Langsung ke konten utama

Candala

Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya  lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT.

Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa.

Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis.

Dia tidak cantik. Dia bahkan perempuan yang sangat tidak sempurna. Karena tidak cantik, dia tidak punya banyak teman. Tapi itu bukan perkara besar baginya. Untuk dia, satu-dua teman sejati lebih baik daripada seribu teman yang penuh pencitraan.

Perempuan itu hidup dari keringatnya sendiri. Dia paling tidak senang diberi. Karena menurutnya, seringkali orang yang memberi akan merasa tinggi. Dia tidak suka, karena tahu berada di bawah itu seperti apa rasanya. Dia memang biasa terinjak. Tapi dia tidak pernah dan tidak mau terbiasa dengan itu.

Dia juga tidak pernah mau merasa terbiasa dengan makian. Orang boleh memakinya ampun-ampunan, tapi dia mengutuki mereka dalam hatinya. Sambil tersenyum. Sambil sesekali tergelak menertawakan hidupnya sendiri seperti orang gila. Dia bukan orang yang lemah lembut. Karena dia tau kelembutan hanya akan membuatnya semakin mati.

Perempuan itu tidak punya apa-apa sehingga banyak orang merasa berhak meninggalkannya. Bapaknya, saudaranya, laki-laki yang pernah datang di hidupnya. Tapi dia tidak pernah merasa kehilangan. Karena hidupnya adalah kehilangan.

Tidak ada yang boleh menyalahkannya untuk menjadi sedemian pesimis. Hidupnyalah yang membentuknya. Dia sudah biasa mengubur mimpi. Dia tidak butuh mati karena hidupnya adalah mati.

Suatu hari, seorang lelaki dari masa kecilnya datang. Dia menjadikan si perempuan bagai Cinderella. Mereka berkawan dengan ketidaksempurnaan dan dengan itu dijadikannya dunia menjadi sedikit lebih cerah di mata si perempuan. Tapi dia tahu batas. Bahwa sejak awal dia tidak berhak bahagia. Bahwa sejak awal dia tidak berhak atas apa-apa.

Mungkin nanti dia akan hidup bahagia. Atau lain mungkin kereta dongeng miliknya akan berubah menjadi labu dan dia terjebak di dalam sana selamanya. Semua kisah pasti berakhir. Tapi bahkan dia tidak punya hak untuk memilih akhir yang mana. Dia perempuan yang mati saat hidup. Dia Candala.
                              ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...