Aku
menendang keras-keras sebuah kaleng minuman kosong di dekat kakiku. Kulakukan keisengan
itu untuk membantuku menghilangkan rasa sakit hati dan kekecewaan yang begitu
terasa. Dunia sedang tidak berpihak padaku. Bahkan mendung di atas kepalaku
membuat hatiku semakin terasa sakit. Angin dingin memaksaku menutup jaket
rapat-rapat. Bagaimana tidak kecewa jika kau, orang yang begitu kupuja, tengah berada
pada jarak paling dekat denganku namun aku tidak bisa bertemu bahkan melihatmu
secara langsung. Kau tahu, itu sangat konyol.
Aku
sudah mempersiapkan dana dan penampilan sejak setahun lalu untuk bertemu
denganmu. Kau yang menjanjikan akan datang ke Indonesia. Bahkan Agensimu
memasang baliho superbesar di persimpangan jalan ke arah rumahku. Kau dengan
setelan jas dan piano putih yang megah tersenyum sepanjang hari tak peduli
hujan badai sekalipun. Sebaris kata di samping pundakmu berhasil menghipnotis
puluha pasang mata, mataku juga. Setiap hari ketika aku sedang tidak sibuk
menulis, aku berpuas-puas memandangi potretmu itu dari lantai dua kedai es krim
Mr. Owl yang menjadi sudut paling tepat untuk menikmati lengkung bibirmu.
Sejak
pagi buta aku sudah bangun. Hari ini bagiku sangat spesial karena akan bertemu
denganmu untuk pertama kalinya. Aku berangkat dengan semangat maksimal dan
penampilan terbaikku. Tidak seperti gaya keseharian seorang penulis yang serba
biasa, aku bahkan sangat fashionable.
Aku berdandan ala anak muda penggila konser. Kupakai kaos putih bertuliskan
LSG, inisial namamu di balik jaketku. Aku juga membawa lukisan wajahmu yang
kubuat sendiri dengan susah payah dan berharap sepulang dari sana akan berhias
tanda tanganmu. Lukisan itu kugulung rapi dan kumasukkan dalam tas selempang
yang penuh dengan tempelan pin foto-foto kerenmu. Kekuatan cinta memang sanggup
mengubah segalanya bukan?
Namun
apa yang ada dalam pikiranmu? Kau justru pergi menghilang tanpa jejak seperti
ditelan lubang hitam yang tiba-tiba muncul lalu lenyap begitu saja. Seluruh
media gempar karena pembatalan konsermu. Aku pun pulang dari GBK membawa
segunung kekecewaan bersama ribuan penggemar lainnya. Kau? Apa pedulimu? Sampai
saat ini tidak ada kabar tentang keberadaanmu. Tiba-tiba muncul rasa khawatir
dalam benakku. Apa mungkin seorang fans berhasil menculikmu? Ah, rasa-rasanya
tak mungkin. Kalau ada orang yang paling berani untuk melakukan itu, pastilah
aku orangnya. Aku ini penggemarmu yang paling fanatik. Kau juga jago bela diri.
Oh! Apa mungkin kau sendiri yang memukul pingsan semua bodyguard yang mengelilingi ruangan pribadimu sepuluh menit sebelum
konser dimulai? Bisa saja itu terjadi, kau memang orang yang sulit diterka.
Tapi mungkin juga agensimu membatalkan konser secara sepihak karena kecewa
dengan pekerjaan EO dari Indonesia. Entahlah. Yang pasti kau telah berhasil
membuatku ingin bunuh diri.
Aku
mampir ke kedai es krim Mr.Owl. Seporsi besar gelatto cokelat dan banana
split menemani kesedihanku. Kuletakkan tas dan payungku di samping tempatku
duduk. Tepat di hadapanku beberapa orang pekerja sedang menurunkan baliho
besarmu. Dan senyummu hilang dari pandanganku menyisakan tulisan huruf cetak
besar-besar berwarna hitam “SPACE AVAILABLE” di atas sebaris nomor telepon. Aku
menghela napas panjang dengan muka sayu tanpa gairah. Tiba-tiba seseorang
berpenampilan aneh duduk di meja yang sama denganku. Ia memakai syal tebal yang
menutupi mukanya dari hidung ke bawah serta topi rajut menutup kepalanya.
Rambutnya sebagian menutupi mata. Kurasa ia salah kostum. Indonesia memang
sedang musim hujan, tapi tidak sedingin Seoul. Orang ini sok korea banget, batinku.
Pantulan
semburat senja yang berwarna vanilla di kaca mengalihkan perhatianku. Kulahap
cepat-cepat es krim yang telah kupesan sebelum lumer. Bahkan lembutnya gelatto pun tak bisa melembutkan
perasaanku. Aku belum bisa berdamai dengan kenyataan. Kejadian ini hampir
mustahil dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ah sial! Mangkuk es krim di
hadapanku telah kosong. Kusambar tas selempangku cepat-cepat. Aku beranjak
pulang dengan hati tidak senang.
Lonceng
yang tergantung di balik pintu kedai Mr. Owl bergemerincing ketika pintu di
belakangku menutup. Aku berjalan cepat, ingin segera mandi untuk meringankan penderitaan
ini. Aku sudah berjalan cukup jauh ketika gerimis kecil-kecil turun membentuk
titik-titik di trotoar. Payah, aku lupa payungku. Kututupi kepalaku dengan
tudung jaket. Aku akan nekad berjalan menembus gerimis. Hitung-hitung
melampiaskan galau di hati. Kalau sudah begini apa yang bisa kulakukan selain
menangis di tengah gerimis yang tiba-tiba menjadi hujan deras.
Lampu-lampu
jalan yang betudung kerucut berwarna putih keungunan telah menyala. Senja sudah
menghilang ditelan hujan. Mendung dan petir mendominasi langit Jakarta. Aku
terus berjalan gontai meski sekujur tubuhku telah basah kuyup. Aku mendengar
langkah kaki berkecipak menginjak air hujan di belakangku tapi aku tidak
peduli. Sepanjang jalan langkah itu terus saja mengiringiku. Aku baru berhenti
setelah dekat dengan rumahku. Langkah kaki itu juga ikut berhenti. Aku hanya
diam tanpa menoleh ke belakang. Tiba-tiba sebuah payung biru tua memayungi
tubuhku. Itu payung milikku yang tertinggal di kedai es krim tadi. Mau tak mau
aku menoleh ke arah pemegang payung itu.
“Aigoo!” Aku hampir mati berdiri. Aku
tidak percaya dengan penglihatanku. Mata itu… senyum itu… siluet itu… Orang di
hadapanku saat ini adalah orang yang sedang dicari-cari seluruh pengunjung GBK
siang tadi. Orang ini yang secara tiba-tiba dikabarkan menghilang tanpa jejak.
Orang ini sama dengan orang yang tadi duduk di kedai es krim Mr. Owl. Aku
langsung menyadari betapa bodohnya aku sebagai seorang fans. Hanya karena ia
menutup senyumnya dengan syal aku sudah tidak bisa mengenalinya. Sekarang syal
yang dikenakannya basah dan tidak lagi sanggup menutupi senyum itu.
“Seung…!”
Oppa melepaskan payung dari genggamannya dan membungkam mulutku sebelum aku
menyelesaikan kata-kata. Beberapa orang yang sibuk menerobos hujan jadi
memperhatikan aku. Aku ingin mati disentuh oleh idolaku. Sumpah aku merasa
sekujur tubuhku ringan melayang-layang. Oppa memberiku kode dengan matanya
untuk diam. Cukup lama oppa membekap mulutku sampai aku susah bernapas. Lalu ia
melepaskanku dan berkata, “sorry…”
Aku
paham dengan situasi ini. Oppa pasti telah tertangkap basah di kedai es krim
tadi lalu berusaha kabur. Ia pasti kebingungan dan tidak tahu harus ke mana. Aku
tak tahu mengapa kebetulan ia berlari ke arah yang sama denganku. Namun aku
merasa bagaikan seorang malaikat penyelamat. Tiba-tiba aku mendapatkan kekuatan
yang luar biasa untuk berlari. Kutarik lengan oppa menuju arah rumahku. Aku
begitu panik sampai tidak tahu harus ke mana lagi selain pulang. Oppa hanya
diam saja tanpa melawan dan terus berlari mengikutiku.
Aku
bergegas membuka pintu rumah dengan tangan bergetar. Bahkan bukan hanya tangan
tapi seluruh tubuhku juga gemetaran. Oppa mengikutiku masuk ke dalam rumah. Aku
memersilakan ia untuk duduk sementara kuambilkan handuk untuk menyeka tubuhnya
yang basah kuyup sama sepertiku. Aku memberikan handuk bersih itu padanya. Ia menerimanya
dengan senyuman yang kembali membuat aku nge-fly.
Ia
memerhatikan isi rumahku. Rumah kecilku memang kudesain seperti rumah di Korea.
Banyak hiasan berbau Korea dan tentunya banyak sekali benda-benda tentang oppa.
Ia lalu menyeka wajahnya kemudian berkata, “thank
you, Noona!” Aku agak syok juga mendengar panggilan itu. Bagaimana pun aku
tidak setua itu. Tapi aku tidak marah dan hanya membalas senyumannya yang
melelehkan hati. Jika ini hanya mimpi maka aku berharap tak akan bangun esok
pagi.
Aku
telah mengganti pakaianku dengan pakaian kering. Kubawakan oppa kaos berukuran
paling besar yang ada di lemariku. Kaos putih bertuliskan kalimat I love Seoul. Kaos itu kudapat dari
temanku yang semester lalu berlibur ke Seoul. Aku belum sempat megecilkannya ke
penjahit. Satu-satunya celana yang muat dengan tubuh oppa adalah celana
karateku meskipun aku agak malu meminjamkannya. Aku memintanya mengganti
pakaian dengan itu sementara pakaiannya yang basah kuyup kumasukkan mesin
pengering. Ia tertawa ketika keluar kamar dengan setelan baru itu, “It’s not my style,” katanya dengan nada
bercanda. Aku juga ikut tertawa.
“Seunggi
oppa? Is it real you?” aku mencoba
menanyainya dengan bahasa Inggris yang tertatih-tatih.
Aku
menyesal tidak bersungguh-sungguh berlatih bahasa Korea. Sadar dengan
keterbatasanku, ia membuka saku bagian dalam jaket tebalnya, mengambil dua buah
benda hitam kecil dan memasang satu di telinga kanannya. Aku pernah melihat
benda itu dalam drama The King 2 Heart.
Kukira benda itu hanya buatan untuk keperluan shooting. Interpreter, semacam alat penerjemah. Ia memasangkan satu di
telingaku. Jadilah kami bercakap-cakap dengan lebih lancar.
“Ini
benar-benar kau, oppa?” aku bertanya sekali lagi.
“Iya…”
Oppa menjawab dalam bahasa Korea. Ia menggosok-gosok kedua lengannya. Rupanya ia
kedinginan. Aku mengambilkan selimut di dalam lemari untuk oppa.
“Ah,
tunggu! Aku akan membuat teh, kau harus mencoba minum teh buatan Indonesia.”
“Tea? Seperti ocha?”
Aku
mengangguk lalu melangkah ke dapur. Kuseduh sekantung teh dengan dua sendok
gula dalam secangkir air panas. Aroma wangi daun teh membuat perasaanku menjadi
tenang. Aku tidak boleh gugup di depan idolaku. Kubawa teh itu dengan nampan ke
ruang tamu. Aku memberikannya pada oppa. Kurasa ia menyukainya karena
berkali-kali ia menyeruputnya sampai hampir habis.
“Oppa,
mengapa kau tiba-tiba kabur dan membatalkan konsermu di Indonesia? Apa kau
tidak puas dengan pelayanan di sini?”
“Tidak,
aku hanya jenuh dengan paparazzi. Seluruh media membesar-besarkan adeganku
dengan Suzy.”
Ah, aku tahu adegan itu,
batinku.
Rupanya
seorang Lee Seunggi yang berpembawaan tenang di depan media diam-diam juga
gerah dengan gosip-gosip yang mengelilinginya. Memang beberapa hari terakhir
ini adegan itu sedang ramai dibicarakan di media. Ia juga banyak dihujat oleh
fans Suzy yang tidak terima. Padahal semua adegan itu memang sesuai dengan script.
“Aku
ingin sekali saja menjadi orang biasa kalau bisa,” katanya.
“Hmmm…
aku bisa membantumu menjadi orang biasa, oppa.”
“Benarkah?
Bagaimana caranya?”
“Tapi
janji kau akan menandatangani semua benda tentang dirimu yang kumiliki. Kau juga
harus berfoto sebanyak-banyaknya denganku. Emmm… satu lagi, nyanyikan aku lagu
dengan iringan piano juga. Bagaimana?”
“Baiklah,
Noona. Sekarang tunjukkan padaku seperti apa idemu.”
Aku
menceritakan ideku yang sedikit gila. Oppa tersenyum-senyum kemudian menyetujuinya.
Aku tidak sabar mewujudkannya besok pagi. Malam ini oppa tidur di ruang tamu.
Seorang superstar Korea yang sedang dicari-cari berada di dalam rumahku.
Tadinya aku menyuruh oppa agar tidur di kamarku sementara aku akan tidur di
sofa tapi ia menolak. Ia juga tak mungkin menginap di hotel jika tak ingin
ketahuan. Semalaman aku tak tidur dan berpuas-puas melihatnya dari celah pintu
kamar yang sengaja tidak kututup rapat. Oppa tetap menawan walaupun tertidur
pulas dan mendengkur halus.
***
Kamar Kost, Senin malam, 4 Februari 2014 (00.18 WIB)
Desi, akhirnya lo buat ff juga haha, gila ini khayalan tingkat tinggi beut dah, duh gue jadi teringat sama donghae yg dikamar nih hehe
BalasHapusNice ff :)