Terkisahlah seorang perempuan yang hidup tapi tak hidup. Redup. Seperti nyala lampu minyak yang dasarnya hampir kering. Dia dilahirkan seorang ibu tapi dia tak memilikinya. Ya lebih baik menyingkir ketimbang harus berbagi ibu dengan orang asing. Dia tidak punya bapak, pun dalam dokumen kenegaraannya. Tetangga-tetangga sering menjadikan dia dan keluarganya bahan bergunjing saat ngumpul di tukang sayur atau arisan RT.
Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa.
Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis.
Dia tidak cantik. Dia bahkan perempuan yang sangat tidak sempurna. Karena tidak cantik, dia tidak punya banyak teman. Tapi itu bukan perkara besar baginya. Untuk dia, satu-dua teman sejati lebih baik daripada seribu teman yang penuh pencitraan.
Perempuan itu hidup dari keringatnya sendiri. Dia paling tidak senang diberi. Karena menurutnya, seringkali orang yang memberi akan merasa tinggi. Dia tidak suka, karena tahu berada di bawah itu seperti apa rasanya. Dia memang biasa terinjak. Tapi dia tidak pernah dan tidak mau terbiasa dengan itu.
Dia juga tidak pernah mau merasa terbiasa dengan makian. Orang boleh memakinya ampun-ampunan, tapi dia mengutuki mereka dalam hatinya. Sambil tersenyum. Sambil sesekali tergelak menertawakan hidupnya sendiri seperti orang gila. Dia bukan orang yang lemah lembut. Karena dia tau kelembutan hanya akan membuatnya semakin mati.
Perempuan itu tidak punya apa-apa sehingga banyak orang merasa berhak meninggalkannya. Bapaknya, saudaranya, laki-laki yang pernah datang di hidupnya. Tapi dia tidak pernah merasa kehilangan. Karena hidupnya adalah kehilangan.
Tidak ada yang boleh menyalahkannya untuk menjadi sedemian pesimis. Hidupnyalah yang membentuknya. Dia sudah biasa mengubur mimpi. Dia tidak butuh mati karena hidupnya adalah mati.
Suatu hari, seorang lelaki dari masa kecilnya datang. Dia menjadikan si perempuan bagai Cinderella. Mereka berkawan dengan ketidaksempurnaan dan dengan itu dijadikannya dunia menjadi sedikit lebih cerah di mata si perempuan. Tapi dia tahu batas. Bahwa sejak awal dia tidak berhak bahagia. Bahwa sejak awal dia tidak berhak atas apa-apa.
Mungkin nanti dia akan hidup bahagia. Atau lain mungkin kereta dongeng miliknya akan berubah menjadi labu dan dia terjebak di dalam sana selamanya. Semua kisah pasti berakhir. Tapi bahkan dia tidak punya hak untuk memilih akhir yang mana. Dia perempuan yang mati saat hidup. Dia Candala.
***
Dia pintar. Tapi pintarnya itu tak lantas jadi pujian. Mereka justru semakin memojokkannya karena beda dari anggota keluarga lainnya--keluarga yang bahkan dia tak pernah memilikinya. Keluarga yang tidak bisa dia peluk karena sudah tercerai-berai sejak dia bahkan belum tahu dosa itu apa.
Dia pintar. Karena dia pintar, dia bisa pergi berguru ke tempat yang jauh. Tapi mereka menganggap dia egois karena pergi sendiri meninggalkan keluarganya yang sengsara. Mereka tak tau sesengsara apa dirinya selama hidup dikelilingi oleh orang-orang bermulut linggis.
Dia tidak cantik. Dia bahkan perempuan yang sangat tidak sempurna. Karena tidak cantik, dia tidak punya banyak teman. Tapi itu bukan perkara besar baginya. Untuk dia, satu-dua teman sejati lebih baik daripada seribu teman yang penuh pencitraan.
Perempuan itu hidup dari keringatnya sendiri. Dia paling tidak senang diberi. Karena menurutnya, seringkali orang yang memberi akan merasa tinggi. Dia tidak suka, karena tahu berada di bawah itu seperti apa rasanya. Dia memang biasa terinjak. Tapi dia tidak pernah dan tidak mau terbiasa dengan itu.
Dia juga tidak pernah mau merasa terbiasa dengan makian. Orang boleh memakinya ampun-ampunan, tapi dia mengutuki mereka dalam hatinya. Sambil tersenyum. Sambil sesekali tergelak menertawakan hidupnya sendiri seperti orang gila. Dia bukan orang yang lemah lembut. Karena dia tau kelembutan hanya akan membuatnya semakin mati.
Perempuan itu tidak punya apa-apa sehingga banyak orang merasa berhak meninggalkannya. Bapaknya, saudaranya, laki-laki yang pernah datang di hidupnya. Tapi dia tidak pernah merasa kehilangan. Karena hidupnya adalah kehilangan.
Tidak ada yang boleh menyalahkannya untuk menjadi sedemian pesimis. Hidupnyalah yang membentuknya. Dia sudah biasa mengubur mimpi. Dia tidak butuh mati karena hidupnya adalah mati.
Suatu hari, seorang lelaki dari masa kecilnya datang. Dia menjadikan si perempuan bagai Cinderella. Mereka berkawan dengan ketidaksempurnaan dan dengan itu dijadikannya dunia menjadi sedikit lebih cerah di mata si perempuan. Tapi dia tahu batas. Bahwa sejak awal dia tidak berhak bahagia. Bahwa sejak awal dia tidak berhak atas apa-apa.
Mungkin nanti dia akan hidup bahagia. Atau lain mungkin kereta dongeng miliknya akan berubah menjadi labu dan dia terjebak di dalam sana selamanya. Semua kisah pasti berakhir. Tapi bahkan dia tidak punya hak untuk memilih akhir yang mana. Dia perempuan yang mati saat hidup. Dia Candala.
***
Komentar
Posting Komentar