Langsung ke konten utama

First Fanfiction : Lovely LSG

Aku menendang keras-keras sebuah kaleng minuman kosong di dekat kakiku. Kulakukan keisengan itu untuk membantuku menghilangkan rasa sakit hati dan kekecewaan yang begitu terasa. Dunia sedang tidak berpihak padaku. Bahkan mendung di atas kepalaku membuat hatiku semakin terasa sakit. Angin dingin memaksaku menutup jaket rapat-rapat. Bagaimana tidak kecewa jika kau, orang yang begitu kupuja, tengah berada pada jarak paling dekat denganku namun aku tidak bisa bertemu bahkan melihatmu secara langsung. Kau tahu, itu sangat konyol.
Aku sudah mempersiapkan dana dan penampilan sejak setahun lalu untuk bertemu denganmu. Kau yang menjanjikan akan datang ke Indonesia. Bahkan Agensimu memasang baliho superbesar di persimpangan jalan ke arah rumahku. Kau dengan setelan jas dan piano putih yang megah tersenyum sepanjang hari tak peduli hujan badai sekalipun. Sebaris kata di samping pundakmu berhasil menghipnotis puluha pasang mata, mataku juga. Setiap hari ketika aku sedang tidak sibuk menulis, aku berpuas-puas memandangi potretmu itu dari lantai dua kedai es krim Mr. Owl yang menjadi sudut paling tepat untuk menikmati lengkung bibirmu.
Sejak pagi buta aku sudah bangun. Hari ini bagiku sangat spesial karena akan bertemu denganmu untuk pertama kalinya. Aku berangkat dengan semangat maksimal dan penampilan terbaikku. Tidak seperti gaya keseharian seorang penulis yang serba biasa, aku bahkan sangat fashionable. Aku berdandan ala anak muda penggila konser. Kupakai kaos putih bertuliskan LSG, inisial namamu di balik jaketku. Aku juga membawa lukisan wajahmu yang kubuat sendiri dengan susah payah dan berharap sepulang dari sana akan berhias tanda tanganmu. Lukisan itu kugulung rapi dan kumasukkan dalam tas selempang yang penuh dengan tempelan pin foto-foto kerenmu. Kekuatan cinta memang sanggup mengubah segalanya bukan?
Namun apa yang ada dalam pikiranmu? Kau justru pergi menghilang tanpa jejak seperti ditelan lubang hitam yang tiba-tiba muncul lalu lenyap begitu saja. Seluruh media gempar karena pembatalan konsermu. Aku pun pulang dari GBK membawa segunung kekecewaan bersama ribuan penggemar lainnya. Kau? Apa pedulimu? Sampai saat ini tidak ada kabar tentang keberadaanmu. Tiba-tiba muncul rasa khawatir dalam benakku. Apa mungkin seorang fans berhasil menculikmu? Ah, rasa-rasanya tak mungkin. Kalau ada orang yang paling berani untuk melakukan itu, pastilah aku orangnya. Aku ini penggemarmu yang paling fanatik. Kau juga jago bela diri. Oh! Apa mungkin kau sendiri yang memukul pingsan semua bodyguard yang mengelilingi ruangan pribadimu sepuluh menit sebelum konser dimulai? Bisa saja itu terjadi, kau memang orang yang sulit diterka. Tapi mungkin juga agensimu membatalkan konser secara sepihak karena kecewa dengan pekerjaan EO dari Indonesia. Entahlah. Yang pasti kau telah berhasil membuatku ingin bunuh diri.
Aku mampir ke kedai es krim Mr.Owl. Seporsi besar gelatto cokelat dan banana split menemani kesedihanku. Kuletakkan tas dan payungku di samping tempatku duduk. Tepat di hadapanku beberapa orang pekerja sedang menurunkan baliho besarmu. Dan senyummu hilang dari pandanganku menyisakan tulisan huruf cetak besar-besar berwarna hitam “SPACE AVAILABLE” di atas sebaris nomor telepon. Aku menghela napas panjang dengan muka sayu tanpa gairah. Tiba-tiba seseorang berpenampilan aneh duduk di meja yang sama denganku. Ia memakai syal tebal yang menutupi mukanya dari hidung ke bawah serta topi rajut menutup kepalanya. Rambutnya sebagian menutupi mata. Kurasa ia salah kostum. Indonesia memang sedang musim hujan, tapi tidak sedingin Seoul. Orang ini sok korea banget, batinku.
Pantulan semburat senja yang berwarna vanilla di kaca mengalihkan perhatianku. Kulahap cepat-cepat es krim yang telah kupesan sebelum lumer. Bahkan lembutnya gelatto pun tak bisa melembutkan perasaanku. Aku belum bisa berdamai dengan kenyataan. Kejadian ini hampir mustahil dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ah sial! Mangkuk es krim di hadapanku telah kosong. Kusambar tas selempangku cepat-cepat. Aku beranjak pulang dengan hati tidak senang.
Lonceng yang tergantung di balik pintu kedai Mr. Owl bergemerincing ketika pintu di belakangku menutup. Aku berjalan cepat, ingin segera mandi untuk meringankan penderitaan ini. Aku sudah berjalan cukup jauh ketika gerimis kecil-kecil turun membentuk titik-titik di trotoar. Payah, aku lupa payungku. Kututupi kepalaku dengan tudung jaket. Aku akan nekad berjalan menembus gerimis. Hitung-hitung melampiaskan galau di hati. Kalau sudah begini apa yang bisa kulakukan selain menangis di tengah gerimis yang tiba-tiba menjadi hujan deras.
Lampu-lampu jalan yang betudung kerucut berwarna putih keungunan telah menyala. Senja sudah menghilang ditelan hujan. Mendung dan petir mendominasi langit Jakarta. Aku terus berjalan gontai meski sekujur tubuhku telah basah kuyup. Aku mendengar langkah kaki berkecipak menginjak air hujan di belakangku tapi aku tidak peduli. Sepanjang jalan langkah itu terus saja mengiringiku. Aku baru berhenti setelah dekat dengan rumahku. Langkah kaki itu juga ikut berhenti. Aku hanya diam tanpa menoleh ke belakang. Tiba-tiba sebuah payung biru tua memayungi tubuhku. Itu payung milikku yang tertinggal di kedai es krim tadi. Mau tak mau aku menoleh ke arah pemegang payung itu.
Aigoo!” Aku hampir mati berdiri. Aku tidak percaya dengan penglihatanku. Mata itu… senyum itu… siluet itu… Orang di hadapanku saat ini adalah orang yang sedang dicari-cari seluruh pengunjung GBK siang tadi. Orang ini yang secara tiba-tiba dikabarkan menghilang tanpa jejak. Orang ini sama dengan orang yang tadi duduk di kedai es krim Mr. Owl. Aku langsung menyadari betapa bodohnya aku sebagai seorang fans. Hanya karena ia menutup senyumnya dengan syal aku sudah tidak bisa mengenalinya. Sekarang syal yang dikenakannya basah dan tidak lagi sanggup menutupi senyum itu.
“Seung…!” Oppa melepaskan payung dari genggamannya dan membungkam mulutku sebelum aku menyelesaikan kata-kata. Beberapa orang yang sibuk menerobos hujan jadi memperhatikan aku. Aku ingin mati disentuh oleh idolaku. Sumpah aku merasa sekujur tubuhku ringan melayang-layang. Oppa memberiku kode dengan matanya untuk diam. Cukup lama oppa membekap mulutku sampai aku susah bernapas. Lalu ia melepaskanku dan berkata, “sorry…”
Aku paham dengan situasi ini. Oppa pasti telah tertangkap basah di kedai es krim tadi lalu berusaha kabur. Ia pasti kebingungan dan tidak tahu harus ke mana. Aku tak tahu mengapa kebetulan ia berlari ke arah yang sama denganku. Namun aku merasa bagaikan seorang malaikat penyelamat. Tiba-tiba aku mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk berlari. Kutarik lengan oppa menuju arah rumahku. Aku begitu panik sampai tidak tahu harus ke mana lagi selain pulang. Oppa hanya diam saja tanpa melawan dan terus berlari mengikutiku.
Aku bergegas membuka pintu rumah dengan tangan bergetar. Bahkan bukan hanya tangan tapi seluruh tubuhku juga gemetaran. Oppa mengikutiku masuk ke dalam rumah. Aku memersilakan ia untuk duduk sementara kuambilkan handuk untuk menyeka tubuhnya yang basah kuyup sama sepertiku. Aku memberikan handuk bersih itu padanya. Ia menerimanya dengan senyuman yang kembali membuat aku nge-fly.
Ia memerhatikan isi rumahku. Rumah kecilku memang kudesain seperti rumah di Korea. Banyak hiasan berbau Korea dan tentunya banyak sekali benda-benda tentang oppa. Ia lalu menyeka wajahnya kemudian berkata, “thank you, Noona!” Aku agak syok juga mendengar panggilan itu. Bagaimana pun aku tidak setua itu. Tapi aku tidak marah dan hanya membalas senyumannya yang melelehkan hati. Jika ini hanya mimpi maka aku berharap tak akan bangun esok pagi.
Aku telah mengganti pakaianku dengan pakaian kering. Kubawakan oppa kaos berukuran paling besar yang ada di lemariku. Kaos putih bertuliskan kalimat I love Seoul. Kaos itu kudapat dari temanku yang semester lalu berlibur ke Seoul. Aku belum sempat megecilkannya ke penjahit. Satu-satunya celana yang muat dengan tubuh oppa adalah celana karateku meskipun aku agak malu meminjamkannya. Aku memintanya mengganti pakaian dengan itu sementara pakaiannya yang basah kuyup kumasukkan mesin pengering. Ia tertawa ketika keluar kamar dengan setelan baru itu, “It’s not my style,” katanya dengan nada bercanda. Aku juga ikut tertawa.
“Seunggi oppa? Is it real you?” aku mencoba menanyainya dengan bahasa Inggris yang tertatih-tatih.
Aku menyesal tidak bersungguh-sungguh berlatih bahasa Korea. Sadar dengan keterbatasanku, ia membuka saku bagian dalam jaket tebalnya, mengambil dua buah benda hitam kecil dan memasang satu di telinga kanannya. Aku pernah melihat benda itu dalam drama The King 2 Heart. Kukira benda itu hanya buatan untuk keperluan shooting. Interpreter, semacam alat penerjemah. Ia memasangkan satu di telingaku. Jadilah kami bercakap-cakap dengan lebih lancar.
“Ini benar-benar kau, oppa?” aku bertanya sekali lagi.
“Iya…” Oppa menjawab dalam bahasa Korea. Ia menggosok-gosok kedua lengannya. Rupanya ia kedinginan. Aku mengambilkan selimut di dalam lemari untuk oppa.
“Ah, tunggu! Aku akan membuat teh, kau harus mencoba minum teh buatan Indonesia.”
Tea? Seperti ocha?”
Aku mengangguk lalu melangkah ke dapur. Kuseduh sekantung teh dengan dua sendok gula dalam secangkir air panas. Aroma wangi daun teh membuat perasaanku menjadi tenang. Aku tidak boleh gugup di depan idolaku. Kubawa teh itu dengan nampan ke ruang tamu. Aku memberikannya pada oppa. Kurasa ia menyukainya karena berkali-kali ia menyeruputnya sampai hampir habis.
“Oppa, mengapa kau tiba-tiba kabur dan membatalkan konsermu di Indonesia? Apa kau tidak puas dengan pelayanan di sini?”
“Tidak, aku hanya jenuh dengan paparazzi. Seluruh media membesar-besarkan adeganku dengan Suzy.”
Ah, aku tahu adegan itu, batinku.
Rupanya seorang Lee Seunggi yang berpembawaan tenang di depan media diam-diam juga gerah dengan gosip-gosip yang mengelilinginya. Memang beberapa hari terakhir ini adegan itu sedang ramai dibicarakan di media. Ia juga banyak dihujat oleh fans Suzy yang tidak terima. Padahal semua adegan itu memang sesuai dengan script.
“Aku ingin sekali saja menjadi orang biasa kalau bisa,” katanya.
“Hmmm… aku bisa membantumu menjadi orang biasa, oppa.”
“Benarkah? Bagaimana caranya?”
“Tapi janji kau akan menandatangani semua benda tentang dirimu yang kumiliki. Kau juga harus berfoto sebanyak-banyaknya denganku. Emmm… satu lagi, nyanyikan aku lagu dengan iringan piano juga. Bagaimana?”
“Baiklah, Noona. Sekarang tunjukkan padaku seperti apa idemu.”
Aku menceritakan ideku yang sedikit gila. Oppa tersenyum-senyum kemudian menyetujuinya. Aku tidak sabar mewujudkannya besok pagi. Malam ini oppa tidur di ruang tamu. Seorang superstar Korea yang sedang dicari-cari berada di dalam rumahku. Tadinya aku menyuruh oppa agar tidur di kamarku sementara aku akan tidur di sofa tapi ia menolak. Ia juga tak mungkin menginap di hotel jika tak ingin ketahuan. Semalaman aku tak tidur dan berpuas-puas melihatnya dari celah pintu kamar yang sengaja tidak kututup rapat. Oppa tetap menawan walaupun tertidur pulas dan mendengkur halus.

***
Kamar Kost, Senin malam, 4 Februari 2014 (00.18 WIB)

Komentar

  1. Desi, akhirnya lo buat ff juga haha, gila ini khayalan tingkat tinggi beut dah, duh gue jadi teringat sama donghae yg dikamar nih hehe
    Nice ff :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cewek Korean Gue (Sepenggal Kesan tentang Dedare Sukeraje)

  Selamat pagi para pejuang penantian! Ciyeee yang lagi menanti-nanti sang pujaan hati… Sabar ya! Kalo kata gebetan gue, “sabarmu akan berbuah manis, Dik.” Tapi yo embuh asline yo, Mas ? Pas banget, kali ini gue mau cerita nih soal seseorang yang juara banget kalo soal urusan pernantian. Menantikan kehadiran sang jodoh misalnya. Ya gimana enggak, secara dia pemegang rekor menjomblo terawet di antara kita bertiga. Cewek yang nggak pernah galauin cowok. Nggak kek gue dan Cimut yang sering banget galau. Gapapa sih, asal nggak galauin lakik orang. XD So, ladies and gentlemen , mari kita sambut kedatangan dedare Sukeraje kitaaaa… Rika!   Rika gue ini adalah anak keempat dari empat bersaudara. Terus gue nggak tahan gitu deh buat nggak nyeritain sedikit hal ajaib tentang keluarganya. Jadi nama bapaknya Rika ini—yang sangat merepresentasikan hobinya, yaitu ngejailin anaknya sendiri dan teman-temannya yang dateng ke rumah—adalah Bapak Jailani. Emaknya nggak pernah terkalah

Cewek Setrong Gue (Sepenggal Kesan Tentang Gadis Minang Kesayangan)

Kuliah di kampus yang menyandang nama negara ini, membuat gue banyak kenal sama orang-orang yang berasal dari berbagai suku. Indonesia kita ini kaya, Men ! Multikultur! Mau nyari pasangan model gimana juga ada. Lebih banyak pilihan. Tapi lebih susah juga sih nebak-nebak siapa jodoh kita sebenernya. Pe-er banget dah nebak-nebak jodoh . Pokoknya gue bangga sama Indonesia tercintah! Nah, di bagian ini gue mau menceritakan seseorang yang tiga tahun belakangan ini deket banget sama gue. Ya jelaslah bukan pacar . Dialah gadis Minang gue. Namanya Mutia. Lebih sering dipanggil Cimut. Dialah cewek setrong gue. Yang bisa menahan badai PHP dan terpaan angin harapan. Alah... Meski gue dan Cimut beda suku, tapi kita berteman layaknya Teletubies. Iya, cuma dia yang sering peluk-peluk dan mau gue peluk-peluk. Kalo Rika mah sok-sokan nggak mau gitu. Padahal sama-sama nggak ada yang peluk juga . Mungkin terlalu lama berteman sama mereka adalah salah satu penyebab kenapa gue ketularan j

Seoul-mate!

Sial! Tinta dari pulpen yang kupegang menetes mengotori kertas catatan dan tangan kananku. Aku baru saja ingin mulai menulis dan tinta pulpenku bocor. Untuk beberapa saat aku sibuk membersihkan tinta yang menetes tadi dengan selembar kertas bekas yang kurobek dari halaman terakhir buku catatanku. Sekilas aku melirik sekeliling, untunglah tak ada yang memperhatikan kekonyolanku. Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Pikiranku langsung terhubung pada satu kenangan. Saat ketika kau merelakan seragam olahragamu untuk mengelap cat tembok basah yang tidak sengaja kusandari. Dulu momen itu tak berarti apa-apa tapi kini sakitnya luar biasa. Dan saat aku merobek-robek buku catatan lucuku karena kau menggambar aku dengan muka cemberut ketika aku sedang marah padamu tiga tahun lalu. Kini rasanya aku ingin menyatukan kembali robek-robekan itu.             Jumat siang, pukul setengah dua belas. Para lelaki muslim berjamaah menuju masjid kampus. Mereka lewat lobi perpustak