Quiana
Aku mengenal
dirimu sejak kau membuka mata. Matamu yang bulat cokelat dan sebening embun
membuatku ingin selalu berada di dekatmu. Gadis kecilku yang kini beranjak
dewasa. Gadis kecilku yang kini telah kembali dari perjalanan panjangmu. Kau
dengan sejuta mimpi yang kau tuliskan di keempat sisi dinding kamarmu yang kau
sebut dinding harapan serta semua tempat yang bisa kau sentuh dengan kuasmu.
Kau gadis yang lincah dengan sepatu balet dan kostum balerina yang menawan yang
kau rancang sendiri dengan kedua tanganmu yang terampil. Kau dengan piano putih
di sisi kiri tangga rumah kita yang selalu kau mainkan layaknya seorang
maestro. Kau dengan kebun bunga di halaman kita yang selalu bermekaran karena
perawatanmu. Kau ibarat sejuta jiwa pada satu tubuh dengan segala bakatmu.
Quiana, aku
mengenalmu lebih dari diriku sendiri. Bahkan aku tahu ketika kau tidak lagi
sama seperti beberapa waktu lalu. Aku sangat takut kau kembali pada saat-saat
itu. Meskipun dokter telah mengatakan bahwa kapan pun keadaan itu bisa saja
terjadi. Kau tak lagi menggenggam kuasmu. Kau tak lagi menyentuh tuts-tuts
piano putih di sana. Kau tak mau lagi menyambangi bunga-bunga kita. Kau kaku
dan kosong saat menari. Aku tahu itu semua. Dan setiap kali aku bertanya kau
hanya akan menjawab dengan kata-kata “aku tidak apa-apa”. Itu artinya kau
memang tidak tahu bahwa sebenarnya kau sedang mengalaminya lagi.
Aku menyadari
perubahan sikapmu sejak kedatanganku kemarin malam. Aku kembali pulang
menemuimu setelah usai sepekan tugasku di luar sana. Aku merasa bersalah saat
berlama-lama meninggalkanmu. Aku mengungkapkan semua itu dan berharap kau
menyambutku dengan senyum malaikatmu. Namun kau memperlihatkan padaku wajah
pucat tanpa ekspresi. Aku melihat jiwamu kosong dan seketika itu pula ketakutan
memakanku. Kau kembali terperangkap.
Pagi ini kau
bangun tanpa gairah. Aku memperhatikanmu yang menuruni tangga dengan gaun
tidurmu yang kubelikan setahun lalu. Aku tak mau bertanya lagi padamu karena
itu akan percuma. Sekali lagi aku amat sangat mengenalmu Quiana. Dan hari ini,
kan ku pastikan aku masih ada di sini. Mencoba lepaskan, coba bebaskan dirimu
dari apapun itu yang membuatmu menjadi seperti ini. Dalam kebingunganku
menghadapimu tanpa ada siapa-siapa, bahkan ayah dan ibu kita, aku hanya termenung
diam. Mungkin pada saatnya nanti kau akan bercerita semuanya padaku. Aku
berharap hari inilah waktunya.
Kau duduk di
sampingku. Kau melihatku sebentar lalu mengambil secangkir teh yang sedang
kuteguk sampai tumpah ke kemejaku. Aku menggeleng karena kau tak pernah sekasar
itu sebelumnya. Kau menenggak teh itu sampai habis dalam satu kali minum tanpa
menghiraukanku. Kau pindah duduk di bawah. Dan saat aku memandangmu tanpa
mengatakan apa-apa, kau meletakkan cangkir teh itu di atas bantal kursi dengan
posisi terbalik. Kau berdiri lalu menendang bantal dan cangkir itu hingga ke
ujung ruangan. Cangkir porselen itu pecah berkeping-keping. Sambil mencoba
menyembunyikan perasaanku yang tak karuan, aku mencari alat di dapur untuk
membersihkan kekacauan yang kau buat.
Aku tengah
membersihkan pecahan-pecahan itu dan kau hanya diam berdiri di samping jendela.
Tirai biru muda itu kau sibakkan dengan hati-hati seakan kau takut ada sesuatu
yang menyeramkan di baliknya. Kau dengan ekspresimu itu membuatku terpuruk
ketika aku harus tetap tegar menghadapimu dan sesuatu yang membelenggumu.
Tiba-tiba kau
menarik tirai itu dengan sekuat tenaga sampai terlepas dari relnya. Kau
perlahan terduduk sambil sibuk menutupi tubuhmu dengan kain biru itu sampai ke
ujung kepala. Kau mencoba bersembunyi entah dari apa. Jika kau sudah begitu aku
tidak bisa menganggumu. Kau pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhiku.
Kau mengitari
ruangan dengan kain tirai yang kau pakai menutupi tubuhmu. Kau menghampiri
piano putih dan menyentuhnya dengan ragu lalu kau naiki tangga sampai
setengahnya dan turun kembali. Sekarang kau menuju LCD. Kau menyalakannya. Kau
melihat gambar di sana sambil duduk diam. Kuberanikan diri mendekatimu. Kau
memanggilku “Kakak...” dan aku menitikkan air mata tapi cepat-cepat kuusap
dengan punggung tanganku.
Aku dan Quiana
yang skizofrenia duduk
bersama melihat music video Bondan
Prakoso-I Will Survive. Adikku Quiana hanya bisa diam saat melihat
video dan mendengarkan musik kesukaanku. Adikku yang gangguan jiwa hanya bisa
kutenangkan dengan karya itu dan bukan karya selain itu. Aku pun menyanyikan
lagu itu dengan senyum dan semangat yang mantap.
Hari ini, aku di sini berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada yang telah membakar
seluruh jiwa
Ku
coba resapi, Ku coba selami segala yang telah terjadi
Kuambil
hikmah-Nya rasakan nikmat-Nya
Dan
kucoba untuk hadapi
Aku terus bernyanyi sampai akhirnya adikku Quiana ikut bernyanyi dengan
suaranya yang merdu.
Kau
berikan aku kekuatan untuk lewati semua ini
I
will survive, I will revive
Getting
Bigger, Bigger than live
Kau
yang Esa, yang Perkasa
Give
me wisdom, to survive
Pagi yang lebih
indah pun datang. Adikku sayang kini mau kuajak menemui psikiater. Quiana kini
sedang berusaha sembuh kembali. Aku tidak pernah putus harapan untuk mendukung
Quiana mendapatkan hidupnya kembali. Quiana harus sembuh. Aku berdoa sembari
berharap sakit itu tidak akan datang lagi membelenggunya nanti ketika ia sudah
bebas. Dengarkan, peluk mimpi ini Tuhan.
Komentar
Posting Komentar