Langsung ke konten utama

Seoul-mate!

Sial! Tinta dari pulpen yang kupegang menetes mengotori kertas catatan dan tangan kananku. Aku baru saja ingin mulai menulis dan tinta pulpenku bocor. Untuk beberapa saat aku sibuk membersihkan tinta yang menetes tadi dengan selembar kertas bekas yang kurobek dari halaman terakhir buku catatanku. Sekilas aku melirik sekeliling, untunglah tak ada yang memperhatikan kekonyolanku. Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang mengejutkan hatiku. Pikiranku langsung terhubung pada satu kenangan. Saat ketika kau merelakan seragam olahragamu untuk mengelap cat tembok basah yang tidak sengaja kusandari. Dulu momen itu tak berarti apa-apa tapi kini sakitnya luar biasa. Dan saat aku merobek-robek buku catatan lucuku karena kau menggambar aku dengan muka cemberut ketika aku sedang marah padamu tiga tahun lalu. Kini rasanya aku ingin menyatukan kembali robek-robekan itu.
            Jumat siang, pukul setengah dua belas. Para lelaki muslim berjamaah menuju masjid kampus. Mereka lewat lobi perpustakaan pusat, tempatku saat ini berada. Aku duduk di salah satu sofa panjang berwarna hitam dan kelabu yang nyaman dan tersedia banyak di lantai dasar perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara itu. Aku menguasai sofa panjang itu sendiri. Di sofa lain tepat di depanku dua orang mahasiswi tengah serius menulis sesuatu. Oh, God! Satu kenangan lagi kembali menguasai benakku. Saat itu kau duduk di bangku taman sekolah di tepi lapangan basket di bawah pohon akasia. Aku duduk di depanmu, diam-diam memperhatikan setiap detail tampilanmu yang sedang serius. Rupanya kau sedang menulis lagu di buku kecilmu. Lama sekali aku hanya diam saja. Kau pun tak melihat padaku, sepertinya kau tak sadar aku di sana. Kini ingin sekali aku mendatangimu saat itu dan merobek catatan di pangkuanmu, membuatmu marah besar agar aku tahu lebih cepat seperti itulah sifat aslimu.
            Sudah dua puluh menit lebih aku duduk membaca naskah drama di pangkuanku. Aku baru berhenti ketika bosan dan tiba-tiba ingin menulis. Seorang lelaki tinggi berkaos cokelat duduk di sofa di sebelahku. Aku melirik sedikit padanya. Lelaki yang manis sepertimu jika kuperhatikan dari setiap geraknya, mirip sekali. Seperti cerita dalam novel amatir saja yang terlalu banyak kebetulan. Ini membuatku muak dan ingin segera pergi. Ia baru saja duduk ketika terdengar dering ponsel dari sakunya. Ia berbicara di telepon sambil berjalan ke arah sana sementara aku menghembuskan napas lega.
            Hidungku menghirup sebuah aroma yang menyenangkan. Aku mencari-cari asalnya. Rupanya aroma maskulin lembut itu berasal dari lelaki berwajah oriental di belakangku. Sepertinya ia orang Korea. Oh, aku ingat ia adalah lelaki yang tadi berjalan hampir bersamaan denganku di tepi jalan yang berbeda, aku di kiri sementara ia di tepi kanan. Mungkin karena ia belum terbiasa dengan mobil ber-stir kanan di Indonesia. Memang di kampus ini tidak sulit menemukan mahasiswa asing. Kebanyakan dari mereka berasal dari Asia, terutama Korea. Aku juga kurang tahu mengapa Indonesia menjadi tujuan mereka menempuh pendidikan tinggi. Dan percayalah orang itu tak kalah kerennya dengan tampilan personel boyband Suju. Tapi itu saja tak cukup untuk sepenuhnya menghilangkan bayangan jelas potretmu dalam pikiranku. Kau masih tetap seperti hantu yang tak bosan-bosan mengikuti langkahku siang-malam. Padahal kau sendiri entah sedang tertawa-tawa dengan siapa.
            Berpasang-pasang lelaki dan perempuan berlalu di depan mataku. Aku seakan muak dan ingin menyumpah pada mereka. Apa bagusnya berpegang tangan, merangkul, tersenyum dengan muka dimanis-maniskan padahal mereka hanya sedang berdrama. Jika telah tiba saatnya muncul satu masalah, keluar sudah semua sifat aslinya. Sepertimu yang ternyata bisa pergi begitu saja hanya karena masalah tak seberapa. Kau terlalu sibuk dengan musikmu sementara aku hanya sedikit mengambil waktu kita untuk berlatih drama. Kau juga tahu jika dua bulan lagi teater kampus akan pentas. Tapi kau berpura-pura atau tak mau tahu dengan ketertarikanku pada seni sementara kau asik menggeluti musik dan semuanya.
            Aku berhenti menulis sejenak. Dua orang lelaki cerewet duduk mengisi sofa lain di sebelahku. Bau parfum mereka seperti perempuan. Perutku berprotes ketika tanpa sengaja kuhirup wangi parfum itu dalam napasku. Tiba-tiba rasa tak enak perutku mengingatkanku bahwa aku sama sekali belum makan hari ini. Biarlah toh tak ada lagi kau yang mengingatkan bahwa aku tak boleh makan terlambat jika tak ingin meringkuk kesakitan. Bahkan aku tak mandi tadi pagi. Aku mengenakan kaos oblong dan jins robek yang paling kau benci. Bodo amatlah, tak ada yang tahu. Toh aku tak bau. Sifat lamaku, sifat yang jauh kubuang semenjak kukenal kau, pencuek, sedang bernostalgia dengan diriku.
            Aku memejamkan mataku sejenak. Kepalaku sudah terlalu penuh ingatan tentang sosokmu. Kau tersenyum, murung, tertawa, melamun, semua ada dan seperti hipnotis, semakin aku ingin menghapus, citra-citra itu justru semakin berwarna. Ingin rasanya aku berteriak sekuat-kuatnya untuk melepaskan semua penat. Tapi aku tak mau dianggap kesurupan atau terkena gangguan jiwa. Mataku kembali terbuka ketika wangi maskulin yang menyegarkan tadi berpindah ke tempat kosong tepat di sebelahku. Mengapa ia pindah aku juga tak tahu. Deg! Aku tak tahu harus menjawab apa jika ia tiba-tiba menanyakan sesuatu.
            Aku pura-pura tak memperhatikannya dan hanya menatap lurus ke depan. Tapi aku merasa jika ia tengah mengamati aku dengan sangat. Lama-lama aku merasa risih juga. Kutengokkan kepalaku pelan-pelan. Gyaaa! Benar saja ia sedang mengamati aku. Saat aku menengok mata kami bertemu untuk sekian detik. Wajahnya bersih dan tampan sekali. Ia sangat stylist dan keren. Kaos putih yang ia pakai yang bertuliskan “Seoul” sangat pas sekali dengan warna kulitnya. Perasaan aneh tiba-tiba menjalari sekujur tubuhku. Mungkinkah tubuh kami sama-sama sedang melepas feromon... aku tak yakin. Lelaki itu menjabat tanganku sementara aku masih terbengong bodoh.
            “Hai!”
            “Kau siapa?” Aku bertanya dengan muka bingung.
            “Aku penggemarmu,” jawabnya dengan bahasa Indonesia yang kental dengan aksen Koreanya.
            “Ya…?” Aku masih tetap tak mengerti mengapa ia menjabat tanganku seolah mengenalku.
            “Aku sudah lama memperhatikanmu setiap kali kau berlatih di Teater Daun. Aku mengagumi permainan peranmu setahun belakangan ini. Kau sangat cantik dan berbakat.”
            “Ahaha… terima kasih. Kau… sengaja… duduk di sini? Mmm… maksudku…”
            “Ya, aku sengaja menemuimu karena ingin dekat denganmu. Aku adalah penggemarmu. Kalau boleh aku ingin menjadi temanmu. Aku menyukaimu. Nomu nomu nomu chua…
            Napasku seolah berhenti beberapa saat. Orang ini menyatakan suka padaku padahal baru saja aku mengenalnya. Tapi aku tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Entah mengapa aku suka-suka saja berada di dekatnya. Kupandangi sejenak langkah-langkah kaki yang kebanyakan bermerk terkenal. Aku merasa dunia semakin aneh saat ini. Sepertinya aku dan lelaki Korea di sebelahku ini berada di dimensi lain dari orang-orang di sekeliling kami. Bayangan dirimu masih samar-samar menghantuiku. Meski begitu aku harus meyakinkan diri bahwa hidup harus terus berlanjut. Tak peduli jika hidupku tinggal setengah karena setengahnya telah kupertaruhkan bersama perkenalanku dengan kau. Tapi entah timbul dari mana keyakinan yang amat kuat itu, bahwa orang di sebelahku ini akan membawa kembali separuh hidupku yang hilang.
***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOK JADI MAINSTREAM GINI? (Curhatan Jomblo Newbie #Part 2)

Minum susu cokelat dulu biar kuat nyinyir... Deuh gue nggak tau kenapa tulisan gue jadi berubah mainstream dan random gini. Sejak mbaca blognya Misterkacang, ngubek-ngubek jombloo.co dan mojok.co (ciyeee bacaannya jomblo gitu amat) gue jadi ter- influence gaya nulis orang-orang gendeng macam penulis-penulis ini. Tambah lagi kemaren gue mbaca blognya si Keristiang yang susah gitu move-on dari Tata (deuh malah apal).  Ohiya, karena disponsori oleh si Coro (nama laptop gue yang beratnya kek bayi umur enem bulan) gue tinggalin di tempat Bude di Jakarta, gue ngetik dari HP nih. Jadi maap-maap kalo berantakan (kayak kisah cinta gue). Mau mbaca ya sukur, mau setop ya awas aja nyesel. Jadi gue mau ngomongin diri gue yang tiba-tiba berubah mainstream . Gue jadi jomblo ( mainstream banget kan?) dan gue jadi nulis-nulis tentang jomblo jugak. Sebab kenapa gue jomblo sudah gue uraikan dengan gamblang di belakang noh. Jadi nggak usah dibahas (takutnya entar lo gumoh). Iya...

My Wedding Dream

Pepohonan hampir menyembunyikanku dari keramaian. Aku sudah berlari cukup jauh. Untung saja aku adalah mantan atlet atletik di kampus dulu. Sebuah menara kini menjulang di hadapanku seolah bangunan itu baru saja muncul di sana. Sepertinya menara itu bekas mercusuar. Oh, yeah. Aku sekarang benar-benar mirip seorang Rapunzel. Memakai gaun lebar, heels , tiara cantik, dan menemukan sebuah menara. Apa aku juga harus memanjatnya?                 Saat ini aku sedang dalam pelarian. Aku kabur dari pernikahan pantaiku. Apa lagi kalau bukan karena lelaki yang menjadi pengantinku adalah bukan yang kuinginkan. Sumpah demi Tuhan pernikahan itu memang impianku. Pernihakan tepi pantai yang serba putih dan berpasir dengan bau laut yang segar. Siapa sih yang tidak menginginkannya? Tapi pada menit-menit terakhir sebelum prosesi aku memilih kabur dan menghilang dari mata hadirin. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan...

PUTUS GITU DEH! (Curhatan Seorang Fresh-jomblo #Part 1)

Let’s take a deep breath … Rasanya kek udah sewindu gue nggak nulis blog. Gue nggak bakalan banyak alesan sih. Karena alesannya emang cuma satu: males. Gue punya banyak waktu (secara gue fresh -jomblo) dan punya banyak cerita (curhatan pribadi). Tapi saat mau nulis barang secuil cerpen pun, gue langsung ketimpa hawa males itu sendiri. Mungkin keadaan ini disponsori oleh gaya nulis gue yang belakangan selalu berbau romance dan drama. Ya, gue akui bahwa gue kepengaruh sama keadaan hati (pas lagi bahagia- long time ago ) plus drama-drama Korea yang sukses bikin gue lupa makan, mandi, bahkan bobok. “Ah udahlah, Des, nggak usah banyak cingcong. Jujur aja kalo lo habis putus.” Tiba-tiba sebuah suara gaib membuat gue melirik ke sudut-sudut kamar. Iya, gue emang baru putus lima-enam bulan lalu. Iya, sama pacar-lima-tahun yang selalu gue banggain itu. Tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur (tinggal tambahin ayam suwir, bawang goreng sama kuah opor) buat sarapan. Puj...