Langsung ke konten utama

Untukmu yang Mengawali Kita

Waktu itu kau datang tanpa kupinta. Di bulan Desember yang dingin dan aku hampir mati karena ketidakberdayaanku pada hidup. Kau datang. Tanpa kupinta. Kau mengajari aku bahagia. Kau kenalkan aku pada langit biru, bintang-bintang, hujan dan senja yang syahdu. Seperti bocah yang mendapat hadiah besar, aku menjadi lupa pada segalanya yang membuatku menangis, jatuh, terinjak. Aku terlalu silau. Ah. Kau seperti kunang-kunang. Menuntunku dalam gelap. Tapi aku tidak tahu kalau kau ternyata membimbingku ke tepi jurang. Kini aku patah. Karena kau sudah tidak ada. Kau ada. Tapi kau tidak ada. Sudjiwo Tedjo bilang kalau hidup akan lebih mati tanpa cinta. Kupikir itu benar. Tapi itu dulu. Kini aku menyangkal. Bernard Batubara menulis Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Mati. Lalu aku kini meyakininya. Aku pernah menulis dalam soal cinta tidak ada yang pantas untuk menyerah. Tapi aku kalah. Kau pernah membuatku patah. Tapi kau datang lagi. Aku pernah kehilanganmu karena gadis lain. Tapi kau kembali. Dan sekarang aku kehilanganmu tanpa sebab dan mungkin kau tidak kembali. Penyesalan pasti sedang menertawaiku. Dan aku mulai menghitung berapa kata jika dan seandainya yang telah kugunakan. Satu hal yang benar adalah jatuh cinta membuatku bodoh. Dan sejak kau keluar dari lingkaran ini, aku tidak pernah merasa berhak bahagia. Aku hidup tapi aku mati. Mudah saja untukku menjemput mati. Tapi aku kasihan pada tuhan. Aku kasihan pada bapakku, ibuku. Aku kasihan pada harapan yang menelusup dengan sia-sia. Dan aku kasihan padamu. Hidupku hanyalah hujan tanpa henti. Tidak akan ada pelangi. Aku hanya akan menuruti sampai mana waktu mempermainkanku. Ah, waktu! Kata orang waktu adalah penyembuh luka. Lalu bagaimana dengan kenangan? Sebenarnya kau boleh saja meninggalkanku. Kau tak seberharga itu. Tapi kenangan yang tanpa sengaja kubuat selama melewati waktu bersamamu tidak bisa berubah. Kau boleh saja meninggalkanku asal kau bisa menghapus kenangan itu. Atau kau hanya akan tetap begitu dan biarkan waktu pelan-pelan membunuhku. Semua ini adalah kalimat patah hati saat kata-kata "kita temenan aja" baru saja kau lontarkan. Mungkin saat itu adalah kau yang paling bahagia. Memang sudah menjadi sifatmu untuk membanggakan diri sendiri. Suatu saat kau akan bilang pada orang-orang tentang kita. Kau akan bangga karena telah mematahkanku. Orang yang kau datangi lima tahun lalu. Orang yang kini lebih banyak tahu bagaimana dirimu. Namun tetap membanggakanmu di depan mereka. Orang yang menutupi keburukanmu. Orang yang selalu memaafkan ketika kau selingkuh, ketika kau berbohong, ketika kau menyakiti. Dan orang yang sedang mencoba tersenyum melepaskanmu. Aku tidak menyalahkanmu akan semua ini. Di sini akulah yang paling salah. Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah mempersilakan diri sendiri untuk disakiti.  Karena aku terlalu mudah percaya padamu. Terlalu bodoh menempatkan dirimu begitu tinggi. Terima kasih telah membuatku semakin kuat. Terima kasih telah menunjukkan bahwa kau tak pantas untuk kupertahankan. Aku adalah orang yang paling patah. Kisah kita adalah film drama dengan akhir yang sempurna. Kau dan aku adalah pelajaran berharga. Aku memang telah menyerah. Aku melepas kau pergi tapi aku tidak akan mempersilakan kau kembali.
                                                                             -Dariku yang sedang patah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Seoul-mate!

Sial! Tinta dari pulpen yang kupegang menetes mengotori kertas catatan dan tangan kananku. Aku baru saja ingin mulai menulis dan tinta pulpenku bocor. Untuk beberapa saat aku sibuk membersihkan tinta yang menetes tadi dengan selembar kertas bekas yang kurobek dari halaman terakhir buku catatanku. Sekilas aku melirik sekeliling, untunglah tak ada yang memperhatikan kekonyolanku. Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Pikiranku langsung terhubung pada satu kenangan. Saat ketika kau merelakan seragam olahragamu untuk mengelap cat tembok basah yang tidak sengaja kusandari. Dulu momen itu tak berarti apa-apa tapi kini sakitnya luar biasa. Dan saat aku merobek-robek buku catatan lucuku karena kau menggambar aku dengan muka cemberut ketika aku sedang marah padamu tiga tahun lalu. Kini rasanya aku ingin menyatukan kembali robek-robekan itu.             Jumat siang, pukul setengah dua belas. Para lelaki muslim berjamaah menuju masjid kampus. Mereka lewat lobi perpustak