuma sekali. Semua orang bisa jadi dirinya sendiri dalam versi yang terbaik. Kita manusia, lakon, bukan tuhan yang punya segala maha. Daripada menambah tekanan buat temen lo yang alur hidupnya berbeda dari lo, mending kasih semangat buat mereka, saling bagi kebahagiaan kalian, biar hidup makin asyik.

Anyway, buat lo pada yang lagi di posisi "manusia dengan alur hidup berbeda", you're awesome just as you are, Friends! Menjalani hidup dengan cara terbaik versi lo jauh lebih penting daripada mikirin omongan orang lain yang menjatuhkan. Kalau ada omongan orang-orang yang mengganggu, inget aja bahwa mereka bukan lo. Mereka nggak pernah tahu rasanya jadi diri lo.

Depok, sehari pascasidang
Dari gue yang masih utang revisian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels , tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?                 Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan...

Gadis Teh di Kedai Kopi

Secangkir espresso terhidang di atas meja. Aromanya sampai ke hidungku dalam sekejap. Kulirik sejenak tangan kurus yang baru saja meletakkannya. Aku lalu mencuri pandang sekilas ke arah wajahnya. Belum pernah kulihat pramusaji yang satu ini. Wajah bersih yang manis. Tiba-tiba aku teringat pada tokoh utama dalam novel yang sedang kutulis.             “Orang baru?” tanyaku tanpa menyudahi aktivitas membaca yang sejak tadi kulakukan.             Ia tak segera menjawab meski kutunggu hingga beberapa jenak. Kulirik ke bawah, tepat ke sepatunya. Ia masih di sana, bergeming.             Aku tidak biasa dihiraukan. Kutarik napas dalam-dalam seraya meletakkan novel di samping cangkir espresso yang masih mengepul. Kualihkan pandangan pada si gadis pramusaji. “Kau tak dengar pertanyaanku?” lemparku sekali lagi.   ...

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j...