Langsung ke konten utama

Dua Puluh Dua

Beberapa hari lalu gue ulang tahun yang ke-22. Begitu banyak ucapan, doa dan persemogaan yang diucapkan oleh orang-orang—lebih dari ketika gue punya pacar. Seneng rasanya! Bukankah hadiah terbaik adalah doa yang tulus?

Gue tahu gue udah semakin dewasa. Udah siap nikah lahir batin, Mas! Jatah napas gue udah semakin berkurang. Dan mulai di usia ini gue menjadi benar-benar banyak belajar. Semua kejadian, masalah, pertemuan dan perpisahan yang gue alami menjadi buku diktat gue, menjadi guru terbaik. Dan lagi, gue nggak tahu kenapa, di usia gue yang udah lebih dari seperlima abad ini, begitu banyak orang baru yang datang dalam hidup gue. Maaf bukannya sombong. Kehadiran mereka juga mengambil peran dalam proses pendewasaan gue. Dengan mengenal lebih banyak orang, sedikit-banyak gue bisa belajar membaca orang. Termasuk lelaki-lelaki yang kadang nggak jelas arahnya. Gue rasa itu satu sisi yang menyenangkan!

Ternyata orang itu memang lebih bisa menjelaskan tentang seseorang yang dikenal daripada menjelaskan tentang dirinya sendiri. Gebetan misalnya. Ini gue sadari ketika gue berniat mau menuliskan apa-apa tentang diri gue. Rasanya kok nggak enak banget gitu. Narsis sumpah! Tapi masak iya gue bisa mengenal orang dengan sebegitu detail dan nggak bisa mengenali diri gue sendiri. Kan nggak lucu. So, di sini gue mau merefleksikan siapa diri gue. Kalo sampe di sini nggak lucu, hidup gue emang enggak sebercanda itu sih.

Nama gue Desi—pasaran banget dan nggak nge-hits. Yaa mau gimana. Gue enggak bisa milih nama gue sendiri kan pas lahir? Makanya ketika gue memutuskan untuk menekuni hobi nulis ini, gue memilih sebuah nama—Iras Deska. Mungkin ada yang nggak nyadar bahwa nama itu cuma anagram dari nama asli gue. Pelajaran dari yang lalu-lalu sih, jangan pernah make nama pacar buat beginian. Alay. Entar kalo putus, ribet.

Gue lahir di salah satu malam bulan Desember yang dingin, di bawah bintang-bintang. Soalnya lahir gue malem. Gue adalah satu-satunya bayi perempuan di antara sembilan bayi lain yang lahir malam itu. Dan sampai sekarang gue terus meyakinkan diri kalau gue enggak ketuker sama salah satu dari mereka. Kata Emak sih, gue yang bikin beliau paling kesakitan kalo dibandingin sama anaknya yang lain. Sampe-sampe Emak dimarahin sama Bu Bidan. XD

Gue dulu bandel minta ampun. Gue selalu lepas sandal kalo masuk ke dalam toko. Kampungan emang. Dan gue bakal nangis gulung-gulung di lantai kalo gue mau sesuatu tapi nggak dituruti. Tapi sekarang udah enggak kok. Ohiya, gue dulu waktu balita terobsesi banget sama benda apapun yang warnanya lorek-lorek. Guling contohnya. Mungkin itu guling bisa jadi obat bius saking dekilnya. XD Gue juga suka banget sama kaos lorek sampe-sampe itu kaos masih di jemuran, belom kering, nekad gue pake dan berakhir dengan masuk angin. Mungkin dulu di mata gue motif  lorek itu lezat kek kue lapis. XD

Beranjak gede, gue nggak terlalu suka main permainan cewek. Gue lebih suka sepedaan, naik ke bukit, main lumpur di pinggir kali, nyari cethul di selokan, perang-perangan pake biji palem dan manjat-manjat pohon yang buahnya bisa dimakan. Tarzan banget emang. Bahkan masih ada bekas luka masa kecil yang enggak bisa ilang sampe sekarang. Selain luka hati gue. Gue bocah bahagia yang nggak pernah dilarang main. Masa kecil gue indah. Gue juga masih punya bapak yang sayang sama gue, yang nyesel bukan main ketika tangan gue tanpa sengaja kena puntung rokoknya.

Gue sekolah jarang bayar SPP. Sering dapet beasiswa. Padahal gue anak yang jarang banget belajar. Tapi emang sih gue dulu merasa pelajaran gampang banget dan mengasyikan. Nggak kek saat kuliah ini. Denger-denger sih gosipnya, tugas-tugas kuliah itu saling jatuh cinta dan berkembang biak. Rasanya dulu itu malu kalo enggak bisa jawab pertanyaan guru. Sekarang di kuliah ya bodo amat kalo enggak bisa jawab pertanyaan dosen. Enggak dosa juga kan? Dulu kalo nggak ngerjain tugas, paling guru ngasih hukuman lari keliling lapangan. Kebetulan gue suka lari, jadi nggak masalah. Kadang, lari dari kenyataan juga. Tapi sekarang dosen bodo amat kalo kita nggak ngerjain tugas. Tinggal dia nggak ngeluarin nilai aja mahasiswa udah kejang-kejang. Emang sih Tuhan maha mengerti, tapi dosen bukan Tuhan.

Enggak kerasa gue sekarang udah di semester akhir. Bahkan gue udah selesai nyusun proposal skripsi. Kesuksesan seminar tugas akhir gue minggu lalu bisa dibilang adalah early birthday present dari Tuhan. Dan ada satu kejutan spesial lagi di hari ulang tahun gue. Mantan terindah gue nge-chat buat ngucapin! Bukan babi tentunya. Dia adalah pacar pertama gue waktu SMP. Lucu deh. Masak katanya gue—yang dekil, item, jarang mandi, kerempeng, nerd dan welik—adalah cinta pertamanya. Gue juga baru tau fakta ini yang sontak bikin gue gulung-gulung di kasur kosan. XD

Kenapa terindah? Dia adalah mantan yang nggak pernah nyakitin gue. Bahkan sampe sekarang pun gue bertanya-tanya kenapa gue dulu putusin dia. Mungkin karena dulu gue masih bocah dan nggak ngerti cinta-cintaan. Dan gue merasa kena karmanya setelah itu. Dulu pas habis diputusin, gue sempet chat dia. Tapi dia masih punya pacar. Sumpah, gue enggak pernah doain dia putus, kok! Pas pertama gue kira dia cuma sekadar basa-basi. Assalamualaikum doang terus ngilang lagi kek nggak pernah ada. Tapi ternyata chat-chat penuh makna itu berlanjut sampe berhari-hari. Dan…

Dan…

Dan…

Dan…

Ternyata dia berhasil membebaskan gue dari kejombloan ini. Oh yeah, finally! Yaps! Gue balik lagi ke pacar pertama gue. Gue juga sebenernya nggak tau gimana bisa begitu percaya sama Si Mas ini. Tapi gue udah memutuskan untuk menjalaninya. Oke, gue nggak boleh jumawa. Gue nggak boleh terlalu pamer. Nanti ditikung lagi. Intinya, gue lagi super bahagia. Gue bisa ngerasain lagi kek ada ribuan kupu-kupu beterbangan di perut gue. Rasanya udah lama banget gue enggak sebahagia ini. Padahal tadinya gue mikir setelah peristiwa pemutusan hubungan sepihak yang kampret itu, gue nggak akan bisa begini lagi sama lakik. Mungkin karena gue dan dia sama-sama berangkat dari rasa sakit, jadi kita bisa sama-sama belajar dari sana.

Gue dan Mas ini kembali lagi setelah sekira 7 tahun sibuk sama hidup masing-masing. Padahal kita satu SMA. Tapi kita jarang banget ketemu. Kalopun ketemu, sama-sama segen buat nyapa. Dia anak PMR, anak Rohis, gue anak kuper yang temennya cuma itu-itu aja. Dia anak IPA, gue anak IPS yang kelasnya di ujung. Dan, wow! Gue speechless. Si Mas ini sekarang udah dewasa. Gue menemukan banyak kriteria idaman gue di diri dia. Enggak ada alasan gue buat nolak. Gue sayang banget sama dia. Karena dia sayang duluan sama gue. Juga karena dia bukan tipe lelaki yang susah dicintai. Dan sekarang adalah saatnya gue mengucapkan selamat tinggal pada status single yang udah melekat sekira 8 bulan terakhir ini. Gue juga harus mengucapkan selamat tinggal kepada barisan para gebetan. Tolong banget jangan ada dendam di antara kita. XD

Ah, ya. Gue hampir lupa. Buat kalian yang sedang menunggu, jangan cepat bosan dan menyerah. Karena yang terbaik memang selalu pantas untuk ditunggu.

Mas Dhew, I love you 24/7!


Depok, 23 Desember 2015 di bawah bintang-bintang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels , tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?                 Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...

Lelaki Pecandu Kata

Tanpa sadar aku terus memperhatikan lelaki itu. Ia terus-terusan membuat tingkah yang aneh sejak mataku menangkap keberadaannya. Aku sedang di tepi danau. Duduk di antara bangku-bangku semen yang banyak tersedia. Tak jauh di sebelah kiriku, di situlah lelaki itu berada. Ia sama sepertiku. Sedang duduk-duduk menikmati pemandangan danau. Satu hal yang menarik perhatianku untuk terus memperhatikannya adalah tingkahnya yang tidak biasa. Ia tidak bisa diam. Pertama aku melihatnya sedang berusaha melemparkan batu ke danau dengan cara yang aneh. Sepertinya ia sedang mencoba untuk membuat batu itu seolah bergulir di atas air danau. Dan ia sesekali berhasil setelah puluhan kali percobaannya. Ia orang yang gigih. Kedua aku melihatnya mengeluarkan sebuah notes tak bergaris. Ia menulis di sana. Gerakan tangannya begitu cepat. Aku kagum. Dalam waktu lima menit ia sudah membalik halaman notes -nya. Kupikir ia adalah seorang penulis atau semacamnya. Lelaki biasa jarang sekali membawa-bawa n...